/sastra/katalog/judul/judul.inx.php
| Selarasa, British Library (Add MS 12294 b), 1801, #1013 | ||||||||||
|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
| Katalog # | : | 1013 | ||||||||
| Bagian dari | : | Sêrat Găndakusuma, British Library (Add MS 12294 a), 1801, #1064 | ||||||||
| Jumlah kata | : | 36.138 | ||||||||
Koleksi (digital) :
| ||||||||||
Ikhtisar : Naskah Selarasa ini merupakan narasi puisi yang disusun dalam bentuk macapat pada tahun 1801. Kisah ini menceritakan perjalanan tiga saudara bangsawan—Selasyara, Selagănda, dan Selarasa—yang diasingkan dari tanah kelahirannya Cêmpa, setelah sang kakak sulung, Selangkara, naik takhta. Alur cerita mengikuti pengembaraan mereka melintasi samudra dan berbagai kerajaan nun jauh, yang sarat dengan nilai-nilai kejawaan dan keislaman.Perjalanan mereka membawa ketiganya ke Atasulu (juga disebut Ngatasulu atau Atasulun), kemungkinan besar merujuk pada Jawa, tempat mereka menghadapi iklim politik yang bermusuhan. Raja Kombala, penguasa yang lalim dan dihantui oleh firasat kehancuran, berusaha menyingkirkan para pendatang tersebut. Namun, ketiga bersaudara ini mendapat perlindungan dari sekutu-sekutu baru mereka: Ki Lobaman, seorang muslim saleh dan bijak dari Mundhu, serta penasihat spiritual Ujum Sidik. Dengan bantuan kelompok inilah, mereka berhasil meloloskan diri dari Atasulu dan melanjutkan pelayaran mereka menuju tempat-tempat seperti Pulo Rukmin, Pulo Jingjrin, dan Tănjabuwa. Seiring perjalanan waktu, mereka bertiga semakin terkenal, terutama Selarasa. Mereka beserta rombongannya, Ki Lobaman, Rumsari, dan Ujum Sidik, terlibat dalam berbagai konflik regional, menjalin hubungan dengan penguasa asing, dan menghadapi serangan kekuatan spiritual dan gaib, termasuk jin, brahala (makhluk raksasa), dan musuh-musuh yang licik. Keselamatan mereka di beberapa tempat diselamatkan oleh kemunculan tokoh misterius Sèh Malaya, seorang pertapa sakti yang datang di saat genting untuk mematahkan kekuatan magis yang membelenggu mereka. Dalam berbagai peristiwa tersebut, penyelesaian sering kali ditandai dengan pengislaman tokoh atau kerajaan lawan, sebuah pola naratif yang berulang sepanjang cerita. Seiring waktu, rombongan yang semula terpisah ini menjadi aliansi yang kian solid, mengarungi badai, lautan, dan ujian kebajikan. Di Pulo Rukmin, Selarasa menikahi Rêtna Parênyuh, putri dari Raja Palmin, yang kemudian turut mendampingi dalam berbagai pertempuran penting. Selasyara menikahi Ni Rumsari, putri Ki Lobaman, yang secara konsisten memberikan kekuatan emosional dan dukungan praktis sepanjang perjalanan. Selagănda, yang kemudian dikenal sebagai Patih Mangkurat, tampil sebagai sosok pemberani dan diplomatis. Rangkaian perjalanan mereka membawanya bertemu dengan armada dari Indhu Kusthi, yang pada awalnya sempat memunculkan ketegangan dan nyaris berujung konflik. Tetapi, melalui diplomasi dan pemahaman bersama, mereka berhasil meraih rasa hormat dari para pemimpin armada tersebut. Dengan nama baik yang telah terbentuk dan ujian yang telah dilalui, rombongan ini pun mulai kembali ke daerah-daerah yang dulu mereka kenal, menandai babak akhir kisah perjalanan mereka. Setelah berkelana cukup lama, ketiga bersaudara kembali sebentar ke Cêmpa. Di sana mereka mendapati kerajaan dalam keadaan terancam, dengan Selangkara yang kini lemah dan kehilangan kendali. Selarasa dan rombongannya pun turun tangan untuk memulihkan keamanan. Selangkara, tersentuh oleh kesetiaan dan keberhasilan mereka, memohon agar mereka tetap tinggal. Namun, para saudara dan sekutunya memilih untuk berangkat kembali, menuju Atasulu. Kepulangan terakhir mereka ke Atasulu disambut oleh rakyat dengan suka cita. Tidak hanya Selarasa yang dielu-elukan, tetapi seluruh rombongan, saudara-saudaranya, para sahabat, dan penasihat, juga dihormati dengan pertunjukan gamelan yang megah. Dalam pupuh penutup, muncul ancaman baru. Raja Kombala, yang sebelumnya dikenal sebagai penguasa lalim Atasulu, kini ditampilkan sebagai raja asing yang berpusat di Aburera, mengumpulkan tujuh saudaranya untuk mempersiapkan invasi ke Jawa. Di titik inilah kisah diakhiri, dengan konfrontasi terakhir yang digantung dalam ketegangan. Edisi Selarasa ini terdiri atas 37 pupuh, 1.190 bait, 8.768 gatra, dan 31.718 kata. Teks ini mendahului edisi tahun 1804 yang lebih terlambat, yang dihiasi sekitar 163 ilustrasi indah (lihat Selarasa 1804). Karya ini juga merupakan komposisi kedua dalam manuskrip yang sama (Add MS 12294); komposisi pertama telah dikatalogkan secara terpisah (lihat Sêrat Găndakusuma). | ||||||||||
Deskripsi
| Judul | ||
| Tipe | : | Naskah |
| Bentuk | : | Tembang |
| Bahasa | : | Jawa |
| Aksara | : | Jawa |
| Jilid | ||
| Halaman | : | 115 (folios 67–183) |
| Sumber | ||
| Katalog | : | British Library MS 12294 Digital |
| Ukuran | : | 26.5 x 18.5 cm., 18 baris per halaman. |
| Kertas | : | Jawa. Lihat deskripsi di: Ricklefs et al., 1977, pp. 46–7. |
| Penomoran | : | Naskah utuh – 378 faksimili digital: ff. 1–183 + f. blef + f. brig + f. bspi + ff. s1 + ff. se2–4. |
| Digitalisasi | ||
| Tanggal | : | 2025-05-24 |
| Sumber dari | : | British Library MS 12294 Digital |
| Pemindaian | : | British Library |
| Pengalihaksaraan | : | Yayasan Sastra Lestari |
| Pengetikan | : | Yayasan Sastra Lestari |

