Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-09, #1805

Judul
Sambungan
1. Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-01-23, #1805. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Kajawèn.
2. Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-01-30, #1805. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Kajawèn.
3. Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-02, #1805. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Kajawèn.
4. Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-03, #1805. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Kajawèn.
5. Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-04, #1805. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Kajawèn.
6. Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-05, #1805. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Kajawèn.
7. Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-06, #1805. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Kajawèn.
8. Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-07, #1805. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Kajawèn.
9. Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-08, #1805. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Kajawèn.
10. Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-09, #1805. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Kajawèn.
11. Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-10, #1805. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Kajawèn.
12. Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-11, #1805. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Kajawèn.
13. Kajawèn, Balai Pustaka, 1935-12, #1805. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Kajawèn.
Citra
Terakhir diubah: 18-08-2021

Pencarian Teks

Lingkup pencarian: teks dan catatan-kakinya. Teks pencarian: 2-24 karakter. Filter pencarian: huruf besar/kecil, diakritik serta pungtuasi diabaikan; karakter [?] dapat digunakan sebagai pengganti zero atau satu huruf sembarang; simbol wildcard [*] dapat digunakan sebagai pengganti zero atau sejumlah karakter termasuk spasi; mengakomodasi variasi ejaan, antara lain [dj : j, tj : c, j : y, oe : u, d : dh, t : th].

Ăngka 70 Rê Lê, 5 Jumadilakir Jimakir 1866, 4 Sèptèmbêr 1935, Taun X

Kajawèn

[Iklan]

--- [0] ---

[Iklan]

--- [0] ---

PEDATO DIUCAPKAN

Oleh Voorzitter Volksraad dan Tuan Besar Gouverneur Generaal

dihadapan umum didalam Istana di Rijswijk, Betawi pada 31 Augustus 1935, waktu merayakan hari taun Baginda Seri Maharaja Wilhelmina.

Seripaduka Tuan Besar.

Wakil penduduk Hindia Belanda dari segala dan berbagai-bagai golongan, sudah hadir disini dan disegala tempat kedudukan keresidenan, akan membuktikan setia dan cintanya kepada maharaja kita yang mahamulia, maharaja kita yang hari tahunnya yang kelimapuluhlimanya dirayakan pada hari ini oleh seluruh Nederland-Raya. Perasaan yang disatukan tujuannya itu adalah sebagai satu sinar cahaya pada permenungan tentang kesusahan kita bersama dalam hal perkara ekonomi dan perjuangan pikiran dimana ini.

Kesukaran ekonomi ra'yat disini dan disana sudah amat besar. Disini kita sudah dapat mengutamakan keperluan umum dari pada keperluan segolongan-segolongan, dan sesudah kita menyenyuaikan diri kepada keadaan - suatu kesanggupan yang amat terpuji, tetapi yang dijalankan dengan penanggungan yang amat berat - maka terdapatlah keadaan yang agak tenang dan tetap. Disana, pertentangan keperluan melalaikan perjalanan melalui jalan yang sukar sulit itu; meluncurnya kelembah yang dalam hanya masih dapat ditahan selama tebing yang curam itu masih ada memberi tempat bagi kaki bertumpu.

Disini, dengan penghematan dan kesederhanaan yang sehabis-habisnya penghematan dan kesederhanaan, belanja negeri dan belanja rumah tangga ra'yat sudah dapat diturunkan sampai ketingkat yang amat rendah, yang tidak terkira-kirakan rendahnya, dan karena itu sudah hampir dapat disesuaikan belanja dengan hasil.

Disana, karena banyaknya bantuan yang mesti diberikan, menambah berat kesukaran negeri dan beban ra'yat dengan seberat-beratnya soal dan berbagai-bagai perkara, pengharapan akan terlepas dari kesukaran itu sudah mundur kemasa yang akan datang.

Dan apakah akibat kesukaran ini dalam kedua negeri itu? Perhubungan kepentingan kedua negeri itu bertambah rapat? Atau memperkuat perasaan persatuan antara kedua negeri itu? Jika tidak salah tilik saya: kedua-duanya. Perhubungan kepentingan kedua negeri itu bertambah rapat: karena negeri Belanda jadi senang apabila Hindia ma'mur, dan jadi susah, jika Hindia dalam kesukaran; sebab Hindia sebaliknya ta' boleh tidak akan menderita juga kesukaran ekonomi yang akan datang dinegeri Belanda.

Tidak kurang pula perkara-perkara yang memperkuat persatuan antara kedua negeri itu: ternyata dari pada pinjaman Hindia yang ditanggung oleh Nederland dan dari pada aturan-aturan yang masih jarang - masih terlalu jarang - yang memperkokoh pendirian kedua negeri itu dipasar dalam negeri luaran dan dipasar dalam negeri sendiri.

Lebih penting dari pada, tetapi sangat dipengaruhi oleh, kesukaran ekonomi itu, adalah perjuangan pikiran dan pendapat yang berkobar-kobar dikeliling kita ditiap-tiap medan peradaban. Kejadian dalam masa dan sesudah perang, yang mula-mulanya mengacau bilau saja, ya bahkan meragukan, dalam beberapa negeri sudah berangsur-angsur menampakkan rupa dan bangun. Percobaan sudah diganti dengan aturan yang tetap. Menguatirkan, jika ditilik apa yang oleh satu golongan dinamai mempertahankan kekuasan, oleh golongan lain dipandang sebagai mempergunakan kekuasaan itu buat perkara yang salah; menarik hati, jika diketahui, bahwa dari kekacauan itu sudah kelihatan susunan yang teratur, kelihatan tujuan yang tetap dari pemegang kendali pemerintahan, lebih tetap dari pada ditempat lain, dimana tenaga buat bekerja itu sudah dilemahkan oleh perebutan kekuasaan yang ditimbulkan oleh perjuangan politik. Negeri kita - masakan tidak - pun tergoncang juga kena badai topan itu.

Kata kawi, pepatah petitih, semboyan, bagi kebanyakan orang sudah hilang kesaktiannya, tidak dapat dipakai lagi akan jadi alasan; bahkan sekaliannya itu mesti dibuktikan alasan-alasannya sendiri menurut keadaannya masing-masing dalam jaman sekarang ini, diuji dibanding dengan harga yang dikandungnya, dengan dapat tidaknya dijalankan, dan dengan akibatnya. Sebab tiap-tiap usaha mencari jalan yang baru, tiap-tiap anggaran baru mengaku bahwa dia dilahirkan dari dan timbulnya karena: cinta kepada kebenaran, buah yang masak dari sengsara yang ditinggalkan oleh perang dunia, dan dari kemunduran yang banyak juga membawa berkah. Cinta kepada kebenaran yang tidak mengucilkan cita-cita, dan barangkali yang dijunjung oleh cita-cita itu, tetapi yang hanya boleh mendatangkan kebenaran yang asalnya dari cita-cita itu. Semboyan yang baru-baru didesakkan kepada ra'yat, dengan riuh rendahnya, diuar-uarkan masa yang baru mengganti keadaan yang ada ini. Sangat menarik hati; bukankah manusia itu - dan pasti dalam keadaan seperti pada dewasa ini - sangat mengharapkan perubahan, dengan tidak menghiraukan apakah perubahan itu kelak akan mengecewakan atau tidak.

--- [0] ---

Sekaliannya ini memaksa kita berpikir lebih lanjut, memaksa kita tepekur, menilik pendirian sendiri dengan tilikan yang tajam, untuk menjaring sekaliannya itu, membersihkan, sehingga dari dalam banjir yang hendak merobohkan sekalian yang ada ini, hanya tinggal lagi mana yang sebetul-betulnya mulia saja.

Oranye sudah sanggup memperteguh tegak politik yang sudah goyang itu, dengan mempergunakan seluas-luasnya kekuasaan yang diberikan oleh dasar undang-undang kepada baginda; dan ini sudah tentu menyebabkan seluruh kebangsaan menerima sukur pula.

Dan dengan sepasti-pastinya, dalam perjuangan pikiran dan pendapat itu, - sekarang seperti 4 abad yang lalu - sudah ada pula yang akan dikatakan turunan Oranye kepada ra'yat dan, mujurlah, ra'yat itupun suka sekali mendengarkan kata itu. Betapapun perasaan terbagi-baginya karena berpartij-partij itu, tetapi tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa sebagian besar sama perasaannya terhadap kepada Maharaja kita, sama pengakuannya, bahwa turunan Oranye itu sudah berabad-abad memberi suri teladan yang amat banyak kepada kita, tentang berkorban dan menyerahkan diri dan tenaga apabila kesukaran itu sudah datang mengancam. Apapun jua yang akan didatangkan oleh masa yang akan datang, kita sudah mempunyai kepastian yang tetap, bahwa Ibu Suri Negeri kita itu, yang dengan maksud yang berarti sekali telah menamai putera baginda menurutkan nama Juliana van Stolberg, - dan kemudian, baginda puteri yang memakai nama mulia dari nenek moyang Oranye yang saleh itu, akan jadi tanggungan yang kuat sekali buat kemerdekaan memeluk agama dan tentang pikiran, terhadap serangan mana sekalipun jua.

Herankah, apabila ada tali yang kukuh mengikat raja dengan ra'yat, apabila ra'yat itu dengan sesungguhnya sama bersuka dan sama berdukacita dengan raja dan ahli kerabat baginda?

Ra'yat itu sudah menyatakan yang demikian itu, ketika dalam tahun yang lalu dua kali raja dan ahli kerabat baginda mendapat kerusakan yang sangat menyedihkan hati. Ra'yat itupun masih sama-sama merasakan kehilangan yang tiap-tiap hari terasa dalam istana raja itu. Dengan hati yang sangat tergoncang dan hati yang sangat sedih ra'yat melihat ibu suri dan puteri baginda. Menghiburkan hati yang duka itu dengan memperlihatkan setia dan cinta. Mencari penghiburan dari dalam nasihat baginda menentang hidup baru itu dalam sinar dan kegirangan yang menanti orang yang sudah dulu berpulang. Mencari penghiburan juga dari dalam keyakinan, bahwa kesusahan itu tidak diderita baginda sebagai suatu takdir saja, tetapi yang menjadikan itu satu bukti dan mempergunakannya untuk mencapai yang lebih mulia, cita-cita yang sudah jadi tujuan baginda selama 'umur baginda; perkataan dan perbuatan baginda sudah membuktikan. Jika dijadikan demikian, jika disucikan seperti itu, maka dukacita dan kesusahan akan menjadi suatu berkah dan rahmat, suri teladan raja kita itu akan menimbulkan semangat, membangunkan kegembiraan buat berjalan terus akan menentang kesusahan dan achirnya akan mengalahkannya. Moga-moga kekuatan dan kebijaksanaan itu dikurniakan Tuhan berlimpah-limpah pada baginda dalam jaman yang serba sukar ini!

Seri Paduka Tuan Besar,

Atas nama ra'yat Hindia Belanda saya mengharapkan kemurahan Seripaduka Tuan Besar akan mempersembahkan ucapan selamat kami dengan segala hormatnya dan akan menyatakan kecintaan kami kepada Seri Baginda Maharaja.

Mudah-mudahan Yang Mahakuasa mengurniakan umur panjang bagi baginda untuk keselamatan negeri inipun juga.

Tuan Voorzitter Volksraad,

Besarlah rasa terima kasih kita dapat pula sama-sama berkumpul disini untuk merayakan hari tahunan Seri Baginda Ratu kita yang kita cintai.

Perkataan yang tuan ucapkan, Tuan Voorzitter Volksraad, atas nama penduduk Hindia ini, amat baik menyatakan perasaan yang memenuhi hati kita. Digambarkannya apa yang hidup didalam kalbu kita; diucapkannya kesetiaan dan kasih sayang kita; dijunjung oleh cinta dan hormat kita terhadap kepada ratu kita.

Selalu saja datang kesempatan bagi kita untuk mengalami pula, bahwa perkataan yang demikian itu bukan hanya semata-mata perkataan, tetapi suatu kenyataan yang menggirangkan hati dan tiada ternilai harganya. Dalam waktu yang kemudian ini pikiran kita tertambat kepada kesukaran-kesukaran yang besar di negeri Belanda, yang disebabkan oleh perjalanan politik disana. Kita telah mempersaksikan, betapa pentingnya pekerjaan yang harus dan yang telah dilangsungkan oleh Seri Baginda berhubung dengan kejadian itu. Maka terbaharulah pula perasaan kita, betapa besarnya arti dan harganya bagi kita sekalian, bagi seluruh pergaulan kita dan Pemerintahan negeri kita sekalian, kita mempunyai seorang ratu, yang tahu apa yang harus dikerjakannya dalam waktu yang sukar dengan kecakapannya, dengan sungguh-sungguhnya, dengan ketetapan hatinya dan pemandangannya yang dalam, yang membangkitkan hormat dan kekaguman kita. Pada waktu gentingnya keadaan disegala cabang kehidupan seperti sekarang ini, sedangkan krisis dunia dan akibat-akibatnya masih menyukarkan kita dan sedangkan dalam tiap-tiap negeri tiap-tiap Pemerintah menghadapi kesukaran dalam negerinya yang hampir-hampir tidak terselesaikan olehnya, dalam keadaan yang demikian

--- [0] ---

menggirangkanlah, bahwa kita dapat menyerahkan nasib kita kepada seorang Ratu, yang oleh kebijaksanaannya dan pimpinannya yang tetap dan tiada menyimpang-nyimpang sebaik itu mempertahankan dan meneruskan nama dan kebiasaan yang baik-baik sekalian keturunannya yang mulia-mulia itu.

Cukupkah kita menghargai sekaliannya itu?

Cukupkah kita dari pihak kita memenuhi apa yang patut kita penuhi, yaitu setia kepadanya dan menurut katanya, menyerahkan tenaga kita kepada kepentingan orang banyak, kesanggupan kita berkorban bagi kepentingan negeri, kemauan kita untuk bekerja bersama-sama, sokongan kita kepada kekuasaan pemerintah dan perlawanan kita terhadap perpecahan dan gangguan keamanan dan ketertiban?

Rasanya ta' seorang juapun yang tentang hal ini akan merasa dirinya tiada bersalah atau terlalai sedikit juapun. Dalam hal ini tiada pernah rasanya kita boleh menyangka, bahwa telah cukuplah usaha kita untuk sekaliannya itu.

Ukuran itu telah selayaknya pula teruntuk bagi pergaulan kita di Hindia ini. Tetapi meskipun demikian atas pertanyaannya seperti yang kami kemukakan itu Hindia akan dapat menjawab: saya telah berdaya upaya mengerjakan kewajiban saya menurut besarnya tenaga saya; saya telah berjuang melawan kesukaran yang disebabkan oleh keadaan zaman; kurban telah diberikan; persatuan telah dijaga.

Sekaliannya kami katakan menurut keyakinan kami yang sedalam-dalamnya dan menurut kata hati kami yang sepenuh-penuhnya. Saya berhak untuk mengatakan demikian, sebab empat tahun lamanya saya mempersaksikan dari dekat kesukaran yang menimpa negeri ini serta betapa caranya negeri ini melawan sekaliannya itu. Sekaliannya itu kami katakan, oleh karena dengan itu akan dapatlah kami menginsafkan, betapa besarnya keberanian, keteguhan iman, kasih sayang, penyerahan kepada yang Maha Kuasa dan keinsafan akan kewajiban sebagai anggota masyarakat yang telah perlu untuk melangsungkan dan yang masih perlu melanjutkan perlawanan itu.

Jangan sekali-kali kita menyia-nyiakan ma'na yang penting yang terkandung pada waktu ini, waktu kita dapat menengadah melihat kepada Ratu kita dan menghormatinya dengan keyakinan, bahwa kita telah melangsungkan apa yang dapat diharapkan dari kita. Marilah kita menginsafkan, bahwa segala usaha dan perjuangan yang perlu untuk itu telah mempunyai 'akibat yang nyata sekali; bahwa kita telah sanggup mempertahankan masyarakat kita; bahwa kita dalam berbagai-bagai pasal telah dapat menyesuaikan kepada syarat-syarat baru; bahwa kita dapat mempertahankan tenaga hidupnya. Sengaja kami mengemukakan ini, oleh karena dalam waktu yang achir ini kami melihat sebagian orang agak putus asa dan cemas menghadapi masa yang akan datang. Perasaan itu tidak boleh diturutkan; terutama sekali pada hari ini tidak sekali-kali. Kita boleh dan harus percaya akan pimpinan yang senantiasa telah dan senantiasa tetap akan diberikan oleh Ratu kita kepada kita. Kepercayaan kita itu tiada akan sia-sia, sebab kita tahu, bahwa baginda itu sendiri mendapat tenaganya dari Dia, yang memerintahi seluruh 'alam.

Demikianlah kita tidak usah pikirkan lagi pertanyaan, apa yang akan terjadi jika keadaan itu lebih buruk lagi dari pada yang sudah ada sekarang ini. Oranye dan Nederland bersama-sama sudah berabad-abad berdiri tegak dengan kukuhnya.

Dengan pikiran yang demikian itulah kita mesti menghadapi masa yang akan datang. Pekerjaan yang mesti dilakukan, tidak membiarkan kita menyia-nyiakan tenaga karena kepicikan dan percerai-beraian.

Betul sekarang bukan serangan yang hebat-hebat lagi yang harus kita tangkis, seperti yang biasa kita derita pada beberapa tahun yang achir ini; betul kita tidak usah menopang yang akan roboh lagi, akan tetapi 'akibat-'akibat dari apa yang sudah terjadi itu sekarang makin terasa. Dengan sepenuh-penuhnya dirasa'i oleh masing-masing orang sekarang, apa benar artinya perkataan-perkataan 'umum seperti depressie dan crisis. Soal pengangguran dimana-mana sekarang sudah terkemuka; perniagaan dan perusahaan sudah menjadi lemah selemah-lemahnya, dan lapangan dia makin menjadi sempit jua dan seolah-olah diikat dan dikungkung kaki tangannya; kekuatan ekonomi ra'yat sudah sangat menjadi lemah; reserve hanya tinggal sedikit saja lagi, yaitu reserve yang akan berguna diwaktu susah; tidak ada kelonggaran lagi yang perlu buat menolong orang yang berhajatkan pertolongan; jalan ke-kesukaran sudah bertambah dekat. Pemerintah tidak kuasa buat mencegah sekaliannya itu; bahkan adakalanya, karena hendak mencegah keadaan yang lebih buruk, pemerintah terpaksa mengadakan daya upaya yang memperberat beban itu. Sekarang tidak usah kami ulangi lagi sekaliannya itu; semua orang tahu betapa bertambah beratnya beban itu, bagaimana aturan-aturan bagi amtenar sudah diubah, dan bagaimana juga dalam perusahaan partikulir diadakan aturan yang berat-berat. Tetapi sekaliannya itu tidak dapat disingkirkan; tidak seorang juga yang tidak kena; memang hal itu tidak enak dan pahit rasanya, tetapi perlu sekali; penghidupan yang diturunkan tingkatnya, administratie yang disederhanakan, suatu begrooting yang cocok, itulah semuanya syarat-syarat yang perlu buat mempertahankan tempat berdiri, supaya kelak dapat hidup dengan subur kembali.

Buat memenuhi syarat-syarat itu mesti kita bekerja terus dengan hati gembira dan keyakinan; masing-masing mempunyai kewajiban dalam hal ini. Alangan-alangan yang diderita dalam menjalankan kewajiban itu

--- [0] ---

selalu diperhatikan oleh pemerintah; penjagaan atas peri hal makanan rasanya belum pernah dilakukan sekeras sekarang ini. Dengan segala kekuatan dijalankan berbagai-bagai daya upaya, yang maksudnya akan memperbaiki keadaan ekonomi, memajukan perusahaan, lebih-lebih perusahaan yang kecil-kecil, kolonisatie, melangsungkan pekerjaan yang besar-besar, penerangan dalam berbagai-bagai hal, politik perniagaan yang actief dalam berbagai-bagai jurusan. Akan tetapi masalah-masalah dunia tidak dapat kita selesaikan disini, dan Hindia bergantung kepada masalah dunia itulah.

Ini dan yang sebenar-benarnya perlu diakui dan diinsafi; memang hati itu lekas tertarik akan menipu diri sendiri, dengan menyangkanya, bahwa kita dapat memperoleh kema'muran itu kembali dengan merombak susunan masyrakah, mengadakan aturan yang berat-berat, dan mempunyai pedoman yang lain. Itu tidak dalam kuasa kita. Harus kita dulukan menimbulkan keadaan yang biasa kembali dan tentang ini kita tidak usah bersusah pikiran lagi. Sebentar-sebentar kita menghadapi kejadian dunia yang berbahaya rupanya, akan tetapi cita-cita dan usaha yang menuju kepada keadaan yang baik kembali, damai, dan keadaan yang tetap aman dan sejahtera, nyata sekali kelihatannya, tidak dapat dimungkiri.

Jadi yang perlu sekarang ialah meneruskan sikap itu, sampai cita-cita dan usaha itu memberi hasil.

Pada hari seperti yang sekarang ini, bolehlah kita berhati gembira yang penuh pengharapan. Bukankah pada waktu ini kita insaf lebih dari pada yang sudah-sudah, bahwa syarat-syarat buat meneruskan sikap itu memang ada. Pun kata-kata tuan, Tuan Voorzitter Volksraad, dalam perkara ini telah menyatakan dengan senyata-nyatanya maksud yang penting itu.

Dalam masa yang lalu, karena persatuan dan karena bantu membantu, kita sudah dapat bertahan dalam keadaan yang sukar dan sulit itu; pun dimasa yang akan datang akan mungkin yang sedemikian itu, apabila kita tetap merasa satu, sebagai ra'yat yang setia dari Seri Baginda Ratu, apabila kita meniru suri teladan baginda dan kita mempergunakan tenaga kita yang sepenuh-penuhnya untuk akan berbakti kepada baginda.

Moga-moga Tuhan melimpahkan rahmat dan 'umur panjang kepada baginda untuk keselamatan Negeri dan Ra'yat.

--- [1101] ---

Ăngka 70, Rê Lê, 5 Jumadilakir Jimakir 1866, 4 Sèptèmbêr 1935, Taun X

Kajawèn

Kawêdalakên sabên dintên Rêbo lan Sabtu

Rêgining kalawarti punika ing dalêm tigang wulan f 1.50, bayaran kasuwun rumiyin, botên kenging langganan kirang saking 3 wulan.

Juru ngarang - Administrasi Bale Pustaka, ing sawingkinging kantor palis, tilpun nomêr 1743 - Bêtawi Sèntrêm.

Isinipun: Mêsjid - Bab Kasarasan - Miyos Sinewaka - Wangsalan Tigang Warni - Gambar - Kawontênan ing Inggris - Nonton ing Pasar Gambir - Kabar warni-warni.

Mêsjid

[Grafik]

Sawangan sangajêngipun mêsjid ing Serang, Bantên.

--- 1102 ---

Bab Kasarasan.

Kadospundi lan ing wêkdal punapa kula tiyang limrah kenging utawi sagêd têtulung dhatêng tiyang ingkang kataman sêsakit.

Sambêtipun Kajawèn nomêr 68.

Samăngsa tangan ingkang botên rêsik nyêpêng prabot ingkang rêsik, prabot wau inggih lajêng botên rêsik malih (ing panggenan ingkang kagêpok tangan wau botên rêsik) mila prabot ingkang rêsik botên kenging kacêpêng tangan, nanging kêdah dipun pêndhêt kalihan japit ingkang pucukipun kangge anjapit wau sampun rêsik. Pucukipun japit wau sagêdipun rêsik inggih punika ing sadèrèngipun kangge kêdah dipun panggang sakêdhap ing dilah spiritus ingkang murub.

Yèn wontên tatu ingkang kulitipun kiwir-kiwir punika kêdah dipun icali ingkang kiwir-kiwir wau, awit kulit wau mêsthi dados pêjah utawi bosok adamêl rêndhêting sarasipun tatu, mila kêdah dipun bucal utawi dipun icali. Sadèrèngipun dipun gunting, saubêngipun tatu dipun osèr-osèri jodiumtinctuur, prêlunipun sapisan jodiumtinctuur wau kangge mêjahi baktèri ingkang tumèmplèk ing kulit, kaping kalih bokbilih prabot gunting utawi sanèsipun nyêrèmpèt utawi anggêpok kulit wau, botên damêl rêgêd utawi botên damêl rêgêding prabot ingkang sampun rêsik.

Mêndhêta japit ingkang pucukipun sampun dipun rêsiki, sampun kapratelakakên ing ngajêng, kangge anjapit utawi mêndhêt gunting, japit saking wadhah isi toya ingkang sampun godhogan.

Yèn tiyang sanès ingkang nampi, sanajan namung nyêpêng cêpênganipun prabot gunting lan japit, lajêng botên rêsik nanging pucukipun ingkang taksih rêsik punika dipun jagia sadèrèngipun kangge sampun ngantos pucukipun wau senggolan utawi gêpokan barang punapa-punapa. Kulit ingkang kiwir-kiwir wau dipun japit kalihan pucukipun japit, lajêng dipun gunting kalihan pucukipun gunting ingkang rêsik wau, dados botên sagêd wontên baktèri sanès ingkang katut kabêkta, utawi lumêbêt ing tatu utawi kulit ingkang sampun kagunting punika.

Japitan gunting ingkang sampun kangge, lajêng dipun lêbêtakên ing wadhah isi toya ingkang godhogan wau utawi toya ingkang sagêd nawar, inggih punika karbol utawi lysol oplossing.

Mêndhêt sinjang ngangrangan (gaas) ingkang rêsik saking dhus punika kêdah mawi japit ugi ingkang rêsik, sinjang ngangrangan wau lajêng dipun gunting ing gunting ingkang rêsik, dipun tèmplèkakên ing tatu lajêng dipun blêbêt.

Mulasara lan anjampèni tatu, utawi korèng ing padintênan inggih dipun pêndhêt gampilan kemawon, botên kêdah manut pranatan rêsik awit adatipun tatu ingkang sampun langkung sadintên utawi kalih dintên punika, sampun abuh, ing saubêngipun [sa...]

--- 1103 ---

[...ubêngipun] tatu, dat pêthak (witte bloedcellen) ingkang sampun sami pêjah, damêl utawi sampun dados bêndungan ingkang sagêd nyêgah utawi nulak lumêbêtipun bakteri sanès, kadosdene kulit makatên sagêd nanggulangi baktèri.

Mila tatu ingkang saubêngipun sampun abuh makatên, botên kuwatos kalêbêtan baktèri sanès, dados botên patos prêlu dipun jagi tatanan rêsikipun.

Tuladha: ing taun 1933 kula piyambak gadhah sêsakit kadosdene uci-uci makatên ing sisih plawangan ngandhap (dubur). Awitipun kula kesah numpak mobil dhatêng sanès nagari, ing têngah margi antawisipun Kudus kalihan nagari ingkang badhe kula dhatêngi, sampun kraos risi ing panggenan ngriku. Sawangsulipun sangsaya kraos risi lan angrênjêl. Dumugi ing griya kula grayangi jêbul wontên kadosdene daging alus mêndhêlis sajênthik mêdal saking plawangan, enjingipun kula grayangi wontên malih ingkang langkung agêng jejeran, botên sakit namung kraos risi lan anggrênjêl. Enggal kula têdahakên dhateng dhoktêr supados dipun priksa. Sasampunipun kapriksa titi, pratela yèn sêsakit kula punika botên ambêbayani, jampinipun kêdah dipun komprès kalihan burowiater, kula mantuk kalihan bingahing manah dening botên kêdah dipun potong, cêkap dipun balêbêd komprès kemawon.

[Grafik]

Mitongtonakên pambalêbêtipun tatu-tatu ing tangan.

Kalih dintên têrus kula komprès. Nanging botên wontên tulungipun punapa-punapa, malah ingkang thukul saya agêng tur kula kraos langkung risi lan anggrênjêl.

Kula lajêng pinanggih dhoktêr wau malih, kapriksa ing plawangan ngandhap, dhoktêr pratela yèn sêsakit kula punika kêdah dipun potong, dipun icali. Yèn badhe dipun potong, kula kêdah mlêbêt ing griya sakit Sêmarang salêbêtipun 2-3 minggu sagêd rampung saras. Badhe kasambêtan.

R. Sumadirja.

--- 1104 ---

Miyos Sinewaka

Ing kina-kinanipun ingkang pinanggih ing karaton dalêm Surakarta, panjênêngan dalêm nata punika, miyosipun sinewaka, wontên ing dintên Sênèn Kêmis wontên ing pandhapi agêng, kajawi punika sabên taun kaping tiga, ing garêbêg Siyam, Bêsar tuwin Mulud, miyos sinewaka wontên ing sewayana (sitinggil), wontên malih miyos sinewaka wontên ing sanasumewa (pagêlaran) ing kinanipun namung kagêm ing kalaning anjumênêngi abên-abên sima.

Nanging ing sapunika, miyos sinewaka ing Sewayana, punika kagêm misudha tuwin andhawuhakên lèrèh tumrap para agung.

[Grafik]

Ingkang kacêtha ing gambar, nalika Sampeyan Dalêm Ingkang Wicaksana kondur angadhaton mêntas miyos sinewaka saking sanasumewa.

Ingkang sami lumampah ing ngarsa dalêm Sampeyan Dalêm Ingkang Wicaksana, punika para pangeran putra. Têdhak dalêm ginarubyug ing upacara kaprabon kadosdene ingkang kocap ing padhalangan: Banyak dhalang, sawunggaling, ardawalika tuwin sanès-sanèsipun.

--- 1105 ---

Raos Jawi

Wangsulan tigang warni, wêwatoning gêsang ing ngalam donya, ngambah margi ingkang sakalangkung gawat.

Nglêgêna (lugu).

1. kunir pita, kumangi wulung gagangnya, paramudha, asiha marang sasama.
2. witing klapa, pêpatih Nata Mandura, gêgulanga, ing tindak ingkang prayoga.
3. Wulu sata, kang warastra agêming priya, glaring donya, rêribêd ingkang utama.
4. ancur kaca, kulambi cêkak lêngênnya, thuking rasa, tan ngetang jiwa sarira.
5. linang sukma, sarira mati karengga, aja lena, diprayitna amongraga.
6. Jênang gula, singa tirta măngsa janma, yèn lalia, sayêkti manggih bêbaya.
7. tigas karya, wulucumbu Madukara, witing lena, amarga karêm ing donya.
8. wêlut wana, titihan janma antaka, tindak ala, kumanthil-kanthil nèng donya.
9. toya netra, satriya martapèng ngarga, dèn waspada, tindak bênêr lan sanyata.
10. jarwa palwa, sraya mina saupama, nyatanira, pan dudu wujuding ana.

Wulu, sandhangan (piranti).

1. kawul siti, garwane Bagendha Ngali, ninging budi, kang bakal sumurup yêkti.
2. tirta mandi, janma kondur jroning bumi, disatiti, wit gawat kapati-pati.
3. lampah pêksi, bangawan lit sumbêr siti, dèn tabêri, talatèn tindak utami.
4. sekar lathi, ucaping guru sêjati, sabên ari, gêgulanga mangrèh kapti.
5. monging srati, gêlang lit munggèng dariji, jro pangèsthi, gumantung ana ing lali.
6. tirta suci, mesa bang dèn ingu janmi, jroning lali, ingkang ana amung sêpi.
7. gênging budi, bangawan lit murang margi, jroning sêpi, jatine amêngku lali.
8. tlaga mili, durèn gung kang gănda wangi, witing lali, minăngka sêksining sêpi.
9. jarwa kawi, wisma lêmbu cakêt panti, bisa mukti, sajroning nandhang bilai.
10. saron jati, jamang wakul dèn wastani, bangkit mati, jro urip winêngku pati.

Suku, tumindak, ebah.

1. jroning wêngku, pindhan janma saking kayu, disinau, bangkit mêlèk jroning turu.
2. sapu kayu, pêthuking janma lumaku, jroning turu, yèn bênêr bisa katêmu.
3. gêndèr kayu, wêsi gilig pantèk kayu, gampang ngaku, kalamun uwus winêngku.

--- 1106 ---

4. dhuwêt wungu, putra singa jroning ranu, kapiluyu, ngèlmune durung katêmu.
5. pantèk prau, wêlut wisa sabèng dalu, ngèlmu iku, katêmune kanthi laku.
6. kawêt bau, dhuwêt alit warna wungu, gênging kalbu, nênuntun tindak rahayu.
7. bapa ratu, arta kang kinarya sangu, amêmayu, sèn-isèn jagad rahayu.
8. putra sunu, sarpa krêsna sabèng dalu, kang pinuntu, tan lyan mung êmpaning laku.
9. pandom traju, panêngahing putra pandhu, dipun pluntu, supaya ja kongsi kliru.
10. sastra pitu, tulup alit jroning gulu, ywa kasusu, dèn awas pamurung laku.

Cakrawăngsa, Kêndhal.

Pawartos saking Administrasi

Lêngganan nomêr 2249 ing Salêm f 1.50 punika tumrap kuwartal I taun 1936.

Lêngganan nomêr 732 ing Ngayogyakarta. Kajawèn nomêr 56 dumugi 61 sampun têlas.

Lêngganan nomêr 5936 ing Sala. Tarsan nomêr 32 (Kêjawèn 59) sampun têlas.

Bali

[Grafik]

Sawangan salah satunggiling margi ing Bali.

--- 1107 ---

Pawartos Sanès Praja

Kawontênan ing Inggris.

Sampun misuwur, Inggris punika dêdamêlipun ing lautan sakalangkung santosa, mila ing bab rêmbag amatêsi dêdamêl, tumrapipun Inggris taksih dipun samarakên ing sanès ing bab wadyanipun lautan.

[Grafik]

Prèmir Stanley Baldwin nuju kagarubyug dhatêng gêdhong Universiteit ing Cambridge.

Ing bab rêmbag dêdamêl lautan, Inggris sampun sarêmbag kalihan Jêrman tuwin sampun sami condhongipun, nanging ing bab yêyasan kapal pêrang, kêdah dipun matêngakên rêmbagipun. Bab punika Prancis inggih dipun purih ngintuni wêwakil anjênêngi anggèning sami badhe rêrêmbagan. Makatên ugi inggih badhe nyuruhi Itali. Pinanggihing rêmbag, sêmu-sêmunipun ingkang sagêd anjèjèri ebah-ebahan Inggris bab dêdamêl lautan, namung pinanggih ing Jêrman.

Nagari-nagari ingkang sami gêgayutan rêmbag punika, pinanggih sami babagipun, mila manawi dipun manah-manah, sayêktosipun namung sami pasang kasujanan. Tumrapipun Inggris, anggèning nyantosakakên dêdamêl lautan, prêlunipun kangge anjagi [a...]

--- 1108 ---

[...njagi] kawilujênganing jajahanipun, awit Inggris punika sami-sami nagari ing Eropah, kalêbêt ingkang sugih jajahan piyambak. Mila pamulatipun Inggris punika botên namung tumuju dhatêng tăngga praja ingkang cêlak kemawon, ugi tumanduk dhatêng praja ingkang têbih-têbih, saking angèngêti kathahing jajahanipun wau.

[Grafik]

Kapal-kapal mabur Inggris nuju anggêgana ngêdalakên kukus.

Tumrap laladan wetanan, Inggris tansah mawas dhatêng ebahipun Jêpan, awit Jêpan tansah andandosi kasantosaning wadyabalanipun. Ingkang makatên punika tumrapipun Inggris tansah nyamarakên, mila inggih lajêng nyantosakakên wadyanipun lautan, ingkang gêgayutan kalihan laladan ngriku, dununging kasantosan wau manggèn ing Singgapura, prêlunipun botên sanès, badhe kangge nanggulangi samăngsa wontên bêbaya ingkang tuwuh saking Jêpan.

Ingkang makatên punika tumraping Inggris pancèn mumpuni dhatêng bab pamerang-meranging kêkiyatan, inggih sagêd tumănja ing Eropah, inggih ing Asiah. Dene ingkang dipun kuwatosakên Inggris tumrapipun wontên ing Eropah, botên sanès namung tumuju dhatêng Jêrman, awit saupami Jêrman dipun uja ing bab anggènipun nyantosakakên dêdamêl, tamtu badhe tanpa tandhing. Nanging sarèhning Inggris punika kapetang wêgig dhatêng ingar-ingêring kapulitikan praja, sagêd adamêl tindak [ti...]

--- 1109 ---

[...ndak] nyuda kêkiyataning sanès, lajêng mêwahi kasantosanipun sanès ingkang ringkih, ingkang wusananipun pinanggih sami babag.

Inggih jalaran saking kawêgiganipun Inggris wau, kosokwangsulipun, sarêng Inggris sumêrêp Prancis tuwin Itali saya majêng kasantosanipun, ing sêmu lajêng katingal anggènipun angombèri Jêrman, supados kêkiyatanipun sagêd sami kalihan Prancis tuwin Itali.

Ing sapunika sarêng tuwuh pasulayanipun, Itali kalihan Ngabêsi, gêgayutanipun Inggris kalihan Itali lajêng katingal pinggêt, amargi kathah sabab-sabab ingkang pikantukipun badhe damêl kapitunanipun Inggris.

Jalaran saking wontênipun raos ingkang kados makatên punika, Inggris anggadhahi tindak warni-warni ingkang lèrègipun ngudi dhatêng kasantosan. Malah Stanley Baldwin sampun nate rêrêmbagan kalihan Itali, Bèlgi tuwin Jêrman, ing bab nyantosakakên dêdamêl gêgana, ingkang prêlunipun kangge anjagi kawilujêngan. Bab punika sampun dipun sayogyani dening Jêrman, ingkang wohipun saya adamêl supêkêtipun nagari kêkalih wau. Ing sapunika Inggris sampun anggadhahi wadya juru anggêgana 2700 ingkang sampun sami wêgig-wêgig, wontên malih 1200 ingkang kangge jagi-jagi. Ing salajêngipun, pinanggihing rantaman, benjing taun 1937 Inggris badhe saya ngagêngakên wadya gêgana malih.

Anggèning Inggris araos pinggêt kalihan Itali, punika lajêng nuwuhakên panggrayangan botên sakeca, sagêd ugi ing benjing dados pasulayan. Ing salajêngipun wontên pawartos, jendral Inggris ingkang mangagêngi wadyabala Inggris ing Mêsir, Jendral Scinks kapurih wangsul saking anggènipun pêrlop, prêlu badhe kadhawuhan nata kasantosan wadyabala ing Suès kanal tuwin Suès. Kajawi punika Inggris lajêng ngawontênakên pajagèn ing sanès-sanès panggenan, ingkang sakintên badhe dipun dhatêngi Itali.

Sarêng wontên sêsulak kados makatên punika, Itali lajêng pratela bilih sêdyanipun botên badhe ngêsorakên dhatêng Inggris, tuwin botên nêdya badhe damêl kapitunan. Malah Itali lajêng ngawontênakên parêpatan ingkang nêdya mêmulih pinggêtipun Inggris.

Pawartos ingkang kados makatên punika lajêng nuwuhakên panggrayangan warni-warni, nanging tumraping pamawas, Itali kalihan Inggris saya katingal anggènipun badhe pasulayan, ing raos Inggris sampun botên pitados dhatêng tindak-tandukipun Itali.

Ing sapunika kantun ngêntosi kawusananipun kemawon.

Pawartos saking Rêdhaksi

Lêngganan No. 245 lan No. 1646. Volksalmanak Djawi 1936 ingkang tumuntên badhe mêdal ing wulan punika, ngêwrat bab pènsiun tuwin wahgèl, miturut pranatan enggal lan pranatan lami, dipun cariyosakên ngantos gamblang. Ing sarèhne pitakèn panjênêngan bab kasêbut nginggil, botên cêkap manawi namung dipun wangsuli kalayan cêkakan kemawon, mila prayogi kula aturi nyarantosakên wêdalipun Volksalmanak kemawon.

Lêngganan nomêr 269. I Pènsiunan punggawa guprêmèn kenging dagang. II. Randhanipun punggawa guprêmèn, pikantuk pènsiun. Lajêng emah-emah malih, pènsiunipun ical, wusana lajêng pêgatan. Răndha wau kenging nyuwun pènsiun malih. III. Tiyang ngaturakên sêratipun piyambak dhatêng satunggaling kantor, mawi eksapèdhisi damêlanipun piyambak, punika kenging nêdha tèkên wontên ing eksêpèdhisi wau, botên anglanggar pranatan pos.

--- 1110 ---

Nonton ing Pasar Gambir

II.

Petruk: Hla, saikine wis têkan ing Pasar Gambir. Ayo wis padha mêdhun, taksine tak bayare dhisik. Supir, ini wangnyah, sê-pe-rak.

Mak Kamprèt: Pakne, e, nas, mas, papi, le ngêwèhi kok akèh têmên, sêtêngah rupiyah bae rak iya wis cukup, ta, pakne, e mas, e papi.

Petruk: Wayah, nèk wis mas, ya mas bae, nèk papi, iya papi bae, ana kok banjur digandhèng wani mêngkono. Karo manèh kowe kuwi ora susah ngaruh-aruhi tindakku. Saiki kiyi lagi cara pyayi, iya aja wêdi kelangan dhuwit, kudu dikatonake pakwirane. Dadi dikatonake gagah lan brêgase, prakara sesuk bisa ngliwêt utawa ora, kuwi saikine ora prêlu dipikir. Wis, wis, padha ngêntènana kene, aku tak tuku karcis.

Garèng: Ora, Truk, wong kowe wis ambayar taksine, saiki gêntenan aku sing tuku karcise.

Biyang Nala: Wah, anggêpmu, kathik arêp ambayari karcise, dhuwitmu êndi, hèh, kowe mau gênah ngrogohi kanthongku, ayo gawa rene dhuwitku.

Garèng: Wong iki mung kanggo ulas-ulas, cara Landane pon dhê porêm (voor den vorm) cikbèn aja bangêt-bangêt anggone diarani nonton mung nêmpil-nêmpil bae. Prakara apa aku anjupuk dhuwitmu, disumpahi ya wani, ambok ditumpês bojoku, ta wis ...

Biyang Nala: Apa apa, wong sumpah têka aku sing dikon ditumpês, o, pancèn pêmujimu kuwi supaya aku mati, cikbèn kowe bisa rabi manèh ...

Mak Kamprèt: Bakyu, bakyu, mênika lo kêng rayi sampun wangsul, măngga tumuntên sami mlêbêt.

Petruk: Bêcike anggone padha nonton padha diurut sing nganti tapis kae. Tindake ngiwa, bakyu. Hla, kiyi bango dhêdhasaran barang-barang karajinan gaweane wong bumi. Ayo, saiki padha mlêbu mrene, kabare barang-barang gêgawean Bali utawa Lombok iya ana.

Biyang Nala: Wah, dhi, dêlêngên kiyi, lo, gêlang, kalung, pêniti, wah, gaweane kok apik-apik têmên, ora măntra-măntraa yèn gaweane bangsane dhewe, sajak wêton Eropah têmênan. Hla, kiyi bangsane jungkat saka pênyu, saka gadhing, wadhuh, le brêgas-brêgas têmên. Tak tuku jungkate siji bae, kanggo jimat. E, kiyi tasku dicangking.

Garèng: I-ya. Wah, bune, kiyi kêpenginanku wiwit cilik kae, mendah kaya apa sênêngku yèn duwe pipa kaya ngono kuwi.

Biyang Nala: Ora susah, nganggoa pipa iya ora bagus. Ayo, dhi, padha andêlêng kana kae, jarene kana padhasarane barang-barang saka ing Bali lan Lombok. Dêlêngên kae,

--- 1111 ---

lo, barang-barang tênunan lan ukir-ukiran, mula iya èdi bangêt.

Mak Kamprèt: Pakne, e nas, mas, mas, kae lo priksanana, tênunan Bali sing abang kae. Kok le luwês têmên. Nèk-nèke upama tak anggo rimong pantês bangêt, ya mas, ya mas.

Petruk: Yak, mami, aja kok banjur salin salaga mêngkono. Le muni mas kuwi ambok sing barès bae, aja dipindhan-pindhoni karo nganggo lenggak-lenggok mêngkono, aku kiyi sing ora kuwat. Karo manèh, kuwi ora adune kanggo rimong, nanging kanggo langse jêndhela utawa kanggo rêrênggan tembok. Wis, ayo padha ngalih ênggon, aja mung nang kene bae. Hla, kiyi saurute toko-toko thok bae. Iki bango dhêdhasaran barang-barang gawean tanah Mlayu. Kae barang-barang wêton Ngayoja. Hla, sing katon rame kae, bango dhêdhasarane kabudayan: sêpur, palayaran, lan laku anggêgana. Iki prêlu niliki, mêngko sik, tak tuku karcis dhisik.

Garèng: Wah, hla kok dhuwit thok bae, măngka karcis siji rêgane sakêthip, wah, hla kiyi dianggo tuku dhawêt utawa cendhol, rak iya olèh patang mangkok, tur ngêlake mari, wêtênge iya ora bangêt-bangêt anggone kothong ...

Biyang Garèng: Mênêng, ana kok mung ngisin-isini thok bae, wong têka ora ana kamajuane sathithik-sathithika mêngkono, nèk kira-kira ana barang sing bisa ngundhakake kawruhe kuwi, têka ora anggape babarpisan. Sing dipikir rak mung isining têlèhe thok.

[Grafik]

Petruk: Ayo bakyu, padha mlêbu, hla kiyi wujude kapal mabur sing sok kanggo ngambah gêgana saka Batawi nyang nagara Lănda, hla kae êndhas sêpur sing mlaku saka Batawi nyang Bandhung, sing kana kae kapal K.P.M. sing kanggo lêlayaran ngubêngi tanahe dhewe kene kiyi ...

Garèng: Truk, apa maskape sing prasasat ora têpung jaman malèsèt kiyi, sabab wong iya prasasat ora ngêdhunake taripe, wong iya monopoli, karêpe aku dhewe sing kêna nyewakake kapal, liyane ... ora kêna ...

Petruk: Wiyah, wiyah, kok banjur ngrêmbug plitik mêngkono. Ayo, bakyu, ngalih ênggon manèh, isih akèh sing kudu ditongton. [ditong...]

--- 1112 ---

[...ton.] Hla, kiyi bango tumrap kasarasan. Ayo bakyu, nèk arêp mriksani.

Biyang Nala: Ah, êmoh Ki Petruk, wong aku nyang Pasar Gambir arêp sênêng-sênêng. Ora arêp golèk susah. Wong aku iki nèk andêlêng wong lara, sanajan iya mung gambar, apa manèh yèn wis kuru aking kae, atiku banjur ora karu-karuwan sanalika ...

[Grafik]

Garèng: Pancèn nyata, Truk, bakyumu kuwi nyang wong lara, apa manèh nyang wong mati, mula iya gilapên bangêt. Nanging kok iya lumrah yèn wong wadon kuwi wêdi nyang mati, mulane iya sok banjur ngunthêt ... umure. Lumrahe le umur sêlawe taun bae iya sok nganti ganêp sapuluh taun.

Petruk: Wiyah, iki ora sabab saka wêdi mati, nanging rak sabab wêdi ... tuwa. Wis, wis, Kang Garèng, kowe kuwi kok mung arêp marakake padu bae. Ayo, saiki padha ngaso ana ing rèsturan dhisik.

Garèng: Jo-ngos, lê-kas, kasih dhulu samah aku satu gêlas limunadhah, lêkas, yah, sayah sêlak ngêlak bangêt.

Biyang Nala: Hara, dhi Petruk, apa iya ora ngisin-isini kuwi, wong cara Mlayu kok: sêlak ngêlak bangêt, apa iya mèmpêr. Karo manèh kok le mung mikir awake dhewe.

Petruk: Bok cikbèn, bakyu. Kuwi rak saka ngêlake. Bakyu, saiki arêp mundhut apa. Kênthang sladhah karo bêstik, wah, wong bakyu ki pancèn iya Eropis, dhahare iya ngeropis. Kowe, bune, apa. Lo, kok sêga pêcêl, iya ora ana, mami. Anu bae, ya, sêga gorèng, karo aku. Hla, kowe saikine, Kang Garèng, mi gorèng, iya, mihun godhog, iya, sêga gorèng, iya, kênthang bêstik ...

Biyang Nala: Hla, êmbok iya saka siji, apa iya êntèk, ana bêstèl kathik patang piring dibarêng mêngkono. Wis, Ki Petruk, kanggo kakangmu kuwi, jalukna sêga rames karo mata sapi bae, wis cukup. Iya wis mêngkono kuwi nèk kakangmu, rumasane wêtênge mêsthi bisa nututi matane.

--- 1113 ---

KABAR WARNI-WARNI

Pêthikan saking sêrat-sêrat kabar sanès.

TANAH NGRIKI.

Badhe sinau dhatêng nagari Walandi. Tuwan Wachban ing Kauman, Ngayogya, wêdalan A.M.S. afd. B. ing Ngayogya, nglajêngakên sinau dhatêng nagari Walandi babagan Vakschool Sociale geografie ing Amsterdam, perangan wis en natuurkunde utawi letteren en wijsbegeerte.

[Grafik]

Pambikakipun Pasar Gambir. Inginggil punika gambaripun Tuwan Burgemeester Voorneman, pangarsaning Pasar Gambir, nuju mêdhar sabda wêkdal pambikakipun Pasar Gambir, saha lajêng kasambêt wêdhar sabdanipun Tuwan Guepernur Van der Hoek, lan sanès-sanèsipun malih.

Dr. Tangkau ing Taman Siswa. Dr. Tangkau, satunggiling doktêr sêpuh, rumiyin kancanipun Ki Ajar Dewantara, sapunika sampun pènsiun. Sasampunipun pènsiun, sapunika malêbêt dhatêng Taman Siswa badhe tumut ngajar ing babagan Taman Guru. Dr. Tangkau mêntas mêdhar sabda wontên sangajênging para murid Taman Guru, Taman Dewasa, klas III, tuwin guru-guru Taman Siswa. Dangunipun wêdhar-sabda ngantos 12 jam, sakalangkung adamêl bingahing manah.

Bêbaya kêluwèn ing bawah Cilacap. Ing dhusun Kalikudi, Maos, wontên griya cacah 320 sami dipun tilar dening ingkang gadhah, amargi saking botên tahan nandhang kasusahan ing dhusunipun. Sakawit têtiyang sadaya wau sami nêdha palilah dhatêng lurahipun dhusun badhe pados padamêlan dhatêng sanès panggenan, nanging lajêng botên sami wangsul. Dene gunggunging jiwa ingkang kesah mèh wontên 1000. Cacah jiwanipun ing dhusun ngriku sadaya wontên 3203, ingkang gadhah rimatan pantun namung wontên tiyang 19. Kajawi punika ugi taksih wontên dhusun sanèsipun ingkang kados makatên.

Kapal api enggal. Rott. Lloyd tuwin Stoomv. Mij. Nederland sami damêl rancangan badhe yasa kapal api enggal agêngipun 20.000 ton, badhe kadamêl gagrag enggal, kangge layaran saking nagari Walandi dhatêng tanah ngriki. Lampahipun kapal wau badhe langkung rikat tigang dintên tinimbang kapal-kapal ingkang sampun.

Pados sirah tiyang. Sampun dados tata kalimrahan, bangsa Papua ing Niew Guinea punika rêmên pados sirah tiyang. Sampun dangu wontên têtiyang bangsa Mapier badhe gadhah tindak kados makatên. Ing bab punika adamêl girising bangsa Papua golongan sanès. Têtiyang ingkang ajrih wau lajêng pados pangayoman dhatêng punggawa nagari ing Mutingwelek, ing papanipun tiyang bucalan. Têtiyang Mapier wau saèstu nêmpuh, sarêng dipun tanggulangi lajêng ngêbrukakên wit agêng lajêng angêbruki griya, andadosakên kabêsmèn. Wontên têtiyang ingkang katawan ing mêngsah, tiyang sêpuh sawêlas, lare kalih. Golongan mêngsah inggih wontên ingkang katawan. Mêngsah têrus nglanjak dhatêng Mimika. Salajêngipun ingkang wajib ngawontênakên patroli.

Darmawisata saking tanah ngamanca. Gunggunging para darmawisata saking tanah ngamanca dhatêng ing Bali, ing wulan Juli 1935 wontên 284, Juli 1934 wontên 205. Wiwit Januari dumugi Juli 1935 wontên 1491. Pêpetangan makatên ing taun 1934 wontên 1313.

--- 1114 ---

Conferentie P.K.N. Pakêmpalan Kawula Ngayogyakarta mêntas ngawontênakên conferentie wontên ing dalêm Suryadiningratan. Tiyang ingkang dhatêng kirang langkung 20.000, èstrinipun 1000. Tamtu sanès-sanèsipun kathah. Bandara Pangeran Suryadiningrat mêdhar sabda, wosipun ngawontênakên rêpat taunan, ugi ngrêmbag bab-bab ingkang magêpokan kalihan P.K.N. Miturut katrangan, ing sapunika warganipun èstri sampun 15.0000, mila pêrlu ngrêmbag ing bab babagan kawanitan. Tuwin taksih wontên rêmbag sanès-sanèsipun malih.

Lulus examen notaris. Tuwan Sutan Pane Paruhum, secretaries Gemeente ing Pematang Siantar, lulus examen notaris perangan kaping tiga. Ing sapunika kenging ngangge sêsêbutan candidaat notaris.

Papriksan prakawis ing Kaligawe. Ing bab prakawisipun tukang nglampahakên grobag ing Kaligawe, Sêmarang, badhe kapriksa wontên têngah-têngahaning wulan Sèptèmbêr punika. Pasakitanipun sadaya wontên 47 sami tiyang ing Gênuk. Sarèhning dakwanipun kathah, tuwin têtiyang ingkang badhe ningali inggih kathah, pamriksanipun badhe wontên los blak-blakan. Makatên ugi voorzitteripun Landraad inggih badhe dipun wêwahi. Ingkang kaangkat dados pangarsa wêwahan, Mr. Kahen, saking Medan, vice-voorzitter R. Projokusumo.

Barang-barang gadhahanipun N.V. Mac Gillavry. Barang-barang gadhahanipun N.V. Sigarettenfabriek Mac Gillavry Jatirunggo ingkang sumimpên wontên ing Pandhean, Sêmarang, sampun kalampahan kalelangakên dening Hillebrandskantoor ing Sêmarang.

Wiyosan jumênêgan tuwin anjumênêngakên Pangeran. Kala ing dintên Kêmis tanggal kaping 29 Augustus kêpêngkêr, ing Karaton Ngayogya wontên paargyan mèngêti jumênêng dalêm nata Sampeyan Dalêm Ingkang Sinuhun Kangjêng Sultan. Kajawi punika, anyarêngi ing dintên wau, putra dalêm B.R.M. Sungangus Samsi, kajumênêngakên pangeran asma B.P.H. Puruboyo.

Milionair krètèk badhe gadhah damêl. M. Nitisêmita, milionair sês krètèk ing Kudus badhe gadhah damêl mantu, kanthi ngawontênakên pasamuan agêng-agêngan. Anggèning gadhah damêl wau badhe ngaturi Gupêrnur Sêmarang, para B.B., para bupati pasisir, para agêng ing Surakarta, Sampeyan Dalêm K.G.P.A.A. Mangkunagara. Têtingalanipun kajawi Cabaret Walandi tuwin sanès-sanèsipun, ugi nyuwun paring dalêm wirèng èstri saking Sampeyan Dalêm Ingkang Wicaksana. Pasamuan punika dipun sadhiyani waragad f 200.000.-.

Mèngêti H.I.S. 25 taun. Ing Surakarta badhe wontên pèngêtan adêging H.I.S. Kasatriyan (Kasunanan) tuwin H.I.S. Siswa (Mangkunagaran) sami sampun 25 taun. Adêging pamulangan punika ugi kenging kangge pèngêtan dhatêng kamajênganing para darah tuwin para kawula ing Surakarta.

Mêsin damêlan tiyang siti. Tuwan Musta Dt. R. Melajo, ing Suliki, Medan, sagêd damêl pirantos nutu, saking damêlanipun piyambak. Badhenipun saking rosokan auto. Mêsin wau dipun lampahakên mawi toya, sanadyan lampahing toya alon inggih sagêd lumampah. Mêsin punika sagêd tumindak tigang bab, inggih punika mêsin dilah tuwin jam lestrik, ngangkat alu tuwin mêsin ngisèni. Kajawi punika, mêsin punika, mêsin wau kenging kalampahakên alon, cêkapan tuwin rikat.

Para wangsulan saking Digul dipun priksa. Sampun sawatawis dintên, para wangsulan saking Digul ing Ngayogya, sami dipun priksa dening P.I.D. ing bab kawontênanipun, kajawi punika inggih dipun potrèt tuwin êcap driji. Wosipun kapriksa ing bab babagan warni-warni gêgayutanipun bab politiek.

Darma kina. Miturut pawartos, Kinabureau badhe darma kina 1000 kg. Kangge bêna ing Tiongkok. Awit kakintên ing papan ngriku badhe tuwuh sêsakit jalaran saking bêna.

Asil cap jikie. Miturut pawartos, angsal-angsalaning bêbathèn cap jikie ing Sêmarang ing wulan Augustus kêpêngkêr wontên f 14.000.-, Juli f 11.000.-.

Pamulangan luhur doktêr. Lulus doctoraalexamen perangan kalih ing pamulangan luhur doktêr ing Bêtawi, Tuwan-tuwan: C. Steevensz, G.P. Kouw Jr, M. Sugondo tuwin A.J.A. Theys.

Ingkang angsal prijs loterij nomêr 1. Wontên pawartos, ingkang angsal prijs nomêr 1 ingkang nêmbe kangge punika, palihanipun dhawah ing bangsa Tionghoa ing Sêmarang, punggawa Oei Tiong Ham-concern.

Jawah bintang. Nglêrêsi dhawahing dintên wiyosan dalêm Sri Bagenda Maha Raja Putri, kathah para agêng, punggawa nagari tuwin sanès-sanèsipun sami tampi ganjaran bintang. Nanging sarèhning kathah, botên kapacak ingriki.

Kenging parakawis salêbêtipun dados bêbujêngan. R.M. Sastrowijoyo, darah dalêm graad 3 ing Ngayogya, kintên-kintên sampun sataun kaukum wontên pakunjaran ing kapatihan, jalaran kalêpatan prakawis damêl arta palsu, kaukum 5 taun, lajêng sagêd oncad saking pakunjaran. Dèrèng dangu pulisi mêntas nyêpêng tiyang damêl arta palsu, sarêng dipun nyatakakên, ingkang dados pangajêngipun inggih R.M. wau.

Dr. Zainal. Wontên pawartos, Dr. Zainal ing Bêtawi, assistent ing pamulangan luhur doktêr, pambantunipun Prof. Dr. Siegenbeek van Heukelom badhe katêtêpakên dados leeraar babagan sêsakit lêbêt ing N.I.A.S. Surabaya.

Loterij enggal. Loterij ingkang nêmbe kasade punika, atas namaning Bestuur Vereenigingen Pro Juventutie ing tanah ngriki. Arta loterij wau badhe tumanja dhatêng: Central comite tot steun aan Werkloozen, Vereeniging Pro Juventutie ing Surabaya tuwin Ngayogya, Vereeniging Alg. Weerkloozen ing Surabaya, Stichting Het paardenfonds ing Bogor, Stichiting Protestantsch Kinder tehuis West Java ing Bêtawi, Stichting het Steunfonds ing Bêtawi, Stichting Kolonisatie Pulo Laut, Stichting Immigratie tuwin Kolonisatie Nieuw Guinea, Hoofdbestuur der Vereniging Kolonisatie Nieuw Guinea, Stichting Rumah Piatu Muslimin tuwin hoofdbestuur I.E.V. kangge Kolonisatie Campangkanan.

EROPA.

Gêgêntosipun Lord Baden Powell. Wontên pawartos, miturut wêdhar sabda ingkang dipun umumakên dening Lord Baden Powell wontên sangajênging padvinder saking pundi-pundi ing Stockholm, Zweden, bilih Pangeran Gustaaf Adolf ingkang dipun pitados anggêntosi kalênggahanipun dados pangajênging internationale padvinderij, ing samangsa Lord Baden Powell sampun botên kuwawi tumindak ing damêl malih.

Pramèswari Nata Belgie seda. Miturut pawartos ingkang katampi wontên ing tanggal 29 Augustus, Pramèswari Astrid, Garwa Nata Belgie, seda, jalaran kasangsaran nitih auto. Sang prabu ingkang nyêtiri piyambak. Ing kala punika Sang Pramèswari nuju mriksa kaart, lampahing auto dumugi pundi, Sang prabu ugi mriksani, ingriku anjalari onyaning lampahipun auto, lajêng natab uwit sapinggir margi, auto anjêmpalik kacêmplung tlaga. Mastakanipun Pramèswari Astrid ing wingking pêcah, sang prabu kêtaton. Ing sadèrèngipun seda, sang pramèswari dipun rangkul ing sang prabu wontên ing pangkon, dipun muwuni, ngantos dumugi seda.

--- 1115 ---

Wêwaosan

Wangsulipun Tarsan.

Piridan saking buku karanganipun Tuwan Edgar Rice Burroughs.

44

Lampah kula sakănca inggih taksih nurut lèpèn punika, ngantos dumugi ing guwa kingkang[1] dumunung wontên sacakêting pucakipun rêdi. Inggih ing guwa ngriku ingkang dados tuking lèpèn punika wau, sarta kula kèngêtan, bilih kala samantên, kula sakănca lajêng sami lêrêm wontên ing guwa ngriku. Enjingipun kula sakănca niyat anglajêngakên lampah anglangkungi pucaking rêdi wau, prêlu nyumêrêpi punapa ing têmbing ngrika wontên papanipun ingkang langkung prayogi. Dene manawi botên wontên, niyatipun inggih lajêng badhe wangsul mantuk kemawon malih. Sarêng kula sadaya dumugi ing pucak rêdi, sami nyumêrêpi bilih ing èrèng-èrèng rêdi ngriku, wontên padhusunan ingkang griyanipun tembok, lan ingkang kathah-kathah sampun sami risak.

Têlas-têlasaning dêdongenganipun Wasiri punika botên beda kalihan andharanipun Busêli.

Tarsan lajêng wicantên: Kula kapengin nyumêrêpi kawontênanipun kitha ingkang anèh punika. Kajawi punika kula inggih anggadhahi melik badhe ngupados tunggilipun barang ingkang jêne-jêne punika.

Wasiri amangsuli: Wah, mriku[2] punika lampahan ingkang têbih sangêt, lan kula punika tiyang sampun sêpuh. Ewasamantên manawi sampeyan krêsa nyarantosakên ngantos ing măngsa têrangan, lan lèpèn-lèpèn sampun sami surut toyanipun, kula sagah andhèrèkakên kalihan kănca sawatawis malih.

Tarsan kapêksa kêdah narimah mituruti kados pamrayoginipun Wasiri, sanadyan ing batos pancènipun kadêrêng sangêt sagêda pangkat enjingipun, sabab saking sangêting kapenginipun wau. Mênggah sajatosipun Tarsan băngsa wanara punika taksih nama lare, utawi manahipun kacokan pikiran tiyang wana. Mila inggih lêrês kemawon, jalaran Tarsan punika pancèn tiyang wanan.

Sarêng sampun kalih dintên, wontên grêma sawatawis wangsul saking anggènipun ambêbêdhag dhatêng wana ing sisih kidul ambêkta pawartos, bilih botên têbih saking ngriku têtiyang wau anyumêrêpi gêgrombolaning gajah pintên-pintên. Saking anggènipun mènèk wit-witan ingkang inggil, têtiyang wau lajêng sagêd nyumêrêpi, bilih gêgrombolaning gajah wontên babonipun pintên-pintên dalasan anak-anakipun, punapa malih gajah jalêr pintên-pintên ingkang sampun panjang gadhingipun. Sarta badhe andadosakên sênênging manah upami sagêda anggadhahi gadhing-gadhing wau.

Jalaran saking katêranganipun grêma ingkang mêntas dhatêng wau, ing dintên punika tiyang ing ngriku lajêng sami tata-tata nêdya ambêbêdhag agêng-agêngan. Cêmpuling-cêmpulingipun sami dipun titipriksa, endhongipun dipun isèni jêmparing kêbak, gandhewanipun sami dipun dandosi. Salêbêtipun sami siyaga dêdamêl badhe kangge ambêbêdhag punika, ingkang kaanggêp dados sêsêpuhing para têtiyang wau, lajêng amatêk măntra ambêrkahi sarta nyukani jimat dhatêng para têtiyang ingkang sami badhe ambêbêdhag saha andêdonga mugi-mugi têtiyang wau dipun ayomana dening para dewanipun, tuwin sagêda angsal kabêgjan ingkang langkung agêng.

Enjingipun para grêma lajêng sami bidhal. Ingkang sami ambêbêdhag kintên-kintên wontên tiyang sèkêtan, dene ingkang lumampah ing têngah alêngkèt-lêngkèt katingal brêgas lan prakosa prasaksat dewaning wana, inggih punika pun Tarsan. Amila wontênipun ing grombolan ngriku katingal angalela piyambak, dening dêdêgipun agêng inggil saha prakosa, punapadene pakulitanipun pêthak, ing măngka kănca-kancanipun sami akulit cêmêng sarta botên patosa agêng. Kajawi bedaning pakulitan lan dêdêg piadêgipun, Tarsan wau sampun botên beda babarpisan kalihan kănca-kancanipun, inggih ing bab tandang tandukipun, punapadene sandhang panganggenipun, tuwin dêdamêlipun, dalasan basanipun inggih sampun cara tiyang ngriku. Piyambakipun gumujêng lan gêgujêngan kalihan kănca-kancanipun, lan nalika nilar dhusunipun inggih tumut jêjogedan, apêncolotan tuwin ajêrat-jêrit botên beda kados sanès-sanèsipun, cêkakipun ing kala punika Tarsan sampun wangsul dados tiyang wanan malih kêmpal kalihan bangsanipun tiyang wanan. Saupami wontêna ingkang pitakèn ing kala samantên punika, punapa Tarsan punika dados bangsanipun tiyang wanan punapa bangsanipun têtiyang kancanipun ingkang sami dêdunung wontên ing Paris, bokmanawi piyambakipun amangsuli angakêni tiyang wananipun.

Dumadakan ing kala punika Tarsan èngêt dhatêng mitranipun, Litnan Dharno. Saking sênêngipun piyambakipun lajêng mèsêm ngantos katingal untunipun ingkang pêthak sarta ingkang santosa, punapa malih manawi ngèngêti kados punapa cingaking mitranipun saupami nyumêrêpana Tarsan salêbêtipun makatên punika. Ing batos Tarsan gadhah wêlas dhatêng mitranipun Litnan Dharno, ingkang ngrumaosi agêng sangêt manahipun, dene sagêd adamêl kaalusaning budinipun Tarsan, pangunandikanipun Tarsan: Têka enggal têmên anggonku bali malih dadi wong alasan manèh. Ing batos piyambakipun botên anggadhahi

--- 1116 ---

rumaos manawi ingkang makatên punika lajêng ngasorakên drajatipun, malah kosokwangsulipun piyambakipun wêlas dhatêng tiyang, ingkang praksasat dipun ukum, dene sabên dintên badanipun kêdah tansah dipun trapi ing sandhangan kadosdene bandan, lan salami-laminipun gêsang tansah dipun jagi dening pulisi, sampun ngantos nindakakên sadhengah pandamêl ingkang namung ambujêng sênêngipun piyambak.

Sarêng lampahipun kintên-kintên sampun angsal kalih jam dangunipun, Tarsan sakănca dumugi panggenan ingkang katingal wontên garumbulaning gajah. Saking ngriku kanthi alon-alon lampahipun amadosi tapak-tapaking gajah, danguning-dangu inggih lajêng sagêd amanggih marginipun ingkang dipun ambah ing grombolaning gajah wau. Wontên ing ngriku lajêng sami lumampah urut kacang nurut margining gajah ngantos satêngah jam dangunipun, Tarsan ujug-ujug lajêng ngacungakên tanganipun manginggil minăngka sasmita dhatêng para kancanipun, bilih grumbulaning gajah sampun cakêt. Wontênipun Tarsan sagêd nyumêrêpi rumiyin, bilih grombolaning gajah sampun cakêt, jalaran piyambakipun punika panggandanipun landhêp sangêt.

Para têtiyang cêmêng ing sêmu botên pitados dhatêng sasmitanipun Tarsan.

Tarsan lajêng awicantên: Tumuta kula kemawon, mangke rak sumêrêp.

Kanthi cikat kadosdene bajing Tarsan lajêng anrancag wit-witan ngantos dumugi ing pucuk. Wontên salah satunggal antawisipun têtiyang cêmêng ingkang tumut amènèk ing wit-witan ngriku, nanging inggih kalihan alon lan ngatos-atos sangêt. Sarêng tiyang cêmêng wau pamènèkipun sagêd dumugi ing pang nginggil saha jèjèr kalihan Tarsan, Tarsan lajêng tuding-tuding mangidul. Ing wusana botên têbih saking ngriku tiyang cêmêng wau sumêrêp gêgêr cêmêng pating rênggunuk pintên-pintên, ingkang sawêg sami ebah-ebah wontên ing sanginggiling gêgrumbulan. Salajêngipun piyambakipun suka sasmita dhatêng kănca-kancanipun ingkang sami wontên ing ngandhap, anudingi prênahing gêgrumbulan[3] gajah, lan anêdahakên cacahing gajah ingkang wontên ing ngriku.

Sanalika punika para grêma lajêng sami amurugi prênahing gajah. Tiyang cêmêng ingkang wontên ing wit-witan lajêng enggal-enggal mandhap, nanging Tarsan tumut amurugi prênahing gajah klayan mêdal turut wit-witan.

Sajatosipun angrêkaos sangêt ambêbêdhag gajah namung asarana dêdamêl ingkang sakalangkung prasaja makatên. Tarsan mangrêtos, bilih botên kathah băngsa tiyang wanan ingka[4] gadhah kêkêndêlan wani ambêbêdhag gajah, amila piyambakipun angrumaosi agêng manahipun, dene bangsanipun - awit ing kala punika tiyang wanan wau sampun dipun anggêp bangsanipun - wani ingkang makatên punika.

Salêbêtipun Tarsan lumampah turut wit-witan wau, piyambakipun sumêrêp anggènipun têtiyang wanan angêpang grombolaning gajah ngangge gêlar wulan tumanggal. Dangu-dangu têtiyang wau sagêd sumêrêp gajah-gajahipun, para grêma lajêng sami andhêkêm, lan sasampunipun milih gajah kalih ingkang gadhingipun agêng piyambak, têtiyang wau lajêng ngadêg saha sêsarêngan anggènipun namakakakên cêmpulingipun dhatêng gajah ingkang kinajêngakên wau. Cêmpuling sèkêt iji ingka dipun tamakakên wau, botên wontên satugal-satugala[5] ingkang lêpat, sabên cêmpuling salawe angèngingi lêmpènging gajah satunggal. Gajah ingkang satugal sanalika ambruk lajêng pêjah, jalaran antawis cêmpuling salawe ingkang ngèngingi lèmpèngipun wau, wontên kalih ingkang nratas angèngingi jantungipun.

Dene gajah satunggalipun, ingkang ngungkurakên para grêma, botên gampil dipun prêwasa, lan sanadyan cêmpuling salawe wau angèngingi lêmpèngipun, nanging botên wontên satugal ingkang sagêd têmbus angèngingi jantungipun. Sakêdhap gajah kèndêl lajêng angêmprèt jalaran saking sakit saha nêpsunipun, sarta lajêng angupadosi dhatêng ingkang adamêl sakit wau. Para grêma sampun sami andhêlik lumêbêt ing wana angoncati bêbaya, nanging gajah sagêd anggănda dhatêng pundi prênahing mêngsahipun anggèning andhêlik. Kanthi suwara ingkang rame jalaran saking lampah utawi tandangipun gajah, ingkang nrajang pagrumbulan angidak-idak panging kajêng garing, amurugi prênahing mêngsahipun anggèning sami umpêtan.

Dilalah lampahing gajah ngênêr amurugi prênah dununging Busêli. Busêli sumêrêp lajêng enggal-enggal lumajêng, nanging saya dangu saya cêlak pambujêngipun, jalaran Busêli sanadyan plajêngipun rikat, saking bantêring lampahipun gajah, Busêli kadosdene botên lumajêng. Saking nginggiling wit-witan Tarsan sumêrêp kawontênan ingkang makatên wau, sarêng sumêrêp bilih mitranipun wontên salêbêting bêbaya, Tarsan enggal-enggal mandhap saking anggènipun penekan anyêlaki gajah kalihan abêngok-bêngok. Pangangkahipun Tarsan sagêda gajah lajêng supe dhatêng ingkang dipun oyak wau.

Nanging pambudidayanipun Tarsan ingkang makatên punika tumrap gajah ingkang sampun kêsakitan wau, botên wontên damêlipun, awit ing kala punika, pun gajah kadosdene budhêg lan picêk, botên wontên sanès ingkang kaincih namung mêngsahipun kemawon. Samangke Tarsan mangrêtos, bilih ngêmungakên manawi wontên pitulungan ingkang mêdal saking kaelokan ingkang ngêntasakên bêbaya ingkang tumanduk mitranipun punika, lan kanthi sabar sangêt Tarsan lajêng anêngahi antawisipun gajah lan mitranipun pun Busêli wau.

Sadèrèngipun gajah mangrêtos saha sagêd tumandang, ujug-ujug Tarsan sampun sagêd namakakên cêmpulingipun kalihan kêkiyatanipun ingkang langkung, angèngingi lêmpènging gajah têmbus ing jantungipun. Ing ngriku gajah ambruk saha lajêng pêjah wontên ing sangandhaping sukunipun Tarsan.

Busêli piyambak botên sumêrêp sabab-sababipun punapa, dene sagêd luwar saking bêbaya punika, nanging Wasiri, pangagênging dhusun, lan kănca sanès-sanèsipun sami anêksèni tandangipun Tarsan, amila sadaya lajêng sami murugi saha surak-surak angubêngi Tarsan lan gajah ingkang sampun gumlethak ing siti wau. Nanging botên watawis dangu têtiyang cêmêng sami kamigilan saha lajêng mundur, sabab ing kala punika Tarsan ujug-ujug ngidak sirahing gajah kalayan amêrè sakayangipun, inggih punika caranipun kêthèk agêng asêsumbar, manawi mêntas angasorakên mêngsahipun. Awit têtiyang cêmêng mangrêtos, bilih punika pamêrening kêthèk agêng, ingkang ugi dipun ajrihi kadosdene singa barong lan sabangsanipun. Nanging sarêng ing wusana Tarsan katingal mèsêm, têtiyang sami ayêm malih, saha lajêng anglajêngakên anggèning sami ambêbêdhag.

Nanging sawêg kemawon wiwit malih, ujug-ujug kamirêngan wontên suwara pating jarêthot rame sangêt. Têtiyang lajêng sami ngadêg anjêgrêg kados rêca anilingakên suwara ingkang rame wau. Tarsan lajêng wicantên: Niki suwaraning bêdhil. Desane kiyambak tinêmpuh ing mêngsah.

Wasiri anjêlih: Iki mêsthi băngsa Arab kang bali rene manèh, arêp angrampas gadhing-gadhing lan arêp amboyong wong-wong wadon bangsane dhewe. (Badhe kasambêtan)

--- [0] ---

Tri Jaka Mulya

Kyai Muslim gadhah anak tiga, Sarjana, Sujana lan Waskitha. Lare tiga punika sarêng sampun tamat anggènipun sêkolah, lajêng sami pados padamêlan. Sarjana kêpengin dados priyantun pangrèh praja, Sujana milih dados sudagar, dene Waskitha kêpengin dados ulama, tiyang pintêr.

Sarjana suwita dhatêng satunggaling bupati, kanggêp pangawulanipun. Lami-lami lajêng kalêbêtakên dados magang wontên ing kantor kabupatèn.

Sujana tumut sudagar sinjang malah lajêng dipun pêndhêt mantu, sarta kalampahan sagêd dados sudagar, naminipun santun: Mulyahartana.

Sudagar Sujana Mulyahartana sênêng manahipun rumaos sampun kadumugèn ingkang dados idham-idhamanipun. Nanging lajêng manggih rubeda, inggih punika ingkang èstri sakit sangêt, madal sakathahing jêjampi.

Kacariyos Sarjana, kanggêp pamagangipun, lajêng katêtêpakên dados juru sêrat sarta dipun paringi nama Mas Janasastra.

Mas Janasastra tumêmên anggènipun nindakakên padamêlan, lantip tur mawi dhêdhasar kêndêl, prigêl nindakakên padamêlan kapulisèn, asring angsal katrangan prakawis kadurjanan lan nyêpêng durjana. Ingkang makatên wau dipun yêktosi dhatêng panginggilan. Mas Janasastra sagêd minggah-minggah pangkatipun, ngantos dados asistèn wadana.

Waskitha beda kalihan kakangipun kêkalih, botên purun manggaota, ingkang dipun rêmêni namung pados ngèlmu. Waskitha nyantrik dhatêng satunggaling pandhita nama Kyai Sidik. Sarêng Kyai Sidik dumugi ing janji, Waskitha gumantos dados pandhita, nama Kyai Wirawaspada.

Kyai Wirawaspada misuwur kasagêdanipun, sagêd nyamèni suwargi Kyai Sidik, kabul donganipun lan mandi sabdanipun.

Mas Janasastra dhatêng ing padhepokanipun Kyai Wirawaspada, dipun utus ingkang bupati, pados sarana, awit putranipun pupon, nama Radèn Ajêng Siti Nurhayati gêrah sangêt.

Kyai Wirawaspada ngaturi toya supados dipun ombèkakên dhatêng ingkang sakit. Nalika punika Mas Janasastra botên mangrêtos yèn kyai punika adhinipun.

Radèn Ajêng Siti Nurhayati ngunjuk toya saking Kyai Wirawaspada tumuntên saras. Ingkang bupati sakalihan garwa suka ing galih. Ingkang putra lajêng kadhaupakên kalihan asistèn wadana Janasastra. Sarêng dados mantunipun ingkang bupati, Mas Janasastra saya majêng dhatêng padamêlan, sagêd nyêpêng benggoling kècu, lajêng minggah pangkat malih dados wadana.

Mangsuli cariyosipun sudagar Mulyahartana. sêdhih manahipun, jalaran sakitipun ingkang èstri botên mantun-mantun, lajêng sowan dhatêng Kyai Wirawaspada nyuwun jampi, dipun paringi. Mulyahartana ugi botên mangrêtos bilih kyai punika adhinipun.

Mbok sudagar ngombe jampi saking kyai punika lajêng saras. Mulyahartana bingahipun tanpa upami, lajêng badhe malês kasaenan dhatêng kyai, bojonipun dipun jak. Sadèrèngipun bidhal dhatêng pratapan, Mulyahartana sowan dhatêng kawêdanan. Ing ngriku kasumêrêpan bilih wadana Janasastra kalihan sudagar Mulyahartana punika sadhèrèk. Sadhèrèk kêkalih sami bingah, lajêng rêrêmbagan badhe nuwèni tiyang sêpuhipun, Kyai Muslim. Nanging badhe sowan Kyai Wirawaspada rumiyin prêlu atur panuwun tuwin badhe nyuwun priksa mênggah dununging adhinipun, pun Waskitha.

Kyai Wirawaspada dipun suwuni priksa mênggah dunungipun Waskitha, ngakên: inggih piyambakipun punika Waskitha. Sadhèrèk têtiga sampun ngêmpal, sami dados tiyang linangkung sadaya, lajêng nuwèni bapakipun sêsarêngan. Kyai Muslim kadhatêngan anak-anakipun bingahipun tanpa upami.

Makatên cêkakanipun cariyos "Tri Jaka Mulya"

Sêrat Tri Jaka Mulya rêginipun kaandhapakên.

Rumiyin f 0.80, sapunika ... f 0.30.

Wêdalan BALE PUSTAKA Batavia - C.

--- [0] ---

Anggêsangakên Maesa Pêjah

[Sinom]

Sinigêg ingkang carita | wuwusên gantya winarni | panêmbahan sampun lama | gènnya dalêm Landhoh nênggih | ing karya asêsabin | kathahipun mung nêm bau | sabin gudêr namanya | dadose dadhongkèl sabin | yèn nanêmi datan puput ing sadina ||

ana ing kuciwanira | panêmbahan tan darbèni | maesa ingkang kinarya | anggarap wau kang sabin | nuju enjang lumaris | panêmbahan karsanipun | angupaya maesa | anjajah desa akongsi | kapalantrah tan ana darbe maesa ||

ingkang kêna tinumbasa | praptèng dhusun Losèk panggih | pêpitu wong mayu wisma | tinanya pamuwus aris | hèh bagus ingkang sami | mayu kula tannya tuhu | baya ngriki wontêna | janma sade mesa ugi | kula arsa numbas kêkalih kewala ||

kang mayu wêngis saurnya | tan wontên sade ing ngriki | maesa amung sapala | kinarya bêtah sêsabin | kalamun dika apti | ing ara-ara kang kidul | nika wontên maesa | gêng dhamplak nging sampun mati | lamun arsa alapên tan mawi arta ||

panêmbahan nulya mentar | mangidul arsa udani | saèstu wontên maesa | agêng nanging sampun lalis | dèrèng dangu katitik | kalangkung jêtunging kalbu | eman mulat gêngira | sungu dhamplak angluwihi | yèn uripa saiba agêng arowa ||

dyan pinriksa panêmbahan | anggung ginrayang waradin | kanthi pangunguning driya | eman têmên kêbo iki | dene gêdhe ngluwihi | sarta crapang sungunipun | bok bisa urip mana | eman têmên lamun mati | panêmbahan nênuwun maring Hyang Suksma ||

asalat kalih rêkangat | amêpêt dènnya nutupi | sakèh babahan sêsanga | supe wus kadya ngêmasi | ngêningkên tingal batin | maligi ing ciptanipun | datan liya maring Hyang | kang sipat rahman myang rakim | kang ngratoni kauripan ngalam donya ||

tan liyan Allah Tangala | kang karya bumi lan langit | ingkang nora jaman makam | kang sipat langgêng tan gingsir | saking panuwun mami | muga tinurutan ingsun | inggih panuwun amba | kalisa kang sampun lalis | kang supados sagêda gêsang awèta ||

samana wontên antara | katrima dènnya mêmuji | ri saksana panêmbahan | maesa dipun cêpêngi | singate kanan kering | cinablèk ambal ping têlu | lah maraa tangia | lembon têmên gonmu guling | nulya kagèt maesa nglabèt buntutnya ||

kèplèk-kèplèk kupingira | buntutipun jênthat-jênthit | mripatipun byar-êbyaran | andhangak sarwi anglirik | panêmbahan nulya ngling | lah mara ngadêga gupuh | jênggèlèk kang maesa | jênggèrèng sarwi atangi | nulya ngadêg sampun gêsang kadya lama ||

kawuwusa kang amulat | tiyang mayu pitu iji | muwus marang kancanira | wong ika kawasa yêkti | kêbo mati wus urip | ayo padha nuwun maklum | mau ngong sêntak-sêntak | gya muwus wong pitu iji | amurugi dhatêng ngarsa panêmbahan ||

tiyang pitu aturira | galap gangsul gih kiyai | kawula nuwun aksama | anêmbah lan ngasih-asih | kawula datan uning | dhatêng ing sampeyan wau | panêmbahan ngandika | nora dadi ngapa yêkti | wus jamake wong padon mêgat wikalpa.

Pêthikan saking cariyosipun: Sèh Jangkung, inggih cariyos Kêbo Landhoh.

Cariyos kina ingkang anggancarakên lêlampahanipun panêmbahan ing dhusun Landhoh, ingkang kagungan kalangênan maesa lawung, wacucalipun kangge srananing kaprawiran.

Rêginipun ... f 0.70.

Wêdalan-Bale Pustaka-Batawi Sèntrêm.

--- [0] ---

Ăngka 73, Stu Lê, 15 Jumadilakir Jimakir 1866, 14 Sèptèmbêr 1935, Taun X

Kajawèn

[Iklan]

--- [0] ---

[Iklan]

--- [1149] ---

Ăngka 73, Stu Lê, 15 Jumadilakir Jimakir 1866, 14 Sèptèmbêr 1935, Taun X

Kajawèn

Kawêdalakên sabên dintên Rêbo lan Sabtu.

Rêgining kalawarti punika ing dalêm tigang wulan f 1.50 bayaran kasuwun rumiyin botên kenging langganan kirang saking 3 wulan.

Juru ngarang - Administrasi Bale Pustaka ing sawingkinging kantor Palis, tilpon nomêr 1743 - Bêtawi Sèntrêm.

Isinipun: Tatwawara - Tindak Kautamèn - kawontênan ing Itali kalihan Ngabêsi Saya Mrêpêg - Bab Kasarasan - Adpêrtènsi - Bab Ilmu Watak - Kabar Warni-warni - Wêwaosan - Taman Bocah.

Tatwawara

[Sinom]

bêgja mulya lan utama | bakune ana rong warni | trap-trapane kang kapisan | tumanduke anèng lair | lan gampang dèn sipati | dadi kang kêpengin wêruh | ya nuli wêruh nyata | kaya ta wong mênang main | antuk lotre munggah pangkat mundhak blonja ||

iku kabèh aran bêgja | sabên wong bisa nyipati | dene kang ingaran mulya | kaya ta wong dadi pyayi | uripe sarwa-sarwi | anak putu padha nungsung | tur padha kasêmbadan | mung gawe lêganing ati | tumangkaring anak putu kêbênêran ||

mangkya kang aran utama | kaya ta wong dhêmên paring | myang dhêmên têtulung ing lyan | kèh lêlabuhane bêcik | ing kene kang dèn ambil | kang adhakan kang wus umum | tunggale yèn ingandhar | papane nora nyukupi | gantya marna trap-trapan kaping dwinira ||

tumanduking dalêm rahsa | sing sapa gêlêm miwiti | tumindak ngrêsiki manah | iku bêgja kang sajati | sapa kang wus sumingkir | saka ing panggawe dudu | sumèlèh pikirira | iku mulya kang sajati | wong kang suci atine têmên utama ||

--- 1150 ---

Raos Jawi

Tindak Kautamèn.

[Durma]

rawatana ngunduri angkara murka | den emut kang ran janmi | parmèng murbèng gêsang | tamane nènglam donya | dirgakna puja lan puji | jajaring titah | ing puji catur warni ||

rakêt krakêt rumakêt kang murbèng gêsang | watak sêtya ing budi | loma sih sasama | purna makna kang nala | warahe sarjana dhihin | kêrsa lan karsa | tamakna lair batin ||

kang sapisan puji jati marang gêsang | gêsang mring kang gêsangi | de kaping kalihnya | Gusti marang kawula | wondening ingkang kaping tri | pujining kwula | tan pêgat marang Gusti ||

kaping catur puji kwula mring sasama | ywa pêgat praptèng akhir | yèku bukti nyata | yèn tan bêcik sasama | sinatru samèng dumadi | pujining kwula | kang konjuk marang Gusti ||

kudu manut sêtya budya ing rèh tama | yêkti klêgan sêdyaki | Gusti sayêktinya | tan samar mring kawula | mituhu pangrèhing Gusti | pujining gêsang | gêsang ingkang gêsangi ||

nyabda iku kudu kabèh kanthi nyata | ywa ngèsthi budi kidib | pamrih panacadnya | dèn andhar lir wawara | mrih dèn rani janma luwih | kasusrèng jagad | ing jagad tana kalih ||

sabên ana kawruh utawa agama | yèn tan padha kang kèsthi | mubal ardèng driya | pangrasanira salah | yèku wong ran tunèng budi | anduwa karsa | samar mring dat kang sukci ||

kaananing tumitah gumlaring jagad | asnapun têmbung Ngarbi | sayêktine titah | iku mawarna-warna | hara: gagasên ingkang ning | banjur nyatakna | laras lurus kang titis ||

laras iku atêges sabar tawêkal | lurus trimaning budi | titis kang pramana | netra lair batinnya | mula ywa klèru panampi | babahan karna | plas ing betal makmuri ||

supadyaning tumruning betal mukharam | ingkang nindakkên adil | ran ngrogoh lan ngraga | yêkti beda karêpnya | ngrogoh jukuk jarwanèki | ngraga têgêsnya | anulad raga yêkti ||

wignyanira angrogoh saka angraga | kudu wignya manunggil | kasar lawan wadhag | alus kalawan suksma | de wignyanira manunggil | kudu tunggal lan | tan cukup anèng lathi ||

jaman purwa nelada Dyan Bratasena | tan purun nyênyampahi | kabèh kanthi nyata | praptèng tlênging samodra | beda lan jaman samangkin | sungkan kungkulan | kang kèsthi mung nyampahi ||

pan wus kaprah mungguh ing têmbungan Jawa | têmbungan Dewa Ruci | dudu sanyatanya | atêgês dudu Dewa |

--- 1151 ---

Ruci ingkang tuhu jati | anglir macanan | dudu macan sayêkti ||

wus pinasthi kodrate Hyang Maha Suksma | janma salumah bumi | tan purun kasoran | mring sasamèng tumitah | tandhane ingkang sayêkti | wong dagang kecap | ing saindênging nagri ||

ora ana kang nganggo mèrêk nomêr pat | kabèh enak nomêr ji | kari kang ngrasakna | enak lawan oranya | mula dèn rasakna sami | ywa ge anacad | mring sasamèng dumadi ||

pan wus lumrah manungsa ingkang anacad | wit kluhuran ing budi | dene yèn wong sudra | tan wrin mring tatacara | yagene tan dèn wadani | mrih kajuwara | mung dèn èsêmi batin ||

wus têtela manungsa kang karêm nacad | tuduh bodho pribadi | dèn awas ing budya | yêkti saka sang dwija | dwija iku iya janmi | abadan wadhag | rahsa dunung nèng jisim ||

ngèmutana Sang Prabu Bathara Krêsna | ratu punjuling bumi | tan samar kaanan | salumahing bawana | lawan sakurêbing langit | ing ngarcapada | tuhu tan nana kalih ||

apa iku tanpa nganggo dwijatama | rahsa dunung nèng ngêndi | apa nèng maruta | apa nèng surya căndra | swasana kilat lan thathit | hara genea | de dumunung nèng Rêsi ||

Padmanaba jêbul padha titah janma | mula ing wêkas mami | pra mudha giluta | maca surasèng srat-srat | anggitan sarjana luwih | Wulangrèh lawan | sulukan Tekawardi ||

nora nana panggawe kang luwih gampang | kaya wong mêmaoni | sira ling-elinga | aja sugih waonan | dèn samya marsudèng budi | ingkang prayoga | pan singa ingkang lali ||

ingkang eling angelingêna sabarang | sanak kănca kang lali | yèn nêdya raharja | mangkene tindakira | yèn ora kaduga uwis | têka mênênga | aja sok angrasani ||

nêmu dosa anyêla sapadha-padha | dene wong ngalêm ugi | yèn durung karuhan | ing bêciking manungsa | aja sira gunggung kaki | mêne tan nyata | dadi cirinirèki ||

aja ngalêm aja nacad lamun bisa | yèn uga jaman mangkin | apan wus alumrah | yèn ora sinênêngan | pinoyok nganti macicil | cinacad-cacad | nora pasajèng budi ||

lamun ana janma kang umuk-umukan | balayang pamèr ngèlmi | koanggêp sulapan | apuskrama ginêlar | mrih ginugu sakwèh janmi | ywa ge kocacad | bêcik nyatakna dhihin ||

kanyatakna lir warăngka Maèspatya | Radyan Suwănda Patih | kalamun satriya | kang ambêg wikutama | dadi lêga rasèng ati | sapira jronya | kanggo anggêp wong kidib ||

jêro cèthèk bênêr luput pan wus nyata | piyandêling kang budi | rasanta priyăngga | ora mung jare baya | yèku ran satriya luwih | tuhu pramana | dununging rahsa jati ||

karosane Jêng Bagendha Ngali smana | bumi dinuwa gonjing | mula wus têtela | janma yèn ingapusan | ngandêle kapati-pati | namung yèn nyata | dèn anggêp setan dhêmit ||

lamun ana kang maknani lapal Kuran | aksara alip lam mim | dèn anggêp lêlaknat | nanging lamun jinarwa | maknane namung Hyang Widi | ingkang wuninga | bênêr ngudubilahi ||

mung samantên mênggahing atur kawula | lumayan karya peling | bilih dipun dhahar | para ingkang nupiksa | dene yèn kagalih sisip | wit andupara | nyuwun gênging aksami ||

K. 676.

--- 1152 ---

Pawartos Sanès Praja

Kawontênanipun Itali kalihan Ngabêsi Saya Mrêpêk.

Nyambêti andharan ing Kajawèn kapêngkêr, grêgêtipun Itali kalihan Ngabêsi, ing sêmu sampun rêkaos dipun udi murih rukunipun. Inggih sintên ingkang badhe sagêd nyirêp kanêpsonipun nagari ingkang pangawak santosa kados Itali punika.

Dados saupami kalampahan wontên ingkang ngêmori rêmbag tamtu inggih nagari ingkang sababag, dene ingkang sampun katingal sagêd ngêmori rêmbag, punika umamia caraning lare rèwèl, Inggris ingkang badhe sagêd nyêmbadani.

Tumrapipun Inggris ugi sampun rambah-rambah usul dhatêng Itali, supados atindak rukun kemawon, nanging katingalipun dèrèng cocog, taksih kandhêk wontên ing rêmbag. Salajêngipun rêmbag wau badhe dipun adani malih, pangrêmbagipun tigan, Inggris, Prancis tuwin Itali, malah tumrap Itali badhe dipun pangarsani dening Sang Mussolini piyambak. Nanging ing sêmu rêmbag punika akajêng panyêgah murih Itali botên pêrang kalihan Inggris.

Ingkang makatên wau lajêng katingal, bilih Inggris anggèning ngêmori rêmbag pancèn damêl kasamaranipun Itali, mila pangrancangipun, Itali badhe ngrêsikakên sawarnining rêmbag rukun kalihan Inggris tuwin Prancis.

Rêmbag ing bab badhe ngrukunakên, punika madêg saking bêbadan gangsal nagari, wêwakilipun Sêpanyol De Madariaga, minăngka pangarsa sanès-sanèsipun Anthony Eden, wakil Inggris, Laval Prancis, Beck Polên tuwin Roesdi Bey Turki. Dene Itali dipun wakili Baron Aloisi. Wosing rêmbagipun bêbadan wau namung badhe ngrukunakên. Nanging mêksa dèrèng wontên wohipun. Namung tumraping Itali, wontên munculipun rêmbag sakêdhik, mêdal saking pangandikanipun Sang Mussolini piyambak dhatêng Prancis, bilih ing salêbêtipun dèrèng wontên karampungan saking parêpatan ing Geneve, Itali botên badhe nêmpuh Ngabêsi. Tamtunipun rêmbag ingkang kados makatên punika dèrèng kenging kangge pathokan, ingkang atêgês Itali botên badhe punapa-punapa dhatêng Ngabêsi. Malah manawi miturut kawontênan, ing sapunika Itali nindakakên ajar pêrangan ing lautan, ingkang dipun tindakakên dening kapal silêm 70, manggèn ing lautan antawising Sicilie kalihan pasisir aprikah. Saha kawartosakên, bilih dêdamêl wau botên katujokakên dhatêng Inggris. Lah manawi makatên, lajêng katingal, Itali punika gadhah sêdya ingkang taksih ngêndhêm wêwados.

Manawi nyata kawontênanipun, Itali kados makatên, tumrapipun Ngabêsi tamtunipun inggih botên sagêd namung badhe kèndêl-kèndêlan, mila pinanggihipun Ngabêsi inggih nimbangi kemawon. Ing wêkdal punika senapatining pêrang Ngabêsi ka-

--- 1153 ---

[Grafik]

Gambar tanah Ngabêsi

--- 1154 ---

lih sampun angajêngakên wadyabalanipun majêng dhatêng watês. Senapati Ros Kassa sampun bidhal saking Ginder dhatêng Makali, kithanipun agêng laladan Tigre, kêgolong wadyabala perangan êlèr. Dene senapati Detchazmatch Nassibou sampun bidhal saking Harriar dhatêng satunggiling panggenan ing kidul kilèn Yijiga, golongan sisih kidul.

[Grafik]

Têtiyang Aprikah ing Amerikah ingkang sami nyinau ulah gêgana.

Mirid kawontênan ingkang kados makatên punika katingal bilih Ngabêsi ugi pangawak santosa. Kajawi punika ugi tansah angsal bêbantu saking rakyat, kados ta wontên golonganing tiyang 90 gadhah kuldi 500.000 iji tuwin unta 100.000 iji sami kacaosakên dhatêng gusti ratunipun ing Ngabêsi supados kangge angangkati dêdamêl samăngsa wontên pêrang. Kajawi punika wontên golongan băngsa Aprikah ing Amerikah sami sinau ulah anggêgana, manawi sasaya sampun sagêd, badhe damêl golongan anggêgana saha lajêng badhe wangsul dhatêng Ngabêsi ambiyantu ratu tuwin nagari wutah rahipun.

Ing salêbêtipun sami upyêk rêrêmbagan rukun, lajêng wontên pawartos, bilih rêmbag punika badhe botên wontên damêlipun, malah wotên pawartos saking dhawuh pangandikanipun Nata Ngabêsi, pêpêrangan badhe kawiwitan wontên ing tanggal 24 Sèptèmbêr punika.

Makatên ugi Itali sarêng mirêng pawartos makatên punika lajêng cariyos: Ing sawanci-wanci sampun mirantos, awit ing sadèrèngipun pancèn sampun samapta, kangge jagi-jagi wontên ing wêkasaning wulan Sèptèmbêr.

Ingkang makatên punika tumraping nagari sanès inggih kapêksa tumut mirantos, kadosta: Prancis [Pranci...]

--- 1155 ---

[...s] lajêng nyantosakakên wadyabalanipun ing Somaliland, jajahan Prancis, kajawi punika ambidhalakên wadyabala dharatan ingkang manggèn ing Brest dhatêng Marseille lajêng badhe bidhal dhatêng Djiboeti. Makatên ugi Inggris, ambidhalakên kapal pambujêng torpedho 9 dhatêng Haifa, kangge anggêntosi kapal 7 ingkang sampun kesah saking ngriku, saha botên kasumêrêpan purugipun.

Sarêng mrêpêging pawartos kados makatên, tumrap ingkang kawogan, inggih punika Ngabêsi, sampun botên badhe pitados malih dhatêng rêmbag-rêmbaging nagari sanès ing bab punapa kemawon.

Jalaran saking adrêngipun Pramèswari Ngabêsi, lajêng kaparêng ngandika wontên sangajênging pirantos radhio, prêlu suka sumêrêp dhatêng para wanita sadonya.

Dumugi samantên pawartosipun babagan Itali tuwin Ngabêsi.

Bab Kasarasan.

Kadospundi lan ing wêkdal punapa kula tiyang limrah kenging utawi sagêd têtulung dhatêng tiyang ingkang kataman sêsakit.

Sambêtipun Kajawèn nomêr 72.

Anjampèni tatu sarana kungkum ing jer-jeran (soda oplossing).

Prêlunipun anjampèni tatu sarana kungkum ing jer-jeran soda, punika supados tatu ingkang sampun abuh, ingkang sampun ngêmu nanah lan tatu ingkang cêkap mênga utawi ingkang sampun dipun bikak, dados mênga wau sagêd gêpokan kalihan jer-jeran soda ingkang bêntèr (angêt) sabab ingkang makatên punika rêrêgêd ing tatu sagêd ajur, nawar lan mêjahi baktèri.

Langkung-langkung bloedvocht wêdalipun saking badan dhatêng perangan ingkang tatu lajêng sagêd santêr, dados rêrêgêd sagêd katut mêdal ing jawi.

Pandamêlipun kungkuman punika sadhiyaa rumiyin toya bêntèr ing wadhah utawi blèg lisah pèt ingkang dipun bikak tutup utawi sisihipun, gumantung ing sakarsa anggêr kenging kangge wadhah saha anggènipun ambikak blèg wau pinggiripun ingkang radin (alus) sampun ngantos nyengkrak-nyèngkrèk kulit ingkang sakit.

Toya bêntèr ingkang sampun wontên ing wadhah punika dipun wêwahi toya asrêp ngantos dados angêt lajêng dipun sukani soda sacakup, yèn kangge kungkum suku têmtu langkung kathah toyanipun lan soda-nipun kêdah 1½ cakup, danguning kungkumipun kintên-kintên 10 mênit utawi ¼ jam ngantos toyanipun asrêp.

Sasampunipun mêntas saking kungkuman suku utawi tangan ingkang tatu wau dipun usapi mawi sinjang utawi andhuk ingkang rêsik namung panggenan tatu botên kenging kagêpok utawi dipun usapi, tatu wau lajêng dipun balêbêt, kados adatipun.

--- 1156 ---

Ambalêbêt têlês (natverband).

Natverband punika gaas hydrophile dipun têlêsi kalihan sublimaat opl, 1/5000, boorwater, Burowi water utawi sanèsipun.

Sasampunipun gaas ingkang tumèmplèk ing tatu katutupa barang ingkang tipis lêmês wulêt ingkang toya botên sagêd têmbus, lajêng dipun balêbêt mawi blêbêt.

Gaas ingkang têlês tumèmplèk ing tatu wau sagêd nyêgah dadosipun upil lan tatu sagêd tansah mênga. Toya jampi sagêd mêdal nguwab ing sisihipun blêbêt gaas ingkang jawi sagêd garing lajêng sagêd nyêrot toya saking nglêbêt, dados bloedvocht ingkang rêgêd katut kasêrot dening gaas wau.

Sarèhning toya ing gaas ing sisih lan nginggil têrus nguwab, dados lampahipun bloedvocht têrus mêdal kasêrot dening gaas, anjalari tatunipun dipun sêntor bloedvocht ingkang enggal (rêsik) lan rêrêgêdipun gampil mêdal, dados tatu sagêd rêsik lan enggal saras.

Upami wontên ingkang sakit tatu alit kraos abuh, dipun balêbêt têlêsan, botên mawi tutup, enjingipun sarêng blêbêt dipun bikak gasipun pinanggih garing, rêrêgêd saking tatu kanthil ing gaas, dados upil nutupi tatu, milanipun tatu inggih botên sagêd saras, awit kêtutupan upil wau.

Upami wontên tatu ingkang abuh ngêdalakên bloedvocht rêgêd lan nanah dipun balêbêt têlês mawi tutup salêbêtipun 3-4 jam, sarêng blêbêt kabikak pinanggihipun ing ngandhap gaas ingkang taksih têlês kathah nanahipun. Gaas têlês lan nanah wau ngalang-alangi wêdalipun bloedvocht rêgêd saking tatu, anjalari kapitunan utawi rêndhêting sarasipun tatu.

Milanipun tatu ingkang ngêdalakên rêrêgêd kathah makatên saenipun dipun balêbêt têlês, nanging tanpa taf, gaas enggal garing sagêd nyêrot rêrêgêd saking tatu, gaas têmtu enggal rêgêd dados langkung sae, nanging balêbêt sadintênipun kêdah dipun gantos kaping 3-4, ngangge balêbêt ingkang enggal.

Yèn wontên tatu ingkang sampun abuh ngêdalakên rêgêd cêkapanipun kêdah sadintênipun dipun balêbêt kaping kalih, punika cêkap dipun balêbêt têlês gaas lan taf sami wiyaripun, supados toya salêbêting balêbêt mêdalipun pinggir balêbêt sagêd cêkapan utawi lumintu.

Dados tiyang damêl balêbêt têlêsan (prisnitz) punika botên kenging sapurun-purunipun kemawo-

--- [1157] ---

[Iklan]

--- 1158 ---

n, nanging kêdah tiyang ingkang sampun kulina lan ngyêktosi, tatu ingkang sampun abuh, pundi ingkang kêdah dipun balêbêt têlês utawi botên murih sagêdipun tatu enggal rêsik, dados enggal saras.

Mila balêbêt kêdah sabên dipun bikak kêdah dipun tingali, punapa gasipun garing sangêt punapa tatu kêtutupan rêrêgêd upil punapa gaas taksih têlês sangêt, ngalang-alangi wêdalipun nanah punapa botên.

Botên kenging balêbêt ingkang enggal garing dipun santuni balêbêt malih ingkang langkung têlês, awit balêbêt ingkang langkung têlês punika, kêtêlêsên lajêng dados ngalang-alangi wêdalipun rêgêd utawi nanah saking tatu.

Sajatosipun nama balêbêt têlês (natverband) punika lêpat lêrêsipun balêbêt malêm (vochtigverband) têgêsipun gaas ingkang dipun têlêsi toya balêbêt (verbandwater) sasampunipun dipun pêrês, nêmbe dipun popok utawi katèmplèkakên ing tatu.

Barang ingkang tipis lan lêmês kangge balêbêt toya botên sagêd têmbus punika namanipun taf. Ingkang limrah kaangge balêbêt têlês wau dlancang gutta percha papier, mosetig batist, perkament papier utawi sanèsipun.

Manawi badhe ragad sakêdhik inggih cêkap ngangge dlancang perkament, langkung gampil tur botên ragad kenging ngangge pupus pisang, utawi godhong pisang sadèrèngipun kaangge dipun panggang ing latu murih mêmês botên gêtas lan botên gampil suwèkipun.

gaas ingkang kangge balêbêt wau, inggih hydrophile-gaas, kandêlipun 5-8 lêmbar. Sadèrèngipun sampun sadhiya gaas ingkang dipun guntingi wiyaripun manut pikajêngipun ingkang badhe ngangge lan sampun cumawis ing bak utawi mangkok isi verband-water, mêndhêtipun gaas ingkang sampun têlês mawi japitan (pincet) utawi mawi driji tangan ingkang sampun dipun rêsiki mawi toya sabun. Sasampunipun gaas dipun pêrês lajêng dipun popokakên utawi dipun tèmplèkakên ing tatu. Rèhning tatu wau sampun abuh, gaas ingkang kangge ambalêbêt wau botên kêdah steriel, nanging upami wontên gaas steriel, sarta cêkap inggih langkung sae kaangge ambalêbêt wau.

Toya balêbêt (verbandwater) ingkang limrah kaangge burowiwater, sagêd tumbas dhatêng apotheek, yèn badhe kangge kêdah dipun gojag-gojag supados êndhêg-êndhêgipun sagêd awor toyanipun, punika kangge nêlêsi gaas wau. Manawi botên wontên burowiwater inggih kenging ngangge boorwater, manawi botên wontên sadaya, kenging kapêksa ngangge toya godhogan nanging toya godhogan kangge ambalêbêd punika sagêd enggal mambêt utawi botên wontên dayanipun, pancèn ingkang prayogi piyambak inggih boorwater wau. Badhe kasambêtan.

R. Sumadirja. Ind. Arts. Kudus.

--- 1159 ---

Kawruh Sawatawis

Bab ngèlmu watak

(Pamanggihipun tiyang Batak Simalungun)

Sambêtipun Kajawèn nomêr 72.

Sapunika anêrangakên mênggahing pamanggihipun tiyang Batak Simêlungun bab ngèlmu watak wau.

Upaminipun kula sadaya pinuju wontên pasamuwan. Salah satunggaling tamu pitakèn dhatêng têtiyang sanèsipun makatên: Upaminipun ing wêkdal sapunika panjênêngan kapranggulan bêbaya agêng, anggèn panjênêngan badhe ngoncati rêkaos sangêt. Nanging oncat kêdah, sabab manawi botên, panjênêngan tamtu nêmahi bilai. Kadospundi sapunika akal panjênêngan. Ing sakiwa-têngên panjênêngan sawarnining kewan agêng alit, galak tutut, nglêmpak sadaya. Manawi panjênêngan dumuk salah satunggal kemawon, kewan ingkang panjênêngan dumuk wau lajêng rêbah têrus pêjah, ingkang andarunani panjênêgan lajêng oncat saking bêbaya wau.

Têtiyang ingkang sami dipun takèni wau botên mangrêtos babarpisan, punapa ingkang dipun kajêngakên kalihan pitakenan wau. Pramila lajêng mastani satunggiling nama kewan, wontên ingkang sima, wotên ingkang gajah, kêthèk, sawêr lan sanès-sanèsipun malih.

Miturut cariyosipun têtiyang ingkang mangrêtos bab punika, dhasar utawi watakipun satunggal-satunggalipun tiyang wau mèh sami kalihan sipatipun kewan ingkang kapilih wau. Tiyang andumuk sima, watakipun botên têbih saking watakipun sima, brangasan, agêng napsunipun, dipun ajrihi tiyang. Ingkang andumuk kêthèk, rêmên clingak-clinguk, botan[6] kenging dipun pitados. Ingkang andumuk gajah mèmpêr watakipun gajah. Manawi dipun êlus nurutan, nanging manawi kacênthok sakêdhik kemawon lajêng jaja bang mawinga-winga, ngamuk. Ingkang andumuk sawêr watakipun kados sawêr. Mèndêl-mèndêl nanging mutawatosi, sok purun adamêl cilakanipun tiyang sanès, makatên sapiturutipun. Ingkang sae piyambak cariyosipun ingkang andumuk sêmut, watakipun rukun kalihan sanak sadhèrèkipun sarta tansah nyambut damêl ngupados têdha. Punika pancèn kathah lêrêsipun punapa botên.

Ing nginggil wau sampun dipun cariyosakên, bilih tiyang-tiyang wau botên wontên ingkang mangrêtos dhatêng kajêngipun tiyang ingkang pitakèn wau. Pamilihipun kewan wau tanpa dipun sêngaja, kawêdal dadakan.

Pancèn barang-barang ingkang kadamêl tanpa dipun sangaja punika, sadaya lampah, solah tingkah, pawicantênan, karêmênan, punika kados dados gambaripun sipating batos utawi jiwanipun tiyang. Sipat ajrihan, kuwanèn, kasrêgêpan, kaalusan utawi kasaring budi, tuwin sanès-sanèsipun [sanè...]

--- 1160 ---

[...s-sanèsipun] malih sagêd dipun sumêrêpi saking solahbawanipun, wicantênipun tiyang.

Pamilih ingkang botên dipun sangaja ing nginggil wau thukulipun sagêd ugi jalaran saking manah ajrih, utawi saking manah rêmên utawi katarik.

Manawi pamilih wau kawêdal saking manah ajrih, watakipun tiyang-tiyang wau botên sagêd sami kalihan watakipun kewan ingkang kapilih. Tiyang ingkang ajrih kalihan tiyang sanès, punika ingkang kathah-kathah rumaos langkung asor tinimbang tiyang sanès wau, punapa ing bab kakiyatanipun utawi kasagêdanipun utawi sanès-sanèsipun malih, samantên ugi ajrih dhatêng kewan. Dados kathah bedanipun.

Manawi sapunika pamilihipun wau kawêdal saking manah rêmên utawi katarik, punika kathah cocogipun. Ing pamulangan upaminipun, manawi lare-lare alit pinuju anggambar, tiyang sagêd anitèni, bilih lare-lare ingkang watakipun wanèn, agêng napsunipun, utawi ingkang andhugal, brangasan, anggènipun anggambar, rag règ rag règ, garisipun cêtha-cêtha, manawi kapurih ngêcèt, inggih mêndhêt warni ingkang abrit, biru tuwin warni-warni sanèsipun ingkang anyolok mripat. Dene gambaripun lare-lare ingkang ringkih, alus pangraosipun, inggih alus-alus, garis-garisipun alit-alit tipis, warninipun băngsa jêne, ijêm nèm tuwin sapanunggilanipun.

Samantên ugi bab pangangge, tiyang ingkang sabar sarèh, alus budinipun, caranipun mangangge tuwin warni-warnining pangangge ugi katingal makatên. Dene têtiyang ingkang kasar budinipun, rêmênipun mangangge inggih ingkang anèh-anèh.

Dados tiyang ingkang andumuk kewan wau jalaran saking manah rêmên utawi katarik dening sipating kewan wau, watakipun sagêd ugi sami kalihan watakipun kewan wau, punika pangintên kula, dene lêrês botênipun, prayogi para maos kula aturi anyatakakên piyambak.

Srikandha.

Pawartos saking Administrasi

Lêngganan nomêr 3890 ing Indramayu. Anggèn panjênêngan lêngganan wiwit 1/12-'34, dados botên wontên ing wiwitaning kwartal. Măngka ingkang sampun-sampun, anggèn panjênêngan kintun arta pambayaran, inggih ajêg f 1.50 kemawon. Jalaran saking punika, lajêng wontên panagihan f 2.- prêlunipun supados anggampilakên lampahing administrasi.

Wara-wara

Ngaturi uninga, bilih administrasi sampun wiwit ngintunakên blangko pos wisêl dhatêng para prayantun lêngganan, ingkang babarpisan dèrèng kagungan pêmbayaran tumrap kuwartal 4 ing ngajêng punika.

Murih botên kacuwan ing panggalih, jalaran dipun sêtop, mugi para ingkang nampi kintunan wau, lajêng kêparêng anggalih ing saprêlunipun. Tumrap ingkang sampun kagungan pambayaran, nadyan namung f 0,50, punapadene manawi langkung botên dipun kintuni blangko, manawi dèrèng dumugi kalamangsanipun.

Administrasi.

--- 1161 ---

KABAR WARNI-WARNI

Pêthikan saking sêrat-sêrat kabar sanès.

TANAH NGRIKI.

Wohing damêlipun padvinder K.B.I. Bêtawi. Sampun wiwit kala wulan Februari kêpêngkêr, padvinder K.B.I. ing Bêtawi mubêng-mubêng dhatêng kampung-kampung pêrlu pados pangangge momohan. Angsal-angsalanipun kirang langkung sampun wontên 3000 lêmbar, awarni pangangge lare jalêr, èstri, jas-jas tuwin clana. Pangangge-pangangge wau inggih taksih wontên ingkang sae. Pangangge-pangangge wau lajêng dipun dum dhatêng Rumah Piatu Muhammadiyah Laan Têgalan, Mr. Cornelis, Rumah Piyatu Muslimin Prapatan, Rumah Piatu Rukun Istri Gang Sentiong, Griya miskin ing Karanganyar, tuwin kabage dhatêng laladan Cilacap.

Tekading bajingan. Ing station Angkee, Bêtawi, kathah tukang nyêbrot ngêntosi dhatênging têtiyang numpak sêpur. Ingriku wontên tiyang tilas pulisi nama Amat, sampun paham sangêt dhatêng tindaking para têtiyang awon wau. Pun têtiyang awon mangêrtos bilih tansah dipun awasakên dening Amat. Wusana Amat lajêng dipun krocok dening têtiyang awon, ngantos biru èrêm, lajêng dipun tilar oncat dening ingkang misakit. Wusana kajawi kêsakitan. Amat ugi kecalan artanipun f 2.50 tuwin trumpahipun.

Pangudi kawontênan ing wana. Kawartosakên, Ir. Sewandana ingkang kaangkat dados Houtvester ing bab babagan wana-wana rawa, nindakakên papriksan babagan tanêman ing wana ing laladan Siak Seri Indrapura. Ing Bengkalis kathah tanêman-tanêman ing wana agêng ingkang dèrèng kasumêrêpan tiyang siti. Nanging tumrap bangsa ngamanca sampun kathah ingkang manggihakên. Kintên-kintên tindakipun Ir. Sewandana badhe agêng pigunanipun.

Pamulangan luhur Pangadilan. Lulus Doctoraal examen perangan kalih ing pamulangan luhur Pangadilan ing Bêtawi, Tuwan I. Gede Panece.

Paargyan ing papan pamêlikan. Ing papan pamêlikan ing Sawahlunto mêntas ngawontênakên paargyan, minangka tandha bingah-bingah anggèning pamêlikan-pamêlikan ing Ombilin botên saèstu katutup. Kuli-kuli pamêlikan sami damêl arak-arakan, ing pucaking rêdi tiga dipun wontênakên urub latu minangka tandha bingah. Comite paargyan ngaturi telegram dhatêng Directeur Departement Verkeer en Waterstaat, anglairakên gênging panuwun.

Kathah dakwa ingkang kaluwaran. Landraad ing Madiun tuwin Magêtan sampun nglajêngakên pamriksaning prakawis koyok ingkang adamêl giris kala samantên. Kathah dakwa ingkang dipun luwari, amargi kêkirangan bukti. Tumrap Landraad ing Magêtan ngatingalakên angèling saksi-saksi. Wontên satunggiling saksi nalika kagledhah pinanggih ngandhut jimat. Kawêkasanipun dipun ukum wontên ing Landgerecht. Sanèsipun saksi wontên ingkang botên purun dipun sumpah, lajêng dipun kunjara. Sasampunipun kakunjara saminggu sawêg purun dipun sumpah. Dakwa-dakwa ingkang têtêp kalêpatanipun, sami kaukum awrat.

Arta igaran kangge tanah ngriki. Ing taun 1934 panyithakipun arta ing nagari Walandi botên sapintêna, tumrap tanah ngriki namung dipun damêlakên arta igaran rêgi f 150.000.-. Arta tanah ngriki ingkang kapêndhêt wangsul wontên f. 22.869.980.-. Sarèhning nagari Walandi kêkirangan wadhah, pamêndhêting wangsul arta kakèndêlan rumiyin. Kabêtahan arta ringgit ing nagari Walandi, sampun dipun cêkapi saking tanah ngriki 400.000 ringgit.

Pamêlikan mas enggal. Sawênèhing bangsa Eropa partikêlir nama F.G.O. Kniepf, manggèn ing Pontianak, angsal palilah saking parentah bikak papan pamêlikan mas, laminipun 30 taun, pamêlikan wau nama "Salubat". Jêmbaring pasitèn ingkang badhe dipun pêlik wontên 33 hektar, manggèn ing wêwêngkon Singkawang, Borneo sisih kilèn.

Lisah pèt ing Bantên. Papan panggenan lisah pèt ing Bantên ingkang dipun wajibi dening Erdman & Sielcken tuwin Billiton Mij. Ing Bantên kidul, botên dangu badhe dipun bur, lêbêtipun ngantos 300 m. Sadaya pirantosipun dipun wêlingakên. Benjing sawangsulipun pangagênging firma Erdman & Sielcken saking Eropa, lajêng dipun wiwiti

Damêl kaart tanah Papua. Golongan ingkang badhe damêl kaart tanah Papua sampun bidhal saking Schiphol dhatêng tanah ngriki. Kajawi golongan wau, ugi wontên sanèsipun ingkang badhe tumut, inggih punika Tuwan Hogenar, chef radio-dienst, tuwin Tuwan Brink, mecanicien, sami saking Amsterdam. Tumrap tukang potrèt, laboran, juru ukur sampun sami bidhal rumiyin numpak kapal Baluran tuwin kapal J.P. Coen. Directeur Knilm mratelakakên, bilih ingkang badhe damêl kaart, Tuwin Rendorp, pasitèn ingkang badhe dipun gambar 10 yuta ha. kalêbêt ingkang pasitèn andhap, panjangipun 800 km. Lamining ngukur kintên-kintên sataun. Ingkang sami badhe tumindak ing damêl punika ngawontênakên pondhokan kawan panggenan, pirantos-pirantosipun sami dipun bêkta ing kapal K.P.M. Tumindaking damêl wiwit ing wulan Oktobêr ngajêng punika.

Pondhokan bangsa tiyang tanah ngriki ing Jêpan. Awit saking ada-adanipun jurnalis Jêpan ingkang nyambut damêl ing sêrat kabar "Asahi" ing Tokio, ngêdêgakên pondhokan kangge têtiyang tanah ngriki ingkang sinau ing Jêpan. Ing pondhokan ngriku namung kangge lare ingkang dèrèng diwasa, awit manawi dipun wor, kalihan ingkang sampun diwasa, botên prayogi. Dene ingkang dados pamanahan, ing bab têdha, ing pangangkah badhe ngawontênakên juru olah-olah tiyang tanah ngriki piyambak. Tumrap lare, sinaunipun basa Jêpan enggal sagêd, tinimbang ingkang sampun diwasa.

Ama kêthèk tuwin andhapan. Ing bawah Banjarmangu, Banjarnêgara, tuwuh ama kêthèk ingkang ngrisak tanêman ing têgalan tuwin sabin. Dhatênging kêthèk wau grombolan, malah purun malêbêt dhatêng padhusunan punapa, ganggu damêl dhatêng têtiyang. Ingkang punika asistèn wêdana ingkang ambawahakên lajêng ambêbujêng, kalampahan sagêd mêjahi kêthèk sawatawis, sarana dipun sanjata. Kajawi punika salajêngipun ambêbujêng andhapan, ingkang ugi dados amaning tanêman. Wusana lajêng sagêd sirêp.

Kêrapan ing Sêmarang. Ing salaminipun ing Sêmarang dèrèng nate wontên têtingalan kêrapan, mila sarêng wontên kêrapan, cacahipun tiyang ingkang ningali kathah sangêt, ngawonakên manawi wontên têtingalan sanèsipun. Kêrapan wau dipun pitongtonakên wontên ing dintên Saptu tuwin Ngahad sontên kêpêngkêr, manggèn ing stadion. Ing dintênipun Jumuwah, lêmbu-lêmbu ingkêng badhe dipun êbên sami dipun arak mubêng kitha kairing gangsa, mila adamêl panariking ngakathah. Sabibaring kêrapan, lêmbu inggih dipun arak malih, tiyang ingkang nglampahakên numpak ing gigir kalihan jêjogedan. Angsal-angsalaning arta kathah.

--- 1162 ---

Militaire Academie. Miturut pawartos, neneman bangsa Jawi ingkang katampèn malêbêt sinau dhatêng Militaire Academie ing nagari Walandi tumrap kangge wadyabala tanah ngriki, wontên kalih, R. M. Porbosêmitro tuwin R. Hidayat.

Bab pindhahan saking Digul dhatêng Banda. Ing bab kaparênging parentah badhe mindhah têtiyang bucalan ingkang pangajaran saking Digul dhatêng Banda, botên pêrlu badhe mawi ngawontênakên tatanan enggal ingkang lèrègipun dados pajagèn babagan pulitik, amargi wontêning tiyangipun namung kirang saking sadasa.

[Grafik]

Kajêng wana. Kados ingkang sampun kawartosakên ing Kajawèn ingkang sampun kapêngkêr, kajêng wana ing tanah Borneo wêkdal punika nuju dipun brubuhi, jalaran kathah kêkajêngan ingkang dipun tumbasi dening maatschappij saking nagari ngamanca. Inginggil punika gambaripun satunggiling kapal nuju ngêwrat kajêng balok wêdalan ing tanah Borneo kasêbut nginggil.

Papan anggêgana ing Simongan. Papan anggêgana ing Simongan, Sêmarang, sampun badhe botên kangge malih. Dene ingkang kangge papan anggêgana enggal badhe mêndhêt pasitèn gadhahanipun Java Bank sauruting margi dhatêng Kêndhal, têbihipun saking Banjir Kanaal wontên antawis 1 km. Tumrap ara-ara ing Pêterongan kakintên botên nyêkapi jêmbaripun, tuwin waragadipun langkung kathah. Makatên ugi pasitèn ing Srondhol ugi botên kenging dipun angge, amargi manawi enjing kathah pêdhutipun tuwin kathah kawatipun Aniem.

Pacêklik ing Sragèn. Miturut pawartos, jalaran saking sangêting bêntèr, panenan pantun ing Sragèn ing mangsa punika botên sêpintêna, sagêd ugi damêl kasamaran ing têmbe wingking.

Irrigatie ing Kroya. Ing bab badhe wontênipun padamêlan irrigatie ing Kroya mêndhêt toya saking lèpèn Sêrayu, rancanganipun sampun katur parentah. Waragadipun sakawit f 120.000.-, dene rêsikipun sadaya f 300.000.-. manawi parentah marêngakên, têtiyang ingriku tumuntên badhe nyambut damêl kangge panggêsangan.

Receptie ing pura Mangkunagaran. Ing pura Mangkunagaran mêntas kawontênan receptie, gêgayutan kalihan anggèning Gusti Kangjêng Ratu Timur tampi bintang Oranje Nassau.

Student Jêpan. Ing wêkdal punika President Oriental Culture Summer College ing Tokio, inggih warganing Tweede Kamer Jêpan, Tuwan Nakamura, nuju wontên tanah Jawi dipun dhèrèkakên student Jêpan 5. Wontênipun ingriki dipun dhèrèkakên Tuwan Okana ing Surabaya. Sadumugining Bêtawi mondhok ing consul-generaal. Salajêngipun badhe anjajah tanah ingriki. Benjing taun ngajêng dhatêng tanah Afrika Kidul.

Tiyang cidra manggih siksa. Ing Ngayogya wontên tiyang sampun salêbêtipun 4 wulan angsal pitulungan arta saking Armenzorg. Tiiyang wau kanthi suka katrangan bilih piyambakipun botên gadhah panggêsangan. Wusana ing wingkingipun kasumêrêpan dening pangagênging pakêmpalan, bilih tiyang ingkang ngakên kêmlaratan wau gadhah onderstand saking parentah sabên wulan f 60.-. Wusana lajêng kasêrêg ing prakawis, dumugining karampungan kaukum kunjara 2 wulan.

Tamu kapal pêrang. Sawatawis dintên malih palabuhan ing Tanjungpriok badhe kadhatêngan kapal pêrang Itali nama "Quarto". Kapal wau agêngipun 2900 ton, panjangipun 132 m, wiyar 12.8 m. lêbêt 3.7 m., gadhah saradhadhu 322. Dêdamêlipun mriyêm 6 ukuran 12 cm. 6 ukuran 7.6. cm. Tuwin sanès-sanèsipun malih. Dhatênging kapal perang wau dèrèng katamtokakên dintên tanggalipun.

Pêjah jalaran nêdha ulam mimi. Tiyang nama Kasim, juru misaya ulam ing Pasar Ikan, Bêtawi, satunggiling dintên nêdha ulam mimi. Sarampunging nêdha wêtêngipun karaos sakit, lajêng nuntak-nuntak sirah mumêt. Tiyang wau jêlèh-jêlèh nêdha tulung, amargi sakit sangêt. Wusana sarêng sampun satêngah jam lajêng pêjah. Mayit dados papriksan wontên C.B.Z.

Wiji gêgêthingan. Pulisi wados ing Medan mêntas nyêpêng bangsa Tionghoa 2 sami ambêkta sêrat sêbaran ngêmot reclame panganan, nanging ing salêbêtipun sêrat wau wontên suraosipun ingkang ngêmu raos gêgêthingan dhatêng bangsa Jêpang.

Palilah babagan siti dhatêng bangsa Jêpan. Wontên pawartos, parentah marêngakên paring palilah dhatêng bangsa Jêpan anggadhahi pasitèn 2500 ha ing Mami tuwin 3000 ha malih ing Sarmi, sami ing Nieuw Guinea, janji bangsa Jêpan wau anêtêpi janji-janjinipun. Bab punika tumrap Australie ugi anggadhahi kamelikan makatên.

EROPA.

Mitulungi tiyang angguran. Minister raad Sepanyol nêtêpakên rêmbag tumuntên badhe tumindak nyuda cacahing tiyang angguran ing Sepanyol, sarana nyukani pandamêlan damêl margi sêpur enggal. Satunggiling Commisie ingkang madêg saking minister babagan padamêlan tuwin babagan arta, badhe nyatakakên bab punika. Parentah ugi ngangkah murih saya jêmbaring babagan pangadilan, Sepanyol badhe angintunakên wulu padamêl dhatêng sanès nagari, supados sagêd timbang kalihan lêbêting barang ngamanca.

Ngêmong putra Nata Bèlgi. Kawartosakên, ingkang rama suwargi Raja Putri Astrid badhe wontên ing Belgie, pêrlu badhe nggulawênthah putra-putra nata ingkang taksih sami timur.

--- 1163 ---

Wêwaosan

Wangsulipun Tarsan.

Piridan saking buku karanganipun Tuwan Edgar Rice Burroughs.

45.

Tarsan awicantên: Mangke dalu kula sadaya sami wangsul dhatêng papan padununganing gajah. Sarta ing dalu punika mangke kula piyambak nêdya suka ajaran dhatêng têtiyang Arab, manawi para têtiyang wau mêksa dèrèng sami kesah saking ngriki. Manawi ing siyang punika para têtiyang wau botên sami dipun gora-godha malih, manah ingkang kamigilan têmtu lajêng sami sagêd lêrêm, amila langkung prayogi ing dintên punika botên susah dipun damêl miris manahipun.

Salajêngipun Tarsan sakancanipun sadaya sami wangsul dhatêng pakuwonipun malih. Wontên ing ngriku lajêng sami totor adamêl bêdhiyan agêng, sami nêdha saha lajêng sami omong-omongan bab prakawis ingkang mêntas dipun lampahi ngantos dumugi ing dalu. Tarsan piyambak tilêm ngantos dumugi ing têngah dalu, sasampunipun lajêng tangi saha andumugèkakên sêdyanipun lajêng kesah piyambak nalusup-nalusup ing wana. Antawis sajam lampahipun dumugi ing pinggir papan angênthak-ênthak ing sangajêngipun dhusun. Ing salêbêting dhadhah katingal wontên bêdhiyanipun agêng. Tarsan lajêng wiwit lumampah ambrangkang anglangkungi papan ingkang ngênthak-ênthak wau ngantos dumugi ing sangajênging sêkèthèng dhusun ingkang ing kala punika dipun tutup. Tarsan anginjên saking ing jawi mêdal bolonganing kori sumêrêp ing nglêbêt wontên tiyangipun jagi agêng inggil.

Kanthi alon-alonan Tarsan lajêng amurugi dhatêng wit agêng ingkang wontên ing pungkasaning dhusun. Dumugi ing ngriku kanthi ngatos-atos piyambakipun amènèk wit wau manginggil sarta lajêng mapan kados ingkang sampun, saha nuntên masang jêmparingipun ing gandhewa. Ing sarèhning kala samantên pang-panging wit-witan tansah ebah-ebah dening angin, punapa malih urubing bêdhiyan ingkang agêng tansah mobat-mabit, dados Tarsan anggèning badhe nglêpasakên jêmparingipun dhatêng ing tiyang kang jagi wau, ngantos sawatawis mênit dangunipun, kuwatos bokmanawi lêpat, awit ingkang dipun arah sagêda angèngingi lêmpèng têrus ing jantungipun murih sanalika pêjah kapisanan, ingkang anjalari anggampilakên punapa ingkang dipun sêdyakakên.

Kajawi gandhewa jêmparing lan laso, Tarsan ugi ambêkta sanjata anggèning angsal jarahan kala amêjahi tiyang ingkang jagi rumiyin. Sasampunipun anyimpên dêdamêl sadaya wau wontên ing panggenan ingkang primpên, Tarsan lajêng mandhap lumêbêt salêbêting dhadhah kanthi lampah ngatos-atos sangêt. Ing kala punika kalêrêsan tiyang ingkang jagi wau adhêpipun amêngkêrakên Tarsan, salajêngipun dipun rundhuk saking wingking kadosdene kucing badhe ngrundhuk mangsanipun. Sarêng kantun kalih pêcak têbihipun, niyatipun Tarsan badhe namakakên dêdamêlipun lading kaarahakên ing lêmpèng têrus ing jêjantungipun tiyang wau.

Tarsan sampun sumadhiya nêdya mêncoloti mêngsahipun, ngangge sacaraning kewan galak ing wana manawi badhe masesa ing mêngsahipun. Dumadakan ing kala punika têtiyang jagi kados wontên ingkang ngosikakên lajêng mengo dhatêng wingking.

XVII.

Sarêng tiyang jagi sumêrêp wontên satunggiling tiyang ingkang pakulitanipun pêthak anyêpêng dêdamêl lading katingal angajrih-ajrihi, maripatipun tiyang jagi lajêng kumêdhèp têsmak saking sangêting kagètipun, ngantos kasupèn dhatêng sanjata ingkang dipun bêkta, punapadene ugi botên sagêd bêngok-bêngok, pikiranipun botên wontên malih kajawi anggènipun badhe lumajêng angoncati bêbaya ingkang wujud tiyang kulit pêthak sarwa santosa saha ingkang nêdya marwasa piyambakipun.

Nanging dèrèng ngantos tiyang jagi wau sagêd lumajêng, kalamênjingipun sampun kenging dipun cangkêrêm dening Tarsan. Ing ngriku sawêg èngêt badhe bêngok-bêngok nêdha tulung, nanging sampun kasèp. Ing wusana sarêng kalamênjingipun sampun kenging kacêngkêrêm sarosanipun lajêng katarik kadhêngklakakên ing siti. Nadyan tiyang wau budi sarosanipun, nanging tanpa damêl, sabab tangan ingkang anyêngkêrêm wau botên saya kêndho panêkêkipun, nanging malah saya kêncêng. Sampun tamtu kemawon ingkang makatên punika anjalari pêcating yitmanipun saking raga kanthi rikat sangêt. Langkung rumiyin mripatipun andêlolèr mêdal ilatipun mele,[7] rainipun pucêt sangêt, badanipun andharodhog sakêdhap, salajêngipun tanpa daya dumugining pêjah.

Sasampunipun makatên, bangkening tiyang wau lajêng kasampirakên ing pundhak, sanjatanipun kapêndhêt, saha lajêng kabêkta kesah saking ngriku amènèk ing wit-witan ingkang dipun pènèki suwau. Bangke têrus kabêkta minggah dhatêng rêrungkuding gêgodhongan.

Langkung rumiyin Tarsan mêndhêt wadhah patrum tuwin barang panganggenipun bangke ingkang dipun sênêngi. Salajêngipun kanthi ambêkta sanjata Tarsan minggah dhatêng pucuking wit-witan ngantos sagêd anyumêrêpi cêtha kawontênan ing dhusun ngriku. Saking pucaking wit-witan wau piyambakipun amasang sanjatanipun kaênêrakên dhatêng salah satunggiling gubug ingkang dados pakuwoning para pangagêngipun băngsa Arab. Lan botên watawis dangu sanjata kaungêlakên, sarta lajêng wontên suwara ajêlih-jêlih jalaran kasakitan. Tarsan lajêng mèsêm, jalaran mangrêtos bilih sanjatanipun sagêd angèngingi tiyang.

--- 1164 ---

Kala sabibaring sanjata mungêl ing dhusun ngriku kèndêl botên wontên suwara punapa-punapa, ananging botên watawis dangu malih, têtiyang băngsa Manumah tuwin têtiyang Arab sami asêsarêngan mêdal saking pakuwonipun. Sarêng anyumêrêpi punapa ingkang mêntas kalampahan, jèngkèling manah lajêng sirna kagêntos mirising manahipun, kamigilaning para têtiyang ing siyangipun ingkang mêntas kalampahan dèrèng ical, samangke dening ungêling sanjata sapisan ingkang nyalawados wau saya amêwahi langkung mirising manahipun.

Punapa malih sarêng têtiyang wau anyumêrêpi, bilih tiyang ingkang kapatah jagi ical tanpa lari, kados punapa mirising manahipun botên kenging winiraos. Nanging kangge anutupi kamigilan lan mirising manahipun wau, lajêng adamêl gêlar angêdrèl korining sakèthèng dhusun ingkang minêp kadosdene ing ngriku wontên mêngsahipun. Salêbêtipun têtiyang wau sami rame piyambakan, Tarsan anamakakên sanjatanipun saking pandhêlikanipun dhatêng têngah-têngahing grombolaning têtiyang wau.

Jalaran saking ramening ungêlipun drèl-drelan wau, têtiyang Arab sakancanipun lajêng botên wontên ingkang mirêng ungêling sanjatanipun Tarsan, sumêrêp-sumêrêp wontên salah satunggiling kancanipun ingkang lajêng dhawah. Sarêng dipun iling-ilingi tiyang wau jêbul sampun pêjah. Ing kala punika jinjaning manahipun para têtiyang wau tanpa upami. Têtiyang băngsa Manumah, saupami botêna dipun alang-alangi sangêt dening têtiyang Arab, têmtu sampun sami bibar lumajêng, angungsi gêsang lumêbêt dhatêng wana, awit sêdyanipun namung badhe nilar dhusun ingkang nyilakani punika.

Dangu-dangu têtiyang wau inggih sagêd lêrêm malih manahipun, punapa malih sarêng dangu botên wontên kancanipun salah satunggal ingkang pêjah dadakan kados ingkang sampun, kêkêndêlanipun ragi wangsul malih. Nanging ingkang makatên wau namung sakêdhap, jalaran salêbêting têtiyang wau anggadhahi gagasan botên wontên ingkang anggora-godha malih, ujug-ujug mirêng suwara salêbêting wit-witan ingkang inggil ingkang adamêl kagèting manahipun, inggih punika suwaranipun Tarsan ingkang abêkah-bêkuh. Sarêng para têtiyang sami tumênga manginggil aningali prênahing suwara wau, Tarsan lajêng ambalangakên bangkening têtiyang jagi ingkang pinêjahan wontên ing têngah-têngahipun gêrombolaning têtiyang Arab tuwin Manumah wau.

Kanthi jêlih-jêlih têtiyang kathah lajêng asalang-tunjang rêbat gêsang lumajêng sapurug-purugipun, murih sagêd luwar saking bêbaya awujud janggêrêng ingkang kados amêncoloti wau. Kabêkta saking sangêting ajrih lan mirising manahipun, têtiyang wau sami anggadhahi rumaos, bilih kancanipun piyambak têtiyang jagi ingkang pêjah saha ingkang kauncalakên wau, katingal kadosdene kewan galak ingkang agêng sangêt saha ingkang sakalangkung ambêbayani. Saking dêlap-dêlapipun gêsang, warni-warni sêsolahing têtiyang wau. Wontên ingkang lajêng mêncolot ing pagêr, lan ugi wontên ingkang angrisak kori sami lumajêng lumêbêt dhatêng wana.

Ing sakawit botên wontên tiyang satunggal-tunggala ingkang wani nyatakakên buron punapa ingkang adamêl mirising manah wau. Nanging Tarsan mangrêtos, bilih raos ingkang makatên wau botên badhe dangu, lan Tarsan ugi mangrêtos badhe kadospundi kadadosanipun saupami para têtiyang wau lajêng nyumêrêpi bilih ingkang adamêl mirising manah punika kancanipun piyambak ingkang sampun pêjah. Jalaran saking punika Tarsan enggal wangsul dhatêng pakuwoning kănca-kancanipun ingkang dunungipun wontên ing kidul.

Botên watawis dangu salah satunggaling tiyang Arat[8] wangsul mriku, saha nyumêrêpi, bilih mawarnèn ingkang angêjlogi saking nginggil wau, gumlèthèk ing siti botan ebah-ebah, sarêng alon-alon dipun tuwèni, jêbul amung bangkening manusa. Sarêng dipun iling-ilingi, cêtha bilih punika bangsaning tiyang Manumah ingkang kapiji anjagi ing sêkèthènging dhusun.

Sarêng piyambakipun bêngok-bêngok angundang-undang kancanipun, kănca-kancanipun ugi sami dhatêng anglêmpak ngrubung mayit wau. Salajêngipun para têtiyang wau sami krodha tumandang kadosdene pangintên-intênipun Tarsan, inggih punika lajêng sami ambêdhili wit agêng ingkang kangge nguncalakên bangke wau. Saupami ing kala punika Tarsan taksih wontên ing griku, sampun têmtu tatuning badanipun ingkang kenging mimising sênjatanipun mêngsah, bêbasan arang kranjang.

Sarêng para têtiyang Arab tuwin Manumah sami anyumêrêpi abuhing gurungipun kănca ingkang pêjah wau wontên tapaking dariji ingkang agêng sangêt, lajêng tuwuh saya mirising manahipun. Saking pamanggihipun, ingatasing wanci dalu wontên ing dhusun tur ingkang pinagêran ingkang santosa sarta rapêt sangêt, têka taksih sagêd manggih bilai. Bilih wontên mangsah ingkang sagêd lumêbêt ing ngriku, saha namung kalayan tangan kemawon sagêd amêjahi tiyang jagi, punika tumraping para têtiyang wau, mpun[9] botên lumêbêt ing akal. Ingkang punika lajêng anuwuhakên pikiranipun têtiyang băngsa Manumah ing bab gugon-tuhon, bilih pêjahing kancanipun wau têrang saking pandamêling băngsa alus. Dene têtiyang băngsa Arab dhatêng wontênipun lêlampahan ingkang elok punika, judhêg botên sagêd nyukani katêrangan punapa-punapa sanèsipun.

Satêmah wontên băngsa Manumah kintên-kintên sèkêt tiyang cacahipun sami asêsarêngan lumêbêt ing wana anilar dhusun ngriku ingkang kaanggêp ambêbayani punika, tanpa wontên ingkang dipun tuju, lumampah sapurug-purug tanpa tilêm, angêntosi padhanging srêngenge. Dene têtiyang băngsa Manumah sanès-sanèsipun, anggèning taksih sami purun kantun wontên ing dhusun ngriku, jalaran dipun sagahi dening têtiyang Arab samăngsa-măngsa sampun wanci byar enjing, lajêng tumuntên enggal-enggal kaajak kesah anilar dhusun ngriku. Sanadyan têtiyang băngsa Manumah punika ajrih sangêt dhatêng lêlurahipun têtiyang băngsa Arab, ewadene mêksa langkung ajrih lan giris dhatêng kawontênan ingkang mêntas kalampahan punika. Badhe kasambêtan.

--- 141 ---

Nomêr 36, taun V

Taman Bocah

Lampiran Kajawèn, kawêdalakên sabên Sabtu.

Bapa Babuning Padpindêr

Ing pêthikan kabar ing Kajawèn mêntas martakake yèn Lord Baden Powell bapa babuning padpindêr ing sajagad, samăngsa wis ngaso ora nindakake pagawean, arêp sèlèh marang panjênêngane Pangeran Gustaaf Adolf ing Swedhên.

[Grafik]

Kang kacêtha ing gambar iki, iku paklumpukaning para padpindêr ing sa-Eropah ana ing Stockholm kutha karajane nagara Swedhên, nalika nganakake pahargyan ngurmati Lord Baden Powell. Iya ana ing kono iku anggone Lord Baden Powell nglairake pangandika masrahake panguwasa.

Lord Baden Powell iku tau rawuh ana ing tanah kene, ênggon-ênggon êndi kang dirawuhi, akèh padpindêr kang padha klumpukan angurmati. Ing kono ketok rasaning padpindêr anggone kêdunungan kasêtyan marang têtuwane, lan ing kono iya ketok rasa katrêsnaning Lord Baden Powell marang bocah-bocah padpindêr, sanadyan salawase mung pakulinan ana ing warta, barêng para padpindêr wêruh wujude Lord Baden Powell têmênan, rasane kaya wis kulina.

Lan manèh ing nalikane para padpindêr iku padha mahargya, tandange ketok anggone padha mêmpêng, polatane padhang, nandhakake sênênging ati.

Kaya ngono rasaning katrêsnan kang sumrambahe sarana tatanan.

--- 142 ---

Rasa Katrêsnan kang Nabêt ing Salawas-lawase

Katrêsnaning wong tuwa marang anak iku wis kêrêp kagambarake ana ing Taman Bocah kene, lan kira-kira uga bisa gawe thukuling pikiran bocah ing bab rasaning katrêsnan mau.

[Grafik]

Ing saiki nuju ana lêlakon kang bisa agawe karasaning ati tumraping bocah kang ditinggal wong tuwane, lan kono banjur ngrêti, bocah kang tininggal ing biyung, iku jênêng kelangan wong kang nrêsnani bangêt marang awake, mêsthine tansah kèlingan bae.

Ing sajrone lêlakon sawatara dina iki, Nata ing Bèlgi sakalihan pramèswarine lan putra-putrane padha tindak mênyang nagara Walănda, prêlu ambêbingah putra.

Ing nalikane ana nagara Walănda mau, sang nata utawa sang pramèswari tansah ambêbingah putra-putrane, didhawuhi nitih jaran cilik, nyêtiri prau motor. Ing kono kasok anggone padha bingah-bingah.

Sawise mangkono, putra-putra mau banjur ditilar ana nagara Walănda, sang prabu sakalihan pramèswari kondur mênyang Bèlgi.

Wusana seje dina, ana pawarta, Raja Putri Astrid, Pramèswari Nata Bèlgi, iya ingkang ibu para putra kang isih ana nagara Walănda, seda, jalaran kasangsaran saka anggone nitih oto.

Iba rasaning panggalihane putra kang padha ditilar ana nagara Walănda mau. Mêsthi tabêting tindak-tanduke Raja Putri Astrid tumraping marang putra, ketok isih nabêt bangêt sanadyan ngantia lawas iya isih krasa.

Coba rasakna ana ing atimu, têpakna.

Ora liwat mung mêmuji, muga para putra mau nuli manggiha pangimur.

--- [143] ---

Gagasaning Bocah

Nuju ing dina Ngahad ana bocah isih esuk umun-umun wis lunga mancing, batine: ing dina iki aku ora sêkolah, aku bakal sênêng-sênêng ana pinggir kali, mancing.

Anggone ngancang-ancangi arêp mancing iku wiwit dina sêtu mulih saka sêkolah, malah barêng têkan ngomah nganti lali mangan, ditakoni wong tuwane, genea êmoh mangan. Wangsulane wêtênge isih warêg.

Barêng bêngi ora bisa turu, mung anggagas anggone arêp mancing. Wataking bocah, banjur gunêman dhewekan karo kucinge kang turu ana sandhinge, unine: Yèn kowe sida milu, saiki turua, mundhak karipan. Anggone bocah kăndha mangkono mau lali yèn awake dhewe bakal karipan.

Esuke, isih umun-umun wis budhal, tangane têngên nyêkêl walêsan, tangane kiwa nyangking blèg wadhah umpan, dene kucinge tut buri karo ngeyang-ngeyong.

Satêkaning pinggir kali banjur mapan linggih, nuli mapan mancing, ing kono wiwit ngulur gagasan mêsthine olèh badhèr, yèn digorèng kêmripik kucinge arêp diwènèhi êndhas lan pêthite. Nanging nganti suwe bangêt ora ana kang anggawani.

Batine: E, hla, iki kojur, apa iwake iki matane padha lamur, ora wêruh ana wong mancing ngene. It, bêgjaning uwong, saiki kari ura-ura bae. Awas, sida mlêbu wajan.

Anggone muni mangkono mau saka krasa, yèn pancinge digawani iwak. Nanging barêng disêndhal jêbul yuyu, wusana banjur trima mulih.

Esuke bocah mau barêng mlêbu sêkolah, ana ngêklas andongèng anggone mancing, tangane karo srawean.

Gurune barêng wêruh, takon nirokake apa. Bocah mangsuli, nirokake lêlakone dhèk Ngahad.

Guru anyrêngêni sêmu angguyu, supaya kowe tansah kèlingan lêlakonmu, ngadêga ana sacêdhaking ngêbor kene, nganti bubaran. Jênêng dikapakake.

Bocah mangsuli karo mêmbêg-mêmbêg: pun sêtrap.

--- [144] ---

Ala Winalês Bêcik

II.

[Dhandhanggula]

pangeran kang wuragil wis ngrêti | ing pasêmon dukane kang raka | ing batin sambat: kapriye | apa mungguh luputku | angèl têmên gonku mrangkani | ing samubarang tindak | kang tiba awakku | kabèh ora kabênêran | yèn mangkono aku dianggêp kêlilip | tinêmu mung rêkasa ||

pangeran kang panggulu nyêlani | alon matur marang ingkang rama | mênggah kawula ing mangke | namung nêdya mituhu | dhatêng kamas pangran dipati | andhèrèk ing sakarsa | sang prabu umanggut | nuli alon angandika | iku bênêr lakonana luwih bêcik | têtêp pangran utama ||

ing samêngko ingsun mituturi | rasakêna kang nganti karasa | bab adêg sakèhing gawe | watêkmu bocah têlu | ing sabisa dadèkna siji | yèn ora mangkonoa | mêsthine mung kisruh | awit sira têlu pisan | beda-beda ing watêg dhasaring ati | kaya sira kang tuwa ||

anduwèni pambêkan prajurit | ora ana rasa kasamaran | wani tandhing kalah gêdhe | lumuh kasoran laku | iku dadi watak kang luwih | nanging cacade ana | watak ngono iku | adhakan nêmu sangkala | saka kaduking tindak mung waton wani | mula kudu nganthia ||

lan adhimu pandhadha: katitik | duwe watak mêmbat sarwa sabar | mung ketok sakapenake | bisa milahke laku | bisa kêncêng kala ngêncêngi | bisa ngalar adawa | dhasar pikir landhung | nanging têtêpe utama | sira aja lali nganthi si wuragil | iku bocah utama ||

satindake sarwa makolèhi | saupama dhèwèke kawasa | bisa dadi ratu têmbe | kuwat angêrèh ratu | mung kalawan ujar kang manis | mungsuh-mungsuh kasoran | dening ucap arum | sakèhing panggawe salah | angêdohi marang dhasar ati bêcik | mung rahayu kang ana ||

sira kabèh aja amaoni | marang wulang wuruke wong tuwa | kang diwawas salawase | awit wong tuwa iku | luwih awas anggone niti | mênyang watêking anak | sapolahe wêruh | dadi yèn ngêcakke kăndha | atêtela panêmune bakal bêcik | saka titi kulina ||

măngka sira anane saiki | anduwèni watêk beda-beda | ngaku luwih dhewe-dhewe | nanging yèn bocah têlu | gêlêm ngumpul dadi sawiji | adêging prajanira | bakal lulus tulus | pamujiku ora liya | kalakona têlu pisan dadi siji | tumindak padha-padha ||

putra têlu tumungkul nginggihi | nuli padha amundur bubaran | gênti-gênti ngabêktine | barêng kang wragil maju | sang aprabu ngatonake sih | ngêlus-êlus mastaka | kang èsêm kawêtu | karo lirih angandika | sira iku bakal kamot amadhahi | sakèhing kaluhuran ||

mula wajib atindak tabêri | nênitèni marang samubarang | awit samubarang gawe | kang kasar lan kang alus | padha lèrèg ala lan bêcik | mula mungguh pamawas | aja grusa-grusu | wis sira nuli mêtua | kang abisa anggonmu ngêngarah ati | marang sadulur tuwa ||

alon mundur pangeran wuragil | bêbarêngan andhèrèk kang raka | ing patrap bangêt taklime | nanging pangeran sêpuh | ing sêmune ora kêdugi | nuli alon ngandika | marang rayi mau | supaya padha parênga | marang dalêm kadipatèn anom mampir | arêp padha ngandikan ||

--- [0] ---

[Iklan]

--- [0] ---

Carita Măncawarna

f 0.75

Isi dongèng 23 warni. Prayogi kangge têtuladanipun para mudha. Rêgi ... f 0.75

Minăngka icip-icip, ing ngandhgap punika pêthikanipun:

Nalika panjênêngane Sang Prabu Phrèdêrik kang luhur, ratu ing nagara Prèsên, ana jendral siji aran Sidlit. Iku ngaturake layang palapuran, konjuk marang sang prabu, yaiku palapuran bab kaanane para upsir saklerehane kang wis padha milu pêrang. Kamot ing layang palapuran ana pangalême jendral marang litnan ênom kang prawira, prakosa labuh marang nagara ngluwihi karo kănca-kancane kabèh.

Esuke litnan ênom tinimbalan dening sang prabu, sarta kadangu mangkene: He, litnan ênom, ingsun wus miyarsakake unjuk palapurane jendral ingsun, yèn sira iku wong kang prawira, prakosa labuh marang nagara, ngungkuli kancanira para upsir kabèh. Mulane ing saiki sira pantês ingsun paringi ganjaran rong warna, mara sira piliha salah siji. Sira milih dhuwit êmas 100 iji, apa milih bintang êmas.

Ature litnan ênom: Dhuh gusti, nata pêpundhèn kawula, kawula milih arta êmas 100 iji punika.

Sang nata mirsa pamilihing litnan, têmah ngungun, pangandikane: He litnan, karêpira kapriye, dene sira milih dhuwit êmas, ora milih bintang êmas minăngka kaurmatanira.

Ature litnan ênom: Dhuh gusti, nata pêpundhèn kawula, mugi anêbihakên ing dêduka dalêm dhatêng jasad kawula. Mila kawula milih pêparing dalêm ingkang awarni arta êmas 100 iji, awit kawula punika gadhah sambutan kathah. Dados pêparing dalêm arta samantên punika badhe kula angge nyaur sambêtan kawula. Mênggah panimbang kawula makatên: Utama ora abêbintang ora duwe utang, katimbang karo garang sugih utang.

Sang prabu kakênan ing panggalih midhangêt ature litnan ênom, pangandikane: He litnan ênom, sarèhne kaya mangkono pangêtrapira marang pêparing ingsun, mulane ganjaran kang arupa bintang êmas tampanana pisan. Pangarêp-arêp ingsun marang sira, muga sira bisa anglakoni katêmênan ngluwihi saka kang uwis, supaya ing têmbe sira bisa anduwèni pangkat kang luwih dhuwur saka kang wus sira lakoni iki.

Ature litnan ênom: Dhuhg gusti, nata pêpundhèn kawula, matur sèwu nêmbah nuwun ing sih wilasa dalêm ingkang sampun rumêntah dhumatêng badan kawula. Mugi kawula angsala pangèstu dalêm, sagêd anglampahi katêmênan anglangkungi saking punika.

Wêdalan Bale Pustaka, Batawi Sèntrêm.

--- [0] ---

Ăngka 77, Stu Kli, 29 Jumadilakir Jimakir 1866, 28 Sèptèmbêr 1935, Taun X

Kajawèn

[Iklan]

--- [0] ---

[Iklan]

--- [1213] ---

Ăngka 77, Stu Kli, 29 Jumadilakir Jimakir 1866, 28 Sèptèmbêr 1935, Taun X

Kajawèn

Kawêdalakên sabên dintên Rêbo lan Sabtu.

Rêgining kalawarti punika ing dalêm tigang wulan f 1.50 bayaran kasuwun rumiyin botên kenging langganan kirang saking 3 wulan.

Juru ngarang - Administrasi Bale Pustaka ing sawingkinging kantor Palis, tilpon nomêr 1743 - Bêtawi Sèntrêm.

Isinipun: Tatwawara - Jiwa Lare tuwin Pamardi - Pikramèn - Pasulayanipun Itali kalihan Ngabêsi - Bab Kasarasan - Adpêrtènsi - Bab A.S.I.B. - Kabar Warni-warni - Wêwaosan - Taman Bocah.

Tatwawara

[Asmaradana]

bêcik padha angulati | karahayoning dumadya | sabab karahayon kuwe | sajatining kanugrahan | kang wus tanpa watêsan | têgêse kang luwih agung | iya kang luhur pribadya ||

tandhane mungguhing janmi | nadyan uripe kabêgjan | tumpa-tumpa nugrahane | băndha bandhu kêdrajatan | nanging yèn tinêbihan | ing karahayon tan wurung | tuwuh pangrêsulaning tyas ||

satêmah anuli kengis | ora sênêng uripira | ing măngka sapa uwonge | kang tan sênêng uripira | gampang kênèng lêlara | yèn lara kang wujud tatu | iku nora sapiraa ||

lamun atine kang sakit | yêkti madal sakèh tămba | wusana jaba jêrone | padha nandhang karusakan | beda kang rinakêtan | maring karahayon iku | nadyan uripe tan pakra ||

tinitah asor tur miskin | nanging katone mung suka | nora tuwuh ngrêsulane | awit rumasa tan kambah | ing lêlaraning manah | pikire ayêm lumintu | sirna sagung păncabaya ||

parandene kèh ngêmohi | tinampik siningkang-singkang | gila maring karahayon | tan wruh yèn dadi dhêdhasar | dêlêging saniskara | tumrap lair batinipun | tanpa iku mêsthi rusak ||

--- 1214 ---

Jiwa Lare tuwin Pamardi

Karanganipun Suwarja, kapala guru pawiyatan Budi Utama, Mistêr Kornèlis.

Sambêtipun Kajawèn nomêr 74.

Cacad ingkang kados makatên punika botên awit saking lêpatipun guru kemawon nanging ugi saking lêpatipun tatananing pangajaran. Kabêkta kawontênanipun ingkang nêdha makatên. Nanging sanajan kados punapa kemawon, yèn gurunipun gadhah reka, sampun tamtu sagêd pados wêkdal kangge nindakakên akalipun.

Lare kêdah dipun prêdi anggêsangakên akal tuwin budinipun. Kalantipanipun ingkang sampun dipun ginau kêdah sagêd migunakakên, kêdah sumêrêp panganggenipun supados ing têmbe, manawi sampun mêdal saking sêkolahan sagêda sumêrêp margining gêsang sarana akalipun botên namung anjagèkakên dananipun tiyang sanès.

Pun lare prayogi dipun purih nata kramean sakolahan, sinau nyêpêng pakêmpalan bal-balan, sêport, ngêdêgakên kopêrasi sêkolahan, sinau main tonil, selat, mlampah-mlampah, damêl gubug motha lan sapanunggilanipun.

Kathah guru ingkang kuwatos bilih cara kasêbut ing nginggil wau sagêd anjalari drajating pangajaran badhe suda. Kuwatos ingkang kados makatên wau botên mapan. Yèn pun guru ing wêkdalipun mulang tansah kawêngku dening drajating pangajaran lan pun lare andintên-dintên dipun pêksa ngulu pangajaran punapa sawontênipun ngriku, sampun mêsthi botên badhe mindhak sagêd nanging malah kosokwangsulipun, kaprigêlanipun kangge gêgaran gêsang lajêng mlêpês. Pun lare lajêng dados golèk.

Botên manawi pun lare kathah kalonggaranipun kangge ngêdalakên akalipun. Raosing manahipun tansah gambira, rêmên sinau, botên bosênan utawi wêgahan kabêkta saking ingkang dipun manah gontas-gantos. Punika angasrêpakên pikiranipun tuwin jiwanipun.

Sadaya pratikêl pamardi ingkang dipun tindakakên kalayan saèstu, sampun tamtu badhe mêkarakên budining lare, ambangun wêwatakanipun.

Sêkolahan punika sampun dipun dadosakên gudhang lare, nanging prayogi dipun dadosakên pusêripun gêsanging lare.

Wontên sêkolahan pun lare sampun namung angsal sêsêrêpan kemawon, nanging gêsangipun ugi kêdah dipun wangun inggih punika gêsang ingkang kêdah isi raos gambira lan sênêng. Ing ngriku pun lare lajêng kagigah grêgêtipun angothak-athik, rêmên tumandang damêl, tansah samêkta tur cancingan manawi nindakakên prakawis padamêlan.

Sêkolahan punika sagêd dados papan pangaubaning lare, dados papan ingkang dipun pêpêtri lan dipun rêmêni.

Wontên ing sêkolahan lair batosing lare kêdah sagêd gêsang subur, kadosdene winih ingkang wontên ing pawinihan subur gêsangipun sabab saening pangopènipun cêkap panjaginipun, [panjagini...]

--- 1215 ---

[...pun,] ingkang anjalari pun lare lajêng gadhah panjăngka ingkang mulya-mulya.

Yèn kawontênan kasêbut ing nginggil sadaya wau angèl kadumugènipun, apês-apêsipun kêdah dados pangangkah, dados pandoming pangajêng-ajêng. Manawi panjăngka wau dipun têmêni, sarta tansah dipun udi kadumugènipun lami-lami mêsthi sagêd ngèmpêri.

VII. Guru.

Ing jaman sapunika drajating guru punika ingkang namtokakên dhiplomanipun sarta blanjanipun. Ukuranipun wontên ing B.B.L. Dados kadosdene kaum buruh lugu kemawon, ingkang nyambut damêl wiwit satêngah wolu enjing dumugi jam satunggal siyang, sarta ingkang suka ngèlmu tuwin sêsêrêpan dhatêng lare ingkang sampun dipun têtêpakên wontên ing rancangan pangajaran (leerplan) lan miturut dhaptar pasinaon kangge sabên dintên (rooster).

Pancènipun tiyang dados guru punika kêdah tuwuh saking manahipun piyambak ingkang suci, kêdah tampi ilhaming guru, supados panyambutipun damêl salaras kalihan corèking gêsangipun, purun ngantêpi lair batos.

Botênipun makatên apêsipun inggih kêdah gadhah panjăngka angèmpêri dhatêng ilham wau.

Sanajan botên dipun gantungi sumpah, nanging guru punika pancènipun kêdah wantun andhadhagi têtanggêlan tumrap kamajênganing bangsanipun, sabab padamêlanipun nuntun lare ingkang ing têmbenipun badhe dados warganing gêsang bêbrayan (praja).

Guru punika kêdah dados tuladaning muridipun. Raos paguron kêdah tansah manthêr anyunari gêsangipun. Raos paguron wau inggih punika raos trêsna, ingkang badhe rumasuk piyambak dhatêng jiwaning murid sarta andayani dhatêng jiwa wau. Manawi raos paguron punika wontên, murid-muridipun sampun tamtu badhe bêkti piyambak dhatêng gurunipun, sabab sami ngraos nikmatipun kataman sunaring paguron wau.

Kula sadaya ingkang dèrèng gadhah drajat paguron ingkang samantên inggilipun, sampun tamtu kemawon wajib gadhah panjăngka sarta ambudidaya supados dumugi samantên.

Pancèn prêlu sangêt guru punika nyampurnakakên paguronipun ing lair tuwin batosipun. Lairipun kêdah tansah sae gêsangipun, angindhakakên sêsêrêpanipun tuwin pangalamanipun. Batosipun kêdah tansah ambudidaya anjêjêgakên kamanungsanipun, mangun watak-watak ingkang sae ingkang wontên salêbêting manahipun.

Pangaosipun guru kêdah botên sarana dipun tingali blanjanipun, nanging dipun tingali watakipun, dipun tingali kalakuwanipun. Guru punika kêdah pantês dipun aosi dening tiyang sêpuhipun murid. Guru kêdah sumêrêp aosing badanipun piyambak. Padamêlan guru punika mulya sangêt, botên pantês manawi namung dipun ukur kalihan balanjanipun. Nanging kosokwangsulipun pun guru, kêdah sagêd nêdahakên kamulyaning batosipun.

Guru ingkang dipun pasrahi mardi lare-lare bangsanipun piyambak inggih punika lare-lare ingkang ing têmbe badhe dados sakaguruning gêsang bêbrayan, punika kêdah wicaksana. Sadaya tindak-tandukipun kêdah salaras kalihan luhuring drajatipun.

--- 1216 ---

Pikramèn

Dèrêng dangu punika ingkang Bupati ing Lamongan kagungan damêl mantu putrinipun R.A. Siri Rohaniyah Mutmainah dhaup kalihan Mr. R.M. Iksan putranipun ingkang Bupati ing Kêndhal.

[Grafik]

Pangantèn kakung putri nuju lênggah rêsèpsi.

Ing sasampunipun punika, nalika dintên Sabtu malêm Ngahad tanggal kaping 14-15 wulan punika, ingkang Bupati ing Kêndhal ugi mahargya pikramèn wau wontên pandhapi kabupatèn. Ing wêkdal wau ing pandhapi karêngga-rêngga ing sêsêkaran sakalangkung pèni, punapa malih sarêng kasorotan dilah listrik saya langkung èdi malih.

Para tamu ingkang sami rawuh ing ngriku kathah sangêt, kados ta para agêng Walandi Jawi saking Sêmarang, Surakarta, Ngayogyakarta lan ing kitha Kêndhal ngriku, punapadene para partikulir ugi kathah, lan sanès-sanèsipun malih. Bupati ingkang sami rawuh ing ngriku wontên wolulas. Kajawi punika dipun wontêni têtingalan lan têtabuhan warni-warni. Kintên-kintên jam 8 wontên murid 50 sami arak-arakan nuju dhatêng kabupatèn, sami sêsarêngan nêmbang ingkang suraosipun ngunjukakên sugêng dhumatêng pangantèn sakalihan. Cêkakipun ing dalu wau sakalangkung rame.

Ing wusana ing dintên Ngahad malêm Sênèn lajêng kawontênakên pahargyan ingkang mligi kangge nyugata para priyantun ingkang ugi sarana têtingalan warni-warni.

R.M. Iksan punika angsalipun sêsêbutan Mr. wontên ing nagari Walandi, dene ing sapunika sampun ngasta damêl wontên ing kantor residhèn ing Pathi.

[Grafik]

Pangantèn sakalihan nuju lênggah sabibaring rêsèpsi, kaapit ing rama ibu, Bupati ing Kêndhal. Gambar sisih kiwa lan têngên piyambak.

Botên sanès Kajawèn angaturakên sugêng bagya dhumatêng rama ibu sakalihan panjênênganipun sang pangantèn.

--- 1217 ---

Pawartos Sanès Praja

Pasulayanipun Itali kalihan Ngabêsi.

Sarêng pasulayanipun Itali kalihan Ngabêsi katingal saya nêsêg, lajêng kathah kabêtahan-kabêtahaning nagari sanès ingkang ugi anggayut dhatêng babagan wau. Ingkang langkung wigatos, punika ingkang pinanggih nagari Inggris, awit saupami kalampahan wontên pêpêrangan, Inggris badhe katut amanggih rêribêt, awit anggadhahi bawah-bawah ingkang tapêl-watês kalihan Ngabêsi, botên sande tamtu badhe manggih sabab ingkang sagêd damêl kapitunan.

Ingkang makatên punika kawigatosanipun Inggris, botên sanès nêdya nutup Suez-Kanaal, awit ing ngriku punika dados margi ingkang sakeca piyambak tumrap Itali anggèning andhatêngakên wadyabala saking Itali dhatêng Ngabêsi. Lan malih manawi ngèngêti tataning prajanjian Polkênbon, Itali sampun nama nêrak prajanjian, dene badhe nêmpuh nagari ingkang ugi dados warga. Dados saupami Inggris kalampahan mêpêt margi wau, nama pados satunggiling pangeman utawi panyêgah dhatêng pasulayaning nagari ingkang sami dados warganing Polkênbon.

Kajawi punika Inggris ugi nguwatosakên dhatêng tindakipun Itali anggèning badhe ngangkah anggadhahi tlaga Tsana. Awit saupami kalampahan makatên, Itali badhe anggadhahi panguwaos agêng, prasasat sagêd murbawisesa ing bab babagan toya ingkang dados tuking ilèn-ilèn ingkang ngêlèbi jajahan Inggris, makatên ugi tansah nyamarakên dayaning Itali tumrap jajahan Mêsir, ingkang wosipun sadaya wau dados kabêtahanipun Inggris. Makatên ugi Mêsir piyambak ugi pasang kaprayitnan, samăngsa Itali saèstu campuh kalihan Ngabêsi, Mêsir nêdya nunggak waru, nanging manawi Itali purun narajang watês, badhe dipun tanggulangi, adhêdhasar prêlu kangge rumêksa kawilujênganing nagari.

Tumrap pasulayan punika kajawi sabab-sabab ingkang gêgayutan babagan watês tuwin pangupajiwa, Itali ugi gadhah wiji, anggèning badhe nêlukakên Ngabêsi punika, prêlu kangge nyirnakakên ing bab wontênipun rencang tumbasan, awit ing Ngabêsi pinanggih kathah sangêt. Ingkang sampun pinanggih kemawon wontên 2.000.000. Wontênipun makatên awit ing bab rencang tumbasan punika dados jalaran tuwuhing rêrêsah, tansah ngawontênakên tindak ngarat tiyang.

Sayêktosipun, Inggris punika rumaos grêgêtên dhatêng tindakipun Itali, nanging raos makatên wau botên katingal ngêblak, nanging sintêna kemawon inggih sampun mangrêtos dhatêng kajêngipun. Ing sapunika Inggris anglêmpakakên kapal pêrang wontên ing Sagantên Têngah, sami kapal pêrang ingkang sakalangkung kiyat, ing sajagad botên wontên ingkang nyamèni. Lampahing kapal pêrang narajang supitan Giblaltar dhatêng kapuloan sakidul Griekenland. Wadya lautan Inggris wau wontên ing ngriku badhe ajar pêrang-pêrangan, tumujuning papan pêrang-pêranganipun wau dumugi Itali.

--- 1218 ---

[Grafik]

Ministêr jajahan nagari ngamănca ing Ngabêsi, nuju sami sowan sang nata dhatêng karaton, wêkdal kawontênakên pahargyan wiyosan nata jangkêp yuswa 44 taun.

--- 1219 ---

Manawi ngèngêti kawontênan ingkang kados makatên punika, anggèning ajar-ajaran wau sagêd ugi dados pêrangan yêktos.

Ingkang makatên punika Itali lajêng rumaos bilih lautan-lautan ingkang dados margi sampun sami dipun cêgati dening Inggris, kados ta supitan Gibraltaar, susukan Suez tuwin sanès-sanèsipun. Dados saupami Itali badhe ngêtingalakên kapurunanipun, Inggris sampun sumadhiya anandhingi.

Mulatipun Inggris dhatêng solahipun Itali ugi botên tilar dhatêng nagari sanès ingkang kenging dipun kanthi, mila inggih botên kêkirangan pangudi ingkang kangge sarana murih andadosakên prayogi. Dene manawi botên sagêd rukun, badhe wontên ingkang kangge kănca rêrêmbagan. Cêkakipun tumraping umum pinanggih kathah ingkang mêtêlakên dhatêng Itali, supados èngêt.

Miturut pawartos, nata ing Ngabêsi dhawuh dhatêng rakyat supados samapta badhe campuh kalihan Itali. Tuwuhing dhawuh ingkang makatên wau, jalaran sang prabu uninga bilih para rakyat sami mêmpêng anggèning sami badhe ambelani nagari. Malah pangagênging agami ambombong kanthi suka pamuji arja tuwin suka sumêrêp bilih ing Erythrea wontên sadhèrèk-sadhèrèk ingkang kinungkung ing mêngsah, punika supados sagêd angluwari.

Cêkakipun tumraping Itali, kathah sangêt sabab-sabab ingkang dados pambêngan, kados ta ing bab margi ingkang badhe katutup, punika sagêd damêl kandhêg lêbêting lisah pèt dhatêng Itali, saya sarêng wadya lautan Inggris tumut angêmori damêl ing Suez Kanaal, punika badhe sagêd ngalang-alangi lêbêting lisah pèt saking Pèrsi tuwin Abadan, makatên ugi pajagèn ing pasisir Palèstinah tuwin Aipah ugi sagêd suka margi dhatêng Inggris ingkang sagêd adamêl kandhêging lêbêtipun lisah pèt saking Irak dhatêng Itali. Inggih sanadyan Itali sagêd unggul wontên ing pasisir Palèstinah, nanging Inggris mêksa gampil anggèning sagêd mampêt sumbêr lisah pèt ing Mosul. Saya malih sarêng wontên pawartos bilih parentah Inggris kalihan Turki sawêg rêmbagan badhe nutup supitan Dardanellen, supados lisah pèt saking Sopyèt botên sagêd malêbêt dhatêng Itali, punika prasasat amêjahi Itali.

Ing salajêngipun rêmbag pangudi karukunan pinanggih saya ruwêd, awit Itali katingal botên nampi rêmbaging juru pamisah. Măngka sêsulakipun tumrap Ngabêsi Inggis sampun botên kenging dipun pênggak murih sagêdipun sarèh.

Nanging grêjêgan ingkang badhe manggih pamisah, kados inggih botên kêkirangan margi, awit ing sapunika wadya Itali kathah ingkang kambah ing sêsakit, malah saupami Itali adrêng nêdya nêmpuh dhatêng Ngabêsi ing măngsa punika, botên sande badhe campuh kalihan rumabing sêsakit. Makatên malih tumraping Itali anggèning pados wêwahan wadyabala saking golongan sanès, inggih punika dhatêng Arab, Mêsir lan sanès-sanèsipun, sami botên angsal damêl, amargi sami dipun pambêng dening ratunipun, sampun ngantos sami melik dhatêng blănja kathah.

Lah sapunika kadospundi, punapa ing bab pasulayan punika botên namung tansah nuwuhakên sabab enggal.

--- 1220 ---

Bab Kasarasan.

Kadospundi lan ing wêkdal punapa kula tiyang limrah kenging utawi sagêd têtulung dhatêng tiyang ingkang kataman sêsakit.

Sambêtipun Kajawèn nomêr 75.

Verband zalf, punika ingkang kadamêl kain zalf dipun lèri utawi lèlèti zalf, dipun tèmplèkakên ing tatu lajêng dipun blêbêt windsel (verband).

Limrahipun verband boorzalf punika kangge ambalêbêt tatu ingkang cêthèk abuh sampun mèh saras, têgêsipun tatu wau sampun timah-timah katingal rêsik (abrit) kulitipun badhe rapêt saras.

Boorzalf punika gadhah daya sagêd ngenggalakên sarasipun tatu ingkang kulitipun badhe rapêt, kajawi makatên boorzalf sagêd nyêgah rêrêgêd utawi baktèri ingkang badhe lumêbêt ing tatu lan lalêr botên purun manggèn utawi mencok ing tatu ingkang wontên bursalêpipun.

Verband boorzalf ing pundi-pundi kangge anjampèni tatu-tatu ingkang rêndhêt sarasipun.

Yèn badhe damêl verband zalf mêndhêta kain zalf (Engelsch pluksel) rumiyin dipun guntingi, langkung wiyar tinimbang tatunipun. Kain zalf wau dipun lèlèti boorzalf mawi cuthik kajêng, dêling utawi sungu gèpèng (spatel), mèh sawarni kadosdene cêpêngan sendhok dhahar, ingkang sampun dipun rêsiki lan dipun siram toya bêntèr (umob) utawi dipun rêsiki mawi spiritus.

Kain zalf limrahipun ingkang kaangge Engelsch pluksel sawarni kados pêrnèl utawi kain panas pêthak. Manawi botên wontên kain zalf Engelsch pluksel kenging ngangge lawon kandêl ingkang rêsik.

Sasampunipun zalf tumèmplèk ing tatu, pambalêbêtipun sampun kêncêng-kêncêng (singsêt) nanging kêdah ingkang cêkap singsêtipun upami kangge nyambut damêl utawi mlampah sawatawis sampun ngantos mlèsèt utawi ucul.

Balêbêt hydrophile gaas punika bilih kaangge enggal rêgêd tur awis rêginipun. Ingkang nyêkapi tur awèt kangge ambalêbêt punika lawon kasar ingkang kandêl (blaco), sasampunipun kangge kenging dipun kumbah dipun godhog dipun êpe dipun gulung lajêng kenging dipun angge malih rambah kaping tiga, sok ugi sabên-sabên dipun kumbah lan dipun godhog.

Verband boorzalf kenging dipun kèndêlakên ngantos kalih utawi tigang dintên nêmbe dipun santuni enggal.

Pasta lassar awarni zalf punika saperangan ngandhut salicijlzuur, milanipun sagêd andayani nawar utawi mêjahi baktèri, prayogi kangge anjampèni tatu alit-alit ingkang abuh utawi ingkang mawi gatêl punika mustajab sangêt.

Verband pasta lassar punika sabên kalih utawi tigang [ti...]

--- 1221 ---

[...gang] dintên kêdah dipun santuni enggal, kajawi manawi rêgêd kenging siti utawi sanèsipun kêdah tumuntên dipun santuni.

Manawi tatu utawi korèngipun alit-alit cêkap dipun tèmplèki pasta lassar lajêng dipun plèstêr mawi plèstêr leukoplast ingkang hawa bêntèr tanah ngriki kiyat dipun simpên sataun botên risak utawi botên suda plikêtipun.

Zonnebad (dhedhe).

Bêntèripun srêngenge punika gadhah daya sagêd nyarasakên sêsakit ing kulit utawi sêsakit sanèsipun.

Asring băngsa Eropah ngandharakên yèn bêntèring srêngenge ing tanah bêntèr ing Asiah ngriki sagêd ambêbayani tumrap kasarasaning badan tiyang. Pamanggih ingkang makatên punika sajatosipun kalintu, awit bêntèring srêngenge wau malah migunani utawi andayani kasarasaning badan.

Soroting srêngenge punika kenging kaperang dados tiga:

1. Sorot ingkang bêntèr botên katingal.

2. Sorot ingkang damêl padhang katingal.

3. Sorot ingkang Ultraviolet ingkang botên katingal.

1. Sorot bêntèr. Ing jaman kalih dasa taunan kapêngkêr sorot bêntèr ingkang sagêd damêl sêsakiting tiyang utawi kewan, namanipun sêsakit zonnesteek punika jalaranipun tiyang bêbênteran sirah tanpa tudhung, tiyang wau lajêng sakit zonnesteek.

Ing jaman sapunika botên pinanggih ing nalar utawi botên dipun anggêp lêrês. Pamanggihipun dhoktêr ingkang pintêr-pintêr ing jaman samangke, zonnesteek punika sagêdipun thukul jalaran dadakan sêsakit malaria kimat utawi jalaran saking sêsakit sanès.

2. Sorot ingkang damêl padhang punika botên anjalari punapa-punapa, lan botên damêl kapitunan dhatêng tiyang, malah angsal pêpadhang, watonipun tiyang anggambar (photografeeren) saking pêpadhang, yèn botên wontên padhang, botên sagêd damêl gambar, sanajan padhang saking magnesium, nanging kêdah wontên pêpadhang wau. Badhe kasambêtan.

R. Sumadirja Ind. Arts. Kudus.

--- [1222] ---

Rêmbagipun Garèng + Petruk

Bab A.S.I.B.

II.

Petruk: Ambanjurake rêmbugane lagi anu, Kang Garèng, sabênêre mono wis jamak lumrah mungguhing manungsa kuwi, ora prêduli, Jawa, Lănda, dalasan yangko-yangko pisan, yèn êndhase obah, badane iya mèlu obah, nganti buntute pisan iya mèlu kopat-kapit. Karêpe mungguhe manungsaning ngabathara, nèk sing dadi panggêdhe duwe ada apa-apa, sing dadi sor-sorane, nganti sing èndhik pisan, iya banjur: mupakat. Tumrape jaman biyèn saupama ana ada-adaning bupati upamane, luwih manèh yèn bêcik karêpe, patih, wêdana, asistèn wadana, lurah nganti têkan kuline pisan, kabèh iya banjur cancut taliwănda, cancut acincing-cincing ...

Garèng: Wayah, nèk ora bisa ambok aja cara dhalang, mêsthine rak iya mêngkene kae: cancut taliwănda, cancut araning wong acincing, taliwănda araning wong cawêtan. Nèk kaya unimu kuwi, apa niyat wong kabèh mau arêp padha diajak nyabrang ing kali bêngawan, kathik acincing-cincing. Dadi yèn miturut kandhamu rak iya cêtha ta, Truk, yèn wong sing akèh kuwi mung manut grubyuk thok bae, bokmanawa malah ora ngrêti karêpe dikon mela-mèlu. Wêruhe mung sabab karêpe panggêdhene mêngkono, dadi kenene iya mung: drêmi nglampahi, wèh, apa wong-wong kabèh mau mung prasasat dadi bêkakas thok bae ...

Petruk: Wis mangkono, Kang Garèng, kaanane ing dunya kuwi, wong siji sok bisa andayani wong sajagad. Iya jalaran anane wong sing bisa andayani wong akèh mau, jagad banjur bisa tata têntrêm utawa bisa: cèmbèng ajêgan. Kaya ta: saupama wong sing sêmono dayane nyang wong akèh mau bangsane drêmakêsuma, jagad iya bisa tata têntrêm, nanging kosokbaline, yèn watake wong mau kaya Dasamuka, donyane iya: dadi karang abang têrus-têrusan. Contone kaanan saiki kiyi bae. Apa kok kira sabên wong Itali kêpingin main sêdhêkah rêbutan ana ing Ngabêsi, kiraku kok iya mokal, ngêndi ana wong gêlêm kanthi sênênging ati didadèkake ... sapi bêlehan. Nanging saka gêdhening dayane Musulini marang wong sa-Itali kabèh, ing wusana wong Itali umume marang karêpe Musulini mau, iya mung: amin ngono bae. Mulane, Kang Garèng, aja maido saupama ana panggêdhe duwe ada-ada, sor-sorane padha anayogyani lan padha ambantu kabèh kuwi. Pancèn [Pa...]

--- [1223] ---

[...ncèn] iya wis mêngkono kaanane donya. Kosokbaline yèn kêkarêpaning panggêdhe kuwi tansah diwancahi dening sor-sorane, sadhela bae donya iki mêsthi rusak.

Garèng: Dadi nèk mêngkono, Truk, donya kuwi gampang rusake karo tata têntrême. Sabab miturut kandhamu, nèk wong-wonge manut miturut marang panggêdhene, donya mêsthi rusak, sabab karêpe panggêdhene, iya karêpe wong-wong mau. Iya nèk karêpe panggêdhe mau ora ngajak cakot-cakotan, bisa slamêt sakabèhe, nanging nèk karêpe sing dadi panggêdhe sok dhêmên pringas-pringis, wong-wong bawahe kakèh,[10] iya kudu mèlu pringas-pringis. Kosokbaline yèn wong-wonge mung mancahi nyang panggêdhene, dunya iya rusak manèh, sabab pranatane têmtune mung dipringake bae.

[Grafik]

Petruk: Mula iya mangkono kaanane ing dunya kuwi, Kang Garèng, tata têntrême, kuwi mung manut miturut marang sing dadi panggêdhe. Mulane, Kang Garèng, aja pisan-pisan kowe nyêpèlèkake, apa manèh sêngit marang para priyayi pangrèh praja, awit sanyatane iya priyayi-priyayi mau, sing tansah anjaga tatatêntrême papan padununganamu, dadi sing tansah anjaga marang kaslamêtanamu.

Garèng: Lo, wis wajibku lan kabèh uwong, pancèn iya kudu urmat lan kudu ngajèni marang priyayi pangrèh praja kuwi, sabab mula iya nyata, priyayi-priyayi mau sing wajib tansah anjaga marang kaslamêtanaku kabèh. Dene sing sok tak jêlèhi, tak ewani kuwi rak uwonge, dudu priyayine. Nèk priyayine, dhinês, Truk, kudu tak ajèni, sing ora tak dhêmêni kuwi, wong-wonge sing sok pêthenthengan. Saênggon-ênggon sok ngatonake: aku kuwasa, aku malaekat. Wong têtêpungan bae, iya ngatonake: aku kuwasa, aku malaikat. Wong têtêpungan bae, iya ngatonake: aku kuwasa, buktine: ora kok ngaku jênênge: aku Sarimin upamane, nanging: aku wêdhana kota.

Petruk: Wiyah, Kang Garèng, kuwi ora sabab arêp ngaton-ngatonake anggone kuwasa, nanging saka kulinane sabên dina. Sabab ana ing kono kabèh-kabèh mung nyêbut: wêdana kota, dadi banjur katênta ngarani awake dhewe, ora aku Sarimin, nanging aku wêdana kota. Wis, wis, Kang Garèng saiki padha dibanjurake rêmbugane. Mau wis tak kandhakake, Kang Garèng, wis jamak ana ing dunya kiyi, nèk sing dadi panggêdhe duwe ada apa-apa, sor-sorane iya banjur padha rujuk lan ambantu kabèh, murih bisane kêturutan ada sing dianakake dening panggêdhe mau.

Garèng: Apa manèh mungguhing bangsane dhewe

--- [1224] ---

kiyi, Truk, prakara manut miturut sarta ngrujuki lan ambantu para panggêdhene, kuwi wis aran: kampiun. Wong anggone anggladhi wis wiwit cilik, Truk. Wong bocah lagi umur nêm taun bae upamane, saupama didangu ndara wêdana, bapakne iya enggal-enggal nuturi anake: kae didangu ndara wêdana, ayo andhodhok nyêmbah. Dadi wiwit cilik mungguhing bagsane dhewe kiyi wis digladhi: kon wêdi, kon ngajèni lan ambangun turut marang panggêdhene, dadi barêng gêdhe tuwa, wêdi, ngajèni lan ambangun turut marang panggêdhe kuwi wis mrasuk ing balung sungsum. Mulane yèn banjur ana panggêdhe dikurangajari wong cilik, kuwi ora jalaran saka ora idhêp tatane wong cilik mau, nanging jalaran saka priyayine pancèn ... andalodog.

Petruk: Wiyah, Kang Garèng kiyi le sok banjur nglantur omonge mêngkono. Wis, Kang Garèng, saiki tak banjurne omongku. Sanyatane mungguhing dunya kene, apa bae, yèn sing ngadani kuwi para panggêdhe, kêna ditêmtokake: mêsthi dadine.

Garèng: Apa manèh tumrap bangsane dhewe iki. Wong aku wis kêrêp ngalami, Truk. Upamane bae ing nagara liya ana lindhu gêdhe, utawa banjir gêdhe, kang anjalari pirang-pirang atus wong kelangan barang darbèke nganti blindhis. Ing wusana wong sajagad banjur padha dikon tulung kabèh. Nganti wong kayadene aku iki, sing ora tau têpung, tur iya ora tau candhuk-lawung[11] karo wong-wong sing padha kasangsaran mau, ingatase nukokake salin kêmbêne prunanmu Si Poniyêm bae ora bisa, mêksa dioyak-oyak dikon mèlu urun.

Petruk: Hla, mulane bênêr ta, omonganaku ing ngarêp, yèn ana kadadean kang mangkono kuwi, saupama salah sawijining bupati ing tanah wêwêngkone banjur ada-ada anglumpukake dhuwit prêlu kanggo awèh pitulungan marang wong-wong sing lagi padha nandhang susah mau, iki bêcik bangêt, awit 1e. awèh tuladha marang wong-wong bawahe supaya padha wêlasa marang sapadhaning umat, 2e. awèh tuladha marang bawahe supaya aja mung mikir nyang kaprêluane dhewe bae, nanging iya kudu mikir nyang kaprêluan umum, lan 3e. dhuwit sing mlêbu bisa akèh.

Garèng: Bab kaping têlu aku cocog, aja manèh dipundhuti urunan mung sakadare, oraa: grègèl ngono bae, wong mung duwe babon siji thil, tur lagi didhêmêni bangêt, diaruh-aruhi ing panggêdhe: wah, babonmu kok apik, ya. Sanalika kono iya banjur dicaosake sarana tangan papat.

Petruk: Wiyah, le ora mèmpêr, nèk kaya ngono kuwi arane, rak panggêdhe:.. dêlap.

Garèng: Dudu aku lo, sing ngarani kang ora-ora, nanging kowe dhewe, Truk. Aku mung kăndha, kanggone bangsane dhewe kiyi, duwe apa-apa, kok nganti diaruh-aruhi ing panggêdhe, kanthi sênênging ati banjur: cul, dicaosake bae. Bab barange mau ing wusana apa ditămpa utawa ora dening panggêdhe mau, kiyi prakara ing jaba dhadhah, aku mung arêp nêrangake, sêmono bêkti lan wêdine wong cilik marang panggêdhe.

--- 1225 ---

KABAR WARNI-WARNI

Pêthikan saking sêrat-sêrat kabar sanès.

TANAH NGRIKI.

Motor mabur ical. Miturut pawartos, motor mabur ingkang kaping tiga ingkang badhe kangge pêrlu ing Nieuw Guinea sampun bidhal saking Calcuta, nanging lajêng botên wontên wartosipun. Motor mabur wau nama P.H.-A.K.V.,dipun lampahakên dening bangsa Inggris nama Fulford, kanthi bangsa Walandi Vonk, ingkang dados mecanicien bangsa Inggris Cope. Wontên pawartos malih motor mabur Havilland ingkang ical wau, mêksa dèrèng pinanggih. Salajêngipun taksih dipun padosi, ugi dèrèng sagêd manggihakên titikipun.

[Grafik]

Dr. Zainal. Kados ingkang sampun kawartosakên ing Kêjawèn ingkang sampun kêpêngkêr, punapadene ing sêrat-sêrat kabar sanès-sanèsipun, mênggah Dr. Zainal anggènipun kawisudha dados leeraar ing Nias punika andadosakên kawigatosanipun ngakathah. Ingriki ngêwrat gambaripun Dr. Zainal kacêtha inginggil.

Perdelict Utusan Indonesia. Ing abab prakawisipun Tuwan Ismangunwinoto bab karangan ing Utusan Indonesia ingkang ciri Partindo dan Marhaen Indonesia, sampun karampungan. Tuwan Ismangunwinoto kaukum 1 taun 5 wulan, dene Tuwan Bratakesawa, luwar.

Kapur kangge nyêrat. Hoofdbbestuur I.M.I.W. gadhah atur dhatêng Parentah nyuwun nyambut arta badhe kangge ngêdêgakên pabrik kapur kangge nyêrat. Sampun sawatawis dangu wontên ingkang nindakakên cobèn-cobèn damêl kapur kangge nyêrat wau, badhenipun mêndhêt saking sacêlakipun Cirêbon. Wohing cobèn-cobèn wau pinanggih sae. Manawi sêdya wau sagêd kasêmbadan, panganggening kapur kangge nyêrat wêdalan tanah ngriki wontên 40 pCt piyambak. Malah ing têmbenipun botên pêrlu andhatêngakên malih. Kajawi kapur kangge nyêrat wau inggih badhe damêl kapur sanès-sanèsipun malih. Pabrik wau badhe kaêdêgakên wontên ing Cirêbon.

Pabrik arak ing wana. Punggawa pabean kanthi veldpolitie ing Têgal nyumêrêpi satunggiling pabrik arak wontên satêngahing wana, sacêlakipun Ujung Timur, bawah Margasari, Têgal. Pabrik wau lajêng dipun tutup, pinanggih pirantosipun damêl arak jangkêp, saha sagêd ambêskup arak 400 litêr. Salah satunggilipun tiyang ingkang damêl nama Marjadi, dipun cêpêng.

Sarêm pêtêng ing Cirêbon. Velpolitie ing Cirêbon mêntas ambêskup sarêm pêtêng kathah, ingkang sami dipun damêl dening têtiyang ing dhusun Kanji, kathahipun kirang langkung 1020 katos, nanging botên kasumêrêpan sintên ingkang gadhah. Kala wulan Augustus kêpêngkêr, velpolitie inggih sampun ambêskup sarêm pêtêng pitung pikul, dene dumugining têngah-têngahanipun wulan punika, pulisi sampun ambêskup sarêm pêtêng 60 pikul. Ing bawah Indramayu inggih kathah tiyang damêl sarêm pêtêng, panyadenipun mirah sangêt.

Arbeidsbeurs. Nagari-nagari ingkang wontên kantoripun pitulungan suka padamêlan (arbeidsbeurs), punika ing: Bêtawi, Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirêbon, Têgal, Pêkalongan, Sêmarang, Ngayogya, Surakarta, Madiun, Surabaya, Malang, Makasar, Mênado, Palembang, Padang, Medan tuwin Garut.

Ingsêran. R. Pratistha, Wêdana Mranggèn, Dêmak, kapindhah dados Wêdana Manggar, Grobogan, sami Paresidenan Sêmarang.

Kêkirangan têdha ing Cirêbon. Wontên pawartos, ing bab awis têdha ing Cirêbon mêntas dados rêmbag wontên nagari Walandi. Minister Colijn mêntas mangsuli pitakènipun Tuwan Rustam Effendi ing Tweede Kamer, bilih ing bab kêkirangan têdha ing Cirêbon punika botên nyata. Dene ingkang lêrês, pancèn nyata panenanipun botên sae, sagêd ugi nuwuhakên kêkirangan têdha ing sawataswis dhusun. Ing bab kêkirangan têdha wau ingkang wajib sampun nindakakên rêrigên sapêrlunipun.

Padagangan sruwa sêpêt. Sampun watawis sataun ing Jawi Têngah wontên padagangan barang sruwa sêpêt utawi sruwanipun. Barang wau kakintunakên dhatêng Eropa utawi Afrikan Kidul, saya dangu saya mindhak kathah. Sruwa wau dipun pigunakakên kangge damêl babut. Makatên ugi tapasipun ugi kangge dandosan. Kala rumiyin tumrap Afrika, tapas wau mêndhêt saking Ceylon, nanging sapunika mêndhêt saking Jawi Têngah. Sarèhning padagangan wau majêng, tumrap Jawi Wetan ugi nindakakên makatên, katingalipun inggih sampun ragi majêng. Padagangan prasaja, tiyang sagêd nyambut damêl ngangge gagrak prabot lami.

Tamu ing pakunjaran lare ing Tangêrang. Nyonyah C. H. Razoux Schultz Metzer, warga Raad Kawula, ingkang ugi dados commissaris pulisi kangge tiyang èstri, mêntas dhatêng ing griya pakunjaran lare ing Tangêrang. Wontênipun ingriku mriksa pawon, patênunan kangge lare èstri, panggilingan uwos tuwin pakêbonan damêlan lanbouw. Nyonyah Razoux Schultz ugi badhe dhatêng ing pakunjaran-pakunjaran sanès-sanèsipun, pêrlu badhe nyumêrêpi kawontênanipun pakunjaran-pakunjaran ing tanah ngriki, saya langkung dipun wigatosakên tumrap pakunjaran lare tuwin tiyang èstri.

Pakêmpalan salingkuh. Pulisi ing Medan andêngangi golonganing punggawa ing kantor Hoofdjaksa tuwin punggawa Landgerecht. Ingriku wontên juru sêrat tiga sami dipun cêpêng, saha kakintên salajêngipun wontên ingkang kacêpêng malih. Têtiyang ingkang sami kacêpêng wau kadakwa nyalingkuhakên arta dhêndhan kathah sangêt.

Tiyang galak ing Nieuw Guinea. Miturut pawartos saking Niew Guinea, bangsa Mappi mêntas nêmpuh dhatêng kampung Imahui, wontên tiyang ingkang dipun pagas gulunipun. Salajêngipun bangsa Mappi wau nêmpuh patroulle ing Banumepe. Bangsa galak punika lajêng oncad nilar baita-baita tuwin lare 3.

--- 1226 ---

Pêjah dening ulam bêthik. Tiyang nama Ican ing dhusun Aji Sêpatan, Mauk, Bêtawi, pados ulam wontên ing lèpèn, angsal ulam bêthik satunggal. Sarèhning taksih wontên ulam sanèsipun, ulam bêthik wau dipun cakot, kados limrahing tiyang pados ulam, lajêng badhe nyêpêng ulam sanèsipun. Nanging ulam bêthik ingkang dipun cakot wau mancolot mlêbêt ing gorokan lajêng mandhêg nyêngkal, dipun pêndhêt botên kenging, botên sagêd wicantên. Ican lajêng kabêkta dhatêng C.B.Z. nanging botên sagêd katulungan, kêlajêng tiwas.

Lampah anggêgana saking tanah Jawi dhatêng Philipina. Ingajêng Departement babagan prakawis sajawining praja nagari Walandi nêdha rêmbag dhatêng Amerika badhe damêl margi lampah anggêgana ing Zamboago, tanah kapuloan Philipina, badhe kangge pakèndêlan Knilm. Nanging dèrèng angsal wangsulan. Ing sapunika panggaraping papan anggêgana ing Martapura sampun rampung, kintên-kintên benjing wulan November ngajêng punika wontên lampah anggêgana saking Surabaya-Martapura-Balikpapan. Dene tumrap Tarakan, kintên-kintên rampung ing taun 1936.

Ngêdêgakên pabrik wowohan bleg-blegan. Awit saking ada-adanipun I.M.I.W. ing Malang, ngêdêgakên pabrik wowohan ing blèg. Rantamanipun waragad sampun dipun tampèni dening Departement Economische Zaken, badhe angsal pitulungan arta. Ing mangsa punika panggaotan wau dipun pangagêngi dening tiyang ahli, nama Prof. Sprenger asli saking Wageningen.

Tiyang ingkang pados padamêlan. Ing salêbêtipun wulan Juli kêpêngkêr, cacahipun tiyang kacathêt ing Bureau voor Arbeidsbemiddeling ing Bêtawi, tiyang siti 818, Tiong Hoa 57, Walandi 307. Gunggungipun sadaya kalihan ingkang sampun, tiyang siti 2181, Tionghoa 159, Walandi 830. Ingkang sagêd angsal padamêlan ing wulan Juli kêpêngkêr, tiyang siti 42, Tionghoa 2, Walandi 65. Cacah samantên punika ingkang angsal blanja kirang saking f 50.- Walandi 40, tiyang siti 44, Tionghoa 2. Blanja antawising f 30.- f 100.-, Walandi 15, sanèsipun botên wontên. Blanja antawising f 100.- f 200.-, Walandi 8, tiyang siti 2. Blanja antawising f 200.- f 300.- Walandi 2.

ASIA.

Bajag laut. Satunggiling kapal Tionghoa isi 956 ton nama "Pao Feng" ambêkta tiyang 500 saking Shanghai badhe dhatêng kêpulauan Chungming, dipun têmpuh ing bajag laut. Ing sadèrèngipun sampun wontên bajag 12 sami amor tiyang numpak, salajêngipun têtiyang wau lajêng nguwaosi salêbêting kapal, opsir-opsiripun sami kaparentah. Bajak sagêd angsal arta 40.000 dollar. Wontên sudagar ingkang dipun tawan. Bajag sasampunipun mandhap, kapal kapurih lajêng lampahipun.

Communist campuh kalihan bangsa Jêpan. Wontên pawartos saking Shanghai, wontên saradhadhu Jêpang campuh kalihan communist golongan awon. Campuhipun wau nalika wontên golongan communist cacah 200 nêmpuh margi sêpur Peiping-Mukden ing Huangkutun sacêlakipun Mukden, kanthi ngancam badhe nêmpuh station. Bab punika lajêng dipun umumakên lêlambaran undhang-undhang nagari nutup margi wau.

Kasangsaran sêpur. Ing sacêlakipun Shenchow, pêrnah sakilèn Honan, wontên kasangsaran sêpur, adamêl pêpêjah tiyang 200 kêtaton 200. Kasangsaran wau jalaran saking wontên locomotief satunggal tuwin kreta militèr 5. Militèr wau kêgolong wadya brêgada 19, ingkang lumampah turut margi sêpur Lunghai-spurweg dhatêng provincie Shensi. Nalika sêpur nêngah-nêngahi lumampah, dhawah kalêbêt ing jurang ingkang lêbêtipun 30 m.

EROPA.

Nagari Vaticaan sadhiya. Samangsa kalampahan wontên panêmpahing mêngsah saking gêgana Rome, sawarnining dilah ing kitha Vaticaan (karatoning agami) badhe dipun pêjahi, kanthi lampah wados ingkang sampun katêtêpakên. Sadaya wau manut tatananipun parentah Italie.

NAGARI WALANDI.

Panggêgananipun Tuwan Khouw Ke Hien. Panggêgananipun Tuwan Khouw Ke Hien kakintên tanggal 25 utawi tanggal 26 September punika sampun dumugi Schiphol, nagari Walandi. Ing golongan ulah gêgana sami migatosakên yêyêktosan.

INGGRIS.

[Grafik]

Tunil wontên ing papan ngêblak. Kados ingkang sampun pinanggih ing pundi-pundi papan tunil punika wontên ing nglêbêt griya utawi gêdhong. Nanging beda malih papan tunil gagrak sapunika kados ingkang kacêtha ing gambar punika papan tunil ing Porth Curno, nagari Inggris, papan tunil wau kêjawi ngêblak, milih panggenan ing pasisir sagantên.

--- 1227 ---

Wêwaosan

Wangsulipun Tarsan.

Piridan saking buku karanganipun Tuwan Edgar Rice Burroughs.

49.

Sarêng sampun sawatawis dangu, Kleton kraos kadosdene mripating Matrus taksih mandêng dhatêng saliranipun. Jalaran saking punika lajêng sumêlang badhe tilêm, sanadyan kraos arip lan sayah sangêt, dados mripatipun kapêksa dipun êlèk-êlèkakên kemawon. Nanging dangu-dangu mêksa inggih lajêng kêtilêman. Pintên danguning anggènipun tilêm, piyambakipun botên mangrêtos, nanging dumadakan piyambakipun lajêng tangi awit mirêng suwara krêsêk-krêsêk amurugi. Ing kala punika kalêrês padhang rêmbulan. Sarêng piyambakipun mêlèk, sumêrêp Matrus Wilson amurugi piyambakipun, ilatipun mele-mele, mripatipun mêndêlik, kalihan maringis untunipun. Dhatêngipun mriku amurugi Kleton sarana ambrangkang, kadosdene kewan galak ingkang ngancang-ancangi badhe nubruk mêmangsanipun.

Suwara krêsêk-krêsêk ingkang lirih wau anjalari tanginipun Nonah Jinê Portêr, lan sarêng nonah wau sumêrêp wêwarnèn ingkang anggêgilani punika, inggih lajêng jêlih-jêlih jalaran saking kagèt tuwin kamigilanipun. Ing kala punika Matrus wau sampun tumandang anubruk Tuwan Kleton. Botên beda kadosdene trajangipun sato galak, untunipun ingkang maringis kaarahakên dhatêng tênggokipun Kleton, nanging sanadyan Tuwan Kleton ugi sampun katêlasan kêkiyatan, ewasamantên taksih sagêd nulak cangkêming mêngsahipun.

Jalaran saking panjêlihipun Nonah Jinê wau, Turan alias Rokop tuwin Matrus Sêpidhêr lajêng sami tangi, saha sami atêtulung Kleton anggèrèt Matrus Wilson ngantos sagêd kaundurakên, tuwin lajêng karodapêksa kaglethakakên wontên ing joganing baita. Sasampunipun Matrus Wilson grunêngan piyambakan ngantos sawatawis mênit dangunipun, kajawi punika lajêng glêgas-glêgês gumujêng piyambakan. Ing wusana, botên kenging dipun palangi dening kănca-kancanipun, Matrus Wilson wau lajêng jêlih-jêlih, sarta ujug-ujug lajêng anjêgur ing sagantên.

Sasampunipun wontên kadadosan ingkang makatên wau, tumrap para têtiyang ingkang taksih sami kantun gêsang, nuwuhakên raos utawi pikiranipun beda-beda. Kados ta: Matrus Sêpidhêr nangis, Nonah Jinê tawakup sujud ing Pangeran, Kleton anênutuh badanipun piyambak, dene Turan alias Rokop lajêng săngga uwang anganam pikiranipun, angsal-angsalaning pikiranipun wau, enjingipun lajêng kawêdharakên dhatêng Matrus Sêpidhêr tuwin Kleton. Mênggah cariyosipun makatên:

Tuwan-tuwan, sampeyan sami nyumêrêpi piyambak, badhe kadospundi kadadosanipun, manawi kula sadaya botên enggal lajêng angsal pitulunganing kapal sanès. Bilih pangajêng-ajêng kula sadaya badhenipun angsal pitulungan punika sakêdhik sangêt, sampun cêtha, buktinipun, anggèn kula sadaya sampun sami kampul-kampul wontên ing sanginggiling toya sagantên sampun pintên-pintên dintên, mêksa botên wontên katingal kukusing baita, punapa malih baitanipun. Saupami ing ngriki wontêna sadhiyan têtêdhan, kados sakêdhik-sakêdhik wontên pangajêng-ajêngipun. Balik botên wontên babar pisan, gèk kadospundi. Jalaran saking punika samangke namung wontên kalih bab ingkang kêdah kapilih salah satunggal, inggih punika: kula sadaya kêdah sêsarêngan pêjah, utawi wontêna salah satunggal ingkang dados kurbanipun, supados sanès-sanèsipun sagêd gêsang. Punapa sampeyan sadaya mangrêtos dhatêng kajêng kula sadaya punika.

Nonah Jinê mirêng têmbungipun Turan alias Rokop ingkang makatên punika badanipun lajêng kraos gumêtêr saking mirising manahipun. Manawi pamrayogi wau tuwuh saking pikiranipun Matrus Sêpidhêr, ingkang mila kirang pangajaran, Nonah Jinê botên badhe anggragap, balik ingkang suka pamrayogi punika tiyang ingkang cêkap pangajaranipun, punika tumrap Nonah Jinê botên sagêd andungkap.

Jalaran wontênipun pamrayogi ingkang makatên wau, Kleton lajêng amangsuli makatên: Langkung sae kula sadaya sami pêjaha sêsarêngan kemawon.

Turan awicantên malih: Bab punika kêdah miturut pamanggih ingkang kathah. Ing sarèhning ingkang badhe dipun kurbanakên punika namung satunggal, kula sadaya kêdah tumuntên damêl karampungan, dene Nonah Jinê Portêr kajawèkakên saking rêmbag punika, awit piyambakipun botên badhe angsal rubeda punapa-punapa.

Matrus Sêpidhêr lajêng apitakèn: La, gèk kadospundi sagêdipun anyumêrêpi sintên ingkang kêdah dados kurban rumiyin piyambak.

Turan amangsuli: Bab punika badhe dipun undhi. Kula nganthongi arta têngahan sawatawis kathah ingkang angkanipun taun warni-warni. Ing ngriki mangke anamtokakên salah satunggal angkaning taun. Sintên ingkang mêndhêt têngahan angsal angkaning taun ingkang sampun katamtokakên wau, inggih punika ingkang kêdah nglampahi dados kurban rumiyin.

Mirêng rêmbag ingkang kados makatên wau, Kleton amangsuli kanthi garundêlan: [garundê...]

--- 1228 ---

[...lan:] Kula botên badhe purun tumut-tumut dhatêng pakarti cara setan-setanan makatên punika. Sabab sagêd ugi mangke utawi benjing-enjing kula sadaya sagêd amanggih satunggiling panggenan utawi baita ...

Wangsulanipun Turan sumêngit anyêntak sêmu anggêgiri: Sampeyan kêdah namung miturut punapa angsal-angsalane suwara ingkang kathah, yèn sampeyan badhe anggêga kajêng sampeyan piyambak, bab punika botên susah mawi kaundhi malih, inggih sampeyan punika ingkang kêdah kangge kurban rumiyin. Samangke lajêng dipun rêmbag tumuntên kemawon. Kula piyambak mupakat, sampeyan kadospundi, Sêpidhêr.

Wangsulanipun Matrus: Kula inggih cocog.

Turan alias Rokop ngambali wicantênipun: Dados sampun gênah, punika pikajênganipun suwara ingkang kathah. Samangke măngga lajêng sami dipun wiwiti dipun undhi. Pangajêng-ajêngipun ingkang sami undhi botên wontên bedanipun, sami kemawon. Ing sarèhning antawisipun kula sadaya punika, tiga ingkang kêdah lêstantun gêsang, dados salah satunggal ingkang kêdah pêjah sawatawis jam langkung rumiyin.

Sasampunipun makatên, Turan lajêng anyadhiyakakên undhèn wau. Dene Nonah Jinê Portêr namung malongo anêksèni ingkang sami undhi. Turan lajêng anyèlèhakên jasipun wontên ing joganing sêkoci, sarta lajêng ngrogoh têngahan sawatawis ing salêbêting kanthong jasipun wau. Turan lajêng aniti angkaning arta têngahan-têngahan wau, dene Kleton tuwin Matrus Sêpidhêr ugi sami tumut ningali.

Turan lajêng awicantên: Măngga, sami tumuta aniti ingkang saèstu, angkaning taun punika ingkang sêpuh piyambak 1875, lan ingkang angkaning taun punika, namung satunggal thil.

Salajêngipun, Kleton Tuwin Matrus Sêpidhêr, anggèning niti arta têngahan-têngahan wau saking satunggal kanthi taliti sangêt. Tiyang kêkalih wau sami botên sagêd ambedak-bedakakên satunggal lan satunggaling têngahan kajawi angkaning taunipun. Saupami tiyang kêkalih wau mangrêtosa, bilih Turan punika tilas tukang sulap, ingkang sagêd anitèni angkaning taun arta têngahan namung kalihan kagrayang kemawon, tiyang kalih wau têmtu mangrêtos, manawi namung dipun loropakên kemawon. Têngahan ingkang wontên angkaning taun 1875 wau, bedanipun kalihan têngahan sanès-sanèsipun, namung ragi tipis sawatawis, nanging tumrap Kleton utawi Sêpidhêr, manawi tanpa pirantos, botên badhe sagêd anyumêrêpi.

Undhi lajêng dipun wiwiti. Dene ingkang mêndhêt rumiyin, pun Turan alias Rokop. Sampun têmtu ingkang dipun pêndhêt inggih arta ingkang sae, têgêsipun, arta ingkang botên wontên angkaning taun 1875.

Nalika Kleton kêdhawahan undhi kêdah mêndhêt arta wau, Nonah Jinê botên mêntala aningali, lajêng ngêrêmakên mripatipun. Matrus Sêpidhêr anggènipun ningali kalanipun Kleton mêndhêt arta wau, mripatipun ngantos mêndêlo, awit saking pamanggihipun, manawi Kleton botên mêndhêt têngahan ingkang wontên angkanipun taun 1875 wau, botên wande inggih mêsthi piyambakipun ingkang dados kurban langkung rumiyin.

Sasampunipun Kleton amêndhêt arta, tanganipun lajêng tansah anggêgêm kalihan namatakên dhatêng Nonah Jinê. Ing sêmu manahipun rêkaos sangêt badhe ambikak arta undhèn wau.

Kanthi sêrêng Matrus Sêpidhêr angatag dhatêng Kleton makatên: Sampun, enggal kabikaka, kula sêlak kêpengin sumêrêp.

Kleton lajêng ambikak tanganipun. Dene ingkang sumêrêp rumiyin angkaning taun wau Sêpidhêr. Lan sadèrèngipun têtiyang sanès nyumêrêpi pikajênganipun, ujug-ujug Sêpidhêr mêncolot saha lajêng anjêgur sagantên. Awit, arta ingkang dipun cêpêngi dening Kleton wau, dede arta ingkang mawi ciri angkaning taun 1875.

Jalaran saking anggènipun sami mêgêng napas, sasampunipun kadadosan ingkang makatên wau, tiyang têtiga ingkang taksih kantun, dintên punika kadosdene tiyang kêsambêt sami klêngêr botên èngêt ing purwa duksina. Ngantos sawatawis dintên malih sêkoci wau tansah akombak-kombul wontên ing sanginggiling sagantên, sampun têmtu lêsu lan lêsahing badanipun tiyang têtiga wau saya sangêt. Wusana Turan alias Rokop lajêng brangkangan amurugi dununging Kleton.

Kanthi bisik-bisik Rokop wicantên dhatêng Kleton makatên: Mumpung kula kêkalih taksih sami gadhah kêkiyatan sawatawis, măngga sami undhi malih kemawon.

Ing kala punika kawontênanipun Kleton sampun rêkaos sangêt ngantos praksasat sampun botên anggadhahi kêkiyatan, punapa malih Nonah Jinê sampun angsal tigang dintên anggènipun botên ngucap punapa-punapa. Kleton sumêrêp bilih Nonah Jinê katingal sampun mèh dumugi ing jangji. Sanadyan kleton gadhah pamanggih, bilih ingkang badhe kalampahan punika saya langkung angêrês-êrêsi, nanging piyambakipun gadhah pangajêng-ajêng, manawi kurban kadosdene ingkang dipun usulakên dening Turan punika, sagêd ugi badhe anyukani daya kêkiyatan enggal dhatêng Nonah Jinê, ing kala punika usul wau inggih lajêng dipun sayogyani.

Tiyang kêkalih wau adamêl undhi mawi arta kados ingkang sampun, lan karampunganipun inggih sampun têmtu Tuwan Kleton ingkang kadhawahan undhi, inggih punika angsal arta ingkang wontên angkanipun taun 1875.

Sasampunipun rampung undhi, Kleton lajêng pitakèn dhatêng Rokop makatên: Benjing punapa krêsa sampeyan.

Ing kala punika Rokop sampun amêndhêt ladingipun gapit, nanging sarêng badhe kaêngakakên rêkaos, ungkak-ungkêk mêksa botên sagêd mênga, jalaran karosanipun sampun mèh têlas.

Kanthi mripat mêndêlik lan kêmêdhêr, Turan angawasakên dhatêng Kleton, sarwi amangsuli sumêngit makatên: Inggih saniki-niki. Badhe kasambêtan.

--- 149 ---

Nomêr 38, taun V

Taman Bocah

Lampiran Kajawèn, kawêdalakên sabên Sabtu.

Kapuk Kapas Sanalika Bisa Dadi Bênang Plisêran

Sawijining tukang sulap băngsa pribumi mêtu mênyang ing gawang (tonil) akanthi sakabate papat, ing kono dianani tabuhan tarêbang, kêndhang sarta angklung. Tukang sulap mau angulungake kapuk kapas sakêpêl marang salah sawijining sakabate mau, asasmita supaya kasumurupna para mirsani yèn iku dêlês kapuk kapas wantah. Sawise dipirsakake para nonton, têmên yèn wujud kapuk kapas balaka, banjur dibalèkake marang tukang sulap, sarta tukang sulap calathu: Kapuk iki mêngko sadhela bisa dadi bênang plisêran (gawean pabrik). Kapuk banjur dipusus ing èpèk-èpèk nuli ditèmplèkake ing lambe, karo ditutupi èpèk-èpèke loro pisan saistha wong andonga utawa tadhah amin mripate madhêp mêndhuwur anglangak. Sawuse sikile tukang sulap anggêdruk kaping têlu măngka tăndha sasmita, sakabat mau sing siji mara banjur andudut bênang salêr saka sêla-sêlaning darijine tukang sulap. Sasuwene bênang mau ditarik dening sakabat, sakabat liya-liyane bêbarêngan karo padha nabuh tarêbang, kêndhang sapanunggalane mau, padha muni kayadene lagon sênggakan mangkene: bisa ngantih wong ayu munggah suwarga, sakpos, rong pos, bisa ngantih wong kuning munggah suwarga, têlung pos, patang pos, mangkono bola-bali nganti pirang-pirang rambahan karo ditabuhi kêndhang, tarêbang sarta angklung. Barêng anggone narik bênang saka lambe wus puput kira-kira ana 10 dhêpa dawane, sênggakan sarta tabuhan mau padha suwuk. Tukang sulap kêkêmu karo ngêgarake tangane loro pisan wis kothong ora ana apa-apane, nandhakake yèn kapuke ilang wis dadi bênang kabèh. Bênang banjur dipirsakake para nonton ing kono padha gumun sarta eram dene luwih elok: bubar.

Mungguh sajatine kabèh mau mung saka akalan balaka, bocah-bocah ing taman kene bae padha bisa, anggêr wis dak duduhi wadine mêngkene: nalikane tukang sulap ngulungake kapuk sak kuwêl mênyang sakabate mau, jêbul karo anggêgêm bênang sagulung cilik kira-kira 10 dhêpa dawane, bênang banjur dibuntêl kapuke nuli ditèmplèkake ing lambe,

--- 150 ---

bênange diodotake sathithik mêtu sêla-sêlaning darijine, barêng bênange wis puput kapuke banjur diêmut sêmisih ringkês bangêt nuli reka-reka dikêmoni. Nanging kabèh-kabèh mau patrap pratikêle kudu sing alus rêmit prigêl imbuh rikat amasthi yèn ora kêtara. Mara cobanên.

S. W.

Uwong Aja Nampik Pagawean

Ing bab prakara pagawean, iku tumraping bocah wajib disumurupake, prêlune ing besuk gêdhene bisa dadi bocah prigêl, awit ora kurang bocah kang ketok sarwa kau, mênyang pagawean ora ngrêti.

Kang diarani pagawean iku pancène warna-warna bangêt, saya tumrape bocah sêkolah ing jaman saiki, mêsthine wis padha ngrêti, yèn anggone sêkolah iku iya nganggo nyrambahi pagawean liyane, ora mung sinau maca nulis bae, malah ana sing diajari nandur barang. Mungguh prêlune, ora liya supaya bocah iku aja kidhung.

Malah kang tinêmu ing Eropah, sanadyan para sêtudhèn uga ana kalamangsane nyambut gawe kang dudu mêsthine, kaya ta ajar mêrês sapi, ajar ngrêsiki sawah, angon kewan lan liya-liyane. Anggone tumindak ing gawe mangkono mau, dilakoni manawa nuju liburan, dadi dianggêp kayadene kasênêngan.

[Grafik]

Kang kacêtha ing gambar, iku para sêtudhèn lanang-wedok kang nuju nglumpukake dami ing sabubaring măngsa panèn.

Yèn mangkono, pagawean kang ditanjakake dadi kasênêngan, iku dadi pakulinan kang bêcik.

--- 151 ---

Katrêsnaning Biyung Marang Anak

Ayake upama digolèkana, tumraping sipat nyawa, ora ana biyung kang ora trêsna mênyang anake.

Yèn tumraping uwong wis kêrêp dikandhakake ana ing Taman Bocah kene. Dene tumraping pitik iwèn utawa sato kewan, iku iya ora ana bedane, malah kapara ketok bangêt anggone trêsna mênyang anak. Kaya ta pitik, iku samăngsa anak-anak, nalika anake isih kuthuk anggone anggolèkake pakan marang anake saksat tanpa lèrèn kanthi nyuwara krak-kruk, kang atêgên[12] ngundang anake, supaya aja kêpisah. Kajaba anggolèkake pangan kaya ngono mau, ya bangêt pangrêksane mênyang anak, yaiku samăngsa ana kang angganggu gawe anake mêsthi ditladhung, ora praduli sapa bae. Kuwi kêna dinyatakake.

[Grafik]

Yèn kewan kang ngèmpêri bangêt uwong, iku kêthèk, samăngsa duwe anak ora tau pisah saka bopongan anake ngêthapêl iya ora nêdya pisah, digawaa mènèk utawa mlumpat iya kalèt ana ing awak bae. Nanging mêngko yèn wis rada gêdhe, sanadyan pisah, nanging tansah disandhing bae. Mêngko pisahe têmênan yèn wis bisa golèk pangan dhewe.

Mangkono uga manungsa, mêsthine saya ngungkuli kuwi, amarga ngakal budine luwih sampurna. Nanging kosokbaline, trêkadhang saka anggone ganêp ngakal budine mau, malah sok tinêmu sulaya.

--- [152] ---

Ala Winalês Bêcik

IV.

[Sinom]

pangeran pati ngandika | wis mangkene bae bêcik | saiki kowe blakaa | yèn têmêne kowe kuwi | kapengin amêngkoni | dadi ratu luwih luhur | yèn ta ora prasaja | aja kêduwung ing buri | kowe mêsthi kalakon katiban siksa ||

pangeran wragil samana | bangêt judhêg ing panggalih | rumasa yèn dipaeka | kabèh sarwa ora apik | upama diiyani | jênêng wong narajang luput | awit pancèn sanyata | babarpisan ora melik | yèn duwea ati kang asêdya cidra ||

dadi yèn angiyanana | jênêng kaya bocah cilik | ananging yèn kăndha ora | mêsthi bakal anêmahi | olèh siksa ngluwihi | saka raka loro mau | kang pancèn dhasar manggan | mung niyat anyilakani | dadi kabèh ora ana kang kapenak ||

wusana alon ngandika | dhuh kadang kula kêkalih | kula botên badhe dora | tuwin gadhah manah lamis | lair kula gih batin | ingkang makatên saèstu | pun kula botên niyat | tuwin anggadhahi melik | dados ratu wontên nagari punika ||

sawêg gathukipun nalar | botên pisan angèmpêri | yèn kula gadhaha sêdya | pundi kang katingal mirib | kula punika ringkih | cingkrang ing sadayanipun | kuwanèn botên gadhah | pundi ta ingkang nyamari | kang makatên lah kula namung sumăngga ||

pangeran pati anyêntak | pancèn kowe bocah wasis | gonmu baut ngikal basa | biyèn mula wis kêtitik | rekamu ambodhoni | nyatane gunêmu lunyu | aku rak dudu bocah | kodoli lêmêsing uni | yèn mangkono kowe têtêp uwong cidra ||

pangran pandhadha sumêla | wis ta ngakua wuragil | aja dhêmên gawe dosa | mundhak malah ngêbot-boti | bok uwis koakoni | prakaramu nuli rampung | pangeran wragil krasa | yèn sakèhing uni kuwi | ora liya mung ngarah gawe rêkasa ||

suwe-suwe ora kuwat | jirihe kamoran wani | nuli matur kalècêman | yêktosipun kula isin | ngatasing kula sami | katiga pisan sadulur | têka sae angrêbat | babagan nistha nglangkungi | pantês dados rêmbagipun tiyang kompra ||

manawi watak satriya | botên badhe gadhah melik | kang botên wajib agadhah | pangeran pati nudingi | unining setan gondhil | apa kowe ora krungu | ujaring dêdongengan | satriya kang duwe melik | nganti wani mungsuhan sadulur tuwa ||

pangeran wragil nyêkakak | alon anggone mangsuli | lêrês pancèn botên kirang | nanging punapa ta inggih | pinanggih botên nlisir | tindak kang makatên wau | nanging tumraping kula | ngraos isin lair batin | botên sae anglampahi tindak nistha ||

pangeran pandhadha nyêntak | e, hla, kowe iku wani | pangeran wuragil sabar | pratitis gone mangsuli | kula sayêktos ajrih | nanging yèn tansah pun buru | kapurih ngakên lêpat | botên purun anglampahi | awit kula rêsik têbih dhatêng cidra ||

suwe-suwe ora tahan | pangeran pati nyakêti | ujug-ujug banjur nêndhang | nanging pangeran wuragil | alon gonne ngendhani | têndhang mung ketok sumiyut | pangeran wragil ngrasa | yèn dukane anêmêni | banjur mundur ditut ing pangeran raka ||

--- [0] ---

Mintaraga

Nyariyosakên nalika Radèn Arjuna tapa wontên ing Indrakila, lajêng pininta sraya dhatêng Hyang Endra, kadhawuhan nyirnakakên raja danawa Prabu Niwatakawaca.

Sami-sami cariyos ringgit, Sêrat Mintaraga punika dipun sênêngi piyambak ing ngakathah. Para sêpuh sami kêsêngsêm dhatêng bab kasêpuhan. Para neneman sami kasêngsêm dhatêng pêprênesanipun tuwin ramening cariyos.

Minăngka icip-icip, ing ngandhap punika pêthikanipun.

[Dhandhanggula]

mangkana Sang Parta matur aris | dhuh pukulun sêmbahing manuswa | pada bathara yêktine | katur jêng sang sinuhun | apan rêke pukulun ugi | sêmbahipun pun Parta | ênggène dumunung | ing mangke ing têmbeneka | sêmbahipun pun Parta datan lyan ugi | kang mumpuni ing sêmbah ||

apan sêmbah manuswa puniki | kadi ta angganing tahên ika | ingkang umijil agnine | kang pamatahênipun | inggih pada bathara ugi | kang minăngka agninya | têmah manuswèku | pan tan kawasa anêmbah | myang amuji nênggih kawula puniki | lamun datan anaa ||

sihing pada bathara sayêkti | pan jatining manuswa punika | kadi menyak upamine | apan menyak puniku | mêdal saking wong mutêr nênggih | dening ingkang minăngka | wong mutêr satuhu | sayêkti pada bathara | kang minăngka menyakipun kang upami | manuswaning bathara ||

Sang Arjuna angastuti malih | byapi byapaka têgêse ika | byapi wisesa têgêse | byapaka têgêsipun | kang misesa puniku nênggih | inggih pada bathara | karan mangkanèku | dening ta pada bathara | sarining cipta amisesa sayêkti | inggih pada bathara ||

datan aganal kalamun pinrih | pada bathara tan moring agal | miwah ing ala ayune | karane mangkanèku | dening pada bathara ugi | langgêng ingkang akarya | jagade puniku | apan patine uripnya | lan langgênge orane manuswa iki | apan anèng ing karsa ||

karsaning pada bathara nênggih | apan manuswa puniki uga | sangkane miwah ulihe | mangke ing têmbenipun | saking pada bathara ugi | pinangkane duk ora | manuswa puniku | ngastuti malih Sang Parta | dhuh pukulun pama manuswa puniki | yèn arsa ngawasêna ||

ing pada bathara ingkang yêkti | upama kadi angganing wulan | mimba madyaning wiyate | wontên gatha têtêlu | wadhah tiga punika ugi | kang satunggal si toya | awêning kalangkung | wadhah kang satunggalira | isi toya alêtuh toyanirèki | wadhah kaping tiganya ||

kang tanpa isi toya satunggil | sami kadulu dhatêng kang wulan | yêkti wayangan mulane | yèn tumiba puniku | ing wêwadhah ingkang aisi | toya wêning punika | nyata yèn dinulu | têtela rupaning wulan | kang tumiba ing wêwadhah kang aisi | toya lêtuh punika ||

wêwayanganing wulan kaèksi | ingkang tumiba anèng wêwadhah | ingkang alêtuh toyane | sami katingalipun | wêwayangan wulan anênggih | nanging datan têtela | sabat toya lêtuh | wondene ingkang tumiba | ing wêwadhah ingkang tanpa isi warih | tan wontên katingalan ||

saking botên wontênipun nênggih | wêwayanganing wulan punika | dening wêwadhah suwunge | tanpa isi toyèku | măngka ing dumadi puniki | ingkang minăngka kanya | tahaning suksmèku | ingkang tumiba wêwadhah | toya wêning têgêse ingkang sujanmi | rahajêng manahira ||

katêtêp puji bêktinirèki | ing bathara dening kang tumiba | wêwadhah lêtuh toyane | manuswa kang puniku | ingkang rago manahirèki | kang arêp ora-ora | mring pênêd puniku | wondene ingkang tumiba | ing wêwadhah ingkang tanpa isi warih | manuswa kang mangkana ||

ingkang mungkur batharanirèki | kang ngarêpakên marêgi pangan | kang aja kurang turune | ywa towong sahwatipun | nandhang nganggo ywa kurang malih | wong kang mangkono uga | sasat sato tuhu | sato mani namanira | têgêse sato mani punika ugi | sato wênang pinangan ||

karantêne manuswa puniki | botên kadi sami angulaha | maring ing yoga bratane | ya ta malih amuwus | Sang Arjuna malih ngastuti | pun Parta dhatêng pada | bathara satuhu | katêmu dening manuswa | yèn pada bathara kang nêmokkên ugi | punika sayêktinya |

kang wênang lawan kaidhêpnèki | pada bathara dening manuswa | yèn bathara sayêktine | kang mênangakên tuhu | lan kaidhêp têgêse nênggih | pukulun pan tan ana | pangawasanipun | ingkang kawula punika | tan lyan saking jêng pada bathara ugi | pinangkane punika ||

Sêrat Mintaraga punika yasan dalêm Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Pakubuwana ingkang kaping tiga ing Surakarta.

Têtêdhakan saking sêrat kawi Arjunawiwaha, anggitanipun Êmpu Kano.Rêgi f 0.80.

Wêdalan - Bale Pustaka - Batawi Sèntrêm.

--- [0] ---

[Iklan]

 


ingkang. (kembali)
mrika. (kembali)
gêgrombolan. (kembali)
ingkang (dan di tempat lain). (kembali)
satunggal-tunggala. (kembali)
botên. (kembali)
mèlèt. (kembali)
Arab. (kembali)
sampun. (kembali)
10 kabèh. (kembali)
11 canthuk-lawung. (kembali)
12 atêgês. (kembali)