Program digitalisasi Sastra Lestari melibatkan tiga langkah utama: mengubah sumber-sumber daya Jawa ke format digital; mendata; hingga menyebarluaskan melalui platform berbasis web. Yang mendasari masing-masing langkah tersebut adalah perlunya menjaga konsistensi dalam penyajian informasi. Untuk itu, Sastra Lestari menggunakan standar (konvensi) sebagaimana dijelaskan di bawah ini: 1. Catatan-kaki; 2. Huruf Latin; 3. Penomoran; 4. Tembang; dan 5. Transliterasi dan Transkripsi.

Terdapat dua jenis catatan-kaki (footnote) di situs web ini: 1) catatan-kaki dari redaksi Yasri; dan 2) catatan-kaki dari teks asli.

  • Catatan-kaki redaksi - merupakan tambahan dari redaksi Yasri untuk menjelaskan hal-hal terkait proses digitalisasi, termasuk ejaan, struktur dan format, pertimbangan kritis maupun halangan dalam membaca naskah aslinya; serta
  • Catatan-kaki asli - merupakan catatan-kaki dari teks aslinya, dan untuk membedakan catatan-kaki asli dengan catatan-kaki redaksi, kontennya diawali dengan simbol § (section sign).

Kedua jenis catatan-kaki tersebut menggunakan sistem penomoran berurutan untuk tanda referensinya, meskipun kadang-kadang terdapat simbol referensi berbeda dalam teks asli. Nomor referensi ini diapit oleh tanda kurung besar dan diformat superscript, misalnya: [1] [2] [3] dan seterusnya.

Nomor referensi ini sama dengan nomor konten catatan-kaki yang terletak di ujung laman, dan merupakan hyperlink untuk menampilkan konten catatan-kaki ketika mouseover atau pindah ke posisi konten catatan-kaki ketika diklik. Demikian pula, di akhir konten catatan-kaki terdapat hyperlink (kembali) yang ketika diklik pindah kembali ke referensi catatan-kakinya.

Contoh:

Catatan-kaki redaksi: Nomor referensi catatan-kaki diletakkan setelah garis tegak satu yang menunjukkan bahwa catatan-kaki tersebut terkait dengan gatra tembang, misalnya:

3. Sinom

29. Bathara Wisnu dyan musna | mring waringin pitu malih | datan adangu wus prapta | Rêsi Narada ya nganti | anèng soring waringin | gya Batha Wisnu rawuh |[13] sasor waringin sapta | wus samya tata alinggih | apan lagya agunêm ing lampahira ||


13 Kurang satu suku kata: gya Bathara Wisnu rawuh. (kembali)

Sumber: Babad Tanah Jawi, Balai Pustaka, 1939-41, Jilid 1, hlm. 7.

Catatan-kaki asli: Nomor referensi catatan-kaki diletakkan sesuai dengan aslinya, dan kontennya diawali dengan simbol § untuk menunjukkan catatan-kaki dari teks aslinya, misalnya:

1. Dhandhanggula

19. pandamêle kang sêrat prajangji | anèng kadhaton ing Kartasura | kaping sawêlas wulane | Nopèmbêr ăngka taun | sèwu pitung atus lan malih | kawan dasa têtiga |[3] ing sêsampunipun | kadhawuhakên warata | băngsa Jawa kalawan băngsa Walandi | rakêt apawong sanak ||


3 § (tahun Ehe: 1668). (kembali)

Sumber: Babad Giyanti, Budi Utama, 1916-8, Jilid 1, hlm. 21.

Data yang berasal dari naskah huruf Latin yang masih menggunakan Ejaan Lama ditulis sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD 1972).

Misalnya: oe ditulis u tj ditulis c dj ditulis j nj ditulis ny j ditulis y kecuali nama orang dan judul buku ditulis sesuai aslinya.

Tiga setrip di kedua sisi angka Arab (atau angka Romawi) misalnya: --- 1 --- --- 2 --- --- 3 --- dan seterusnya sebagai tanda halaman teks sesuai dengan teks aslinya.

Kalau tidak ada nomor halaman, karena tidak tersedia atau tidak dapat dibaca, tetapi urutan halamannya sudah jelas, nomor halaman ditambahkan dan diapit oleh tanda kurung besar, misalnya: --- [1] --- --- [2] --- --- [3] --- dan seterusnya.

Untuk halaman ganda di mana urutan penomoran ditulis hanya di satu sisi saja, maka nomor halaman diulang untuk halaman tanpa angka, dan untuk kedua sisi halaman ganda, huruf r (recto) dan v (verso) ditambahkan masing-masing guna membedakannya. Misalnya: --- 1r --- --- 1v --- dan seterusnya.

Perpindahan halaman ditulis sesuai dengan aslinya, hanya saja jika perpindahan halaman menyebabkan pemenggalan kata maka kata yang dipenggal ditulis seutuhnya terlebih dahulu, supaya tetap dapat dicari melalui telusuri, dan ditulis juga sesuai dengan pemenggalannya. Misalnya, perpindahan halaman terjadi setelah karakter kedelapan dari kata "cariyosipun" maka ditulis cariyosipun diikuti oleh [cariyosi...] dan [...pun] di halaman berikutnya.

Contoh:

Contoh: Perpindahan ke halaman 56 terjadi setelah karakter kelima dari nama "Sindurêja" maka nama "Sindurêja" ditulis secara utuh diikuti oleh [Sindu...] dan [...rêja] sesuai dengan pemanggalannya:

20. Kinanthi

35. Pringgalaya alon muwus | suwawi paman dipati | rêmbagan nèng wisma kula | pun Tênangkus dènirangling | yêkti tan ngecani manah | Sindurêja [Sindu...]

--- 2 : 56 ---

[...rêja] anuruti ||

Sumber: Babad Giyanti, Balai Pustaka, 1937-9, JIlid 2, hlm. 55–6.

Dalam transkripsi naskah berbentuk tembang macapat, sistem penomoran berurutan digunakan baik untuk pupuh maupun bait tembang, meskipun tidak ada nomor urutan di dalam naskah asli. Angka Arab 1. 2. 3. dan seterusnya di sebelah kiri sebagai nomor urutan pupuh dan bait tembang.

Garis tegak satu | sebagai tanda pergantian gatra dalam bait, dan garis tegak dua || sebagai tanda akhir bait.

Contoh: Garis tegak satu digunakan untuk memisahkan gatra dalam teks berbentuk tembang dan garis tegak dua untuk menunjukkan akhir bait, misalnya:

p=ku/
mi=k/mi=ku/ri=a=kr, akrnkxnnM/fisiwi, sinwu=xsMini=kifu=, sinubsinuk/t, m]ihk}t/tpk/tini=[zlM|luau=, k=tum][pN=tnhjw, agmagemMi=aji.

1. Pangkur

1. mingkar-mingkuring angkara | akarana karênan mardi siwi | sinawung rêsmining kidung | sinuba sinukarta | mrih krêtarta pakartining ngèlmu luhung | kang tumrap nèng tanah Jawa | agama agêming aji ||
Sumber: Wedhatama, Padmasusastra, Albert Rusche & Co., 1898, hlm. 107.

Tanda baca (pungtuasi) tertentu digunakan dalam teks prosa sesuai dengan cara berikut:

No.Huruf JawaNamaContohTrans­literasi
1.,Pada lingsa (koma)afig=, afigu=adigang, adigung
2.\Pangkon (koma di tengah kelompok kata)ku[lon\ [lo/kulon, lor
3..Pada lungsi (titik)akuluz.aku lunga.
4.\,Pangkon + Pada lingsa (titik)[wtnLnKiful\,wetan lan kidul.

Bunyi vokal  [ê] pêpêt,  [e] taling, dan [ o [o] taling tarung.

No.Huruf JawaNamaContohTrans­literasi
1.ê (pêpêt)pet_pêtêng
2.[   e (taling)[k[nkene
è (taling)[a[lk\èlèk
3.[ oo (taling tarung)[ko[nokono
ă (taling tarung palsu)[bo=sbăngsa

Bunyi pelancar y [y] dan w [w] pada kata jadian, transkripsinya disesuaikan pada bentuk dasarnya, sehingga huruf y dan w luluh/hilang.

No.ContohTrans­literasiTranskripsi
1.s[fyn\sadeyansadean
2.piynFel\piyandêlpiandêl
3.kelkuwn\kêlakuwankêlakuan
4.psuruwn\PasuruwanPasuruan

Bunyi pelancar y [y] yang muncul pada kata jadian oleh karena bentukan dari kata dasar yang berakhir huruf h mendapat sufiks, maka transkripsinya disesuaikan dengan bentuk dasarnya.

No.ContohTrans­literasiTranskripsi
1.keptiyn\kêpatiyankêpatihan
2.sekliyn\sêkaliyansêkalihan

Penulisan vokal suku pertama dalam dwipurwa (bentuk ulang suku kata awal) menjadi ê (pêpêt).

No.ContohTrans­literasiTranskripsi
1.tutukututukutêtuku
2.llfilaladilêladi
3.kikinQil\kikinthilkêkinthil
4.[go[go[lk\gogolèkgêgolèk
5.[l[lwlelewalêlewa

Sastra laku yang muncul karena pengaruh kata/imbuhan kelanjutannya, ditranskripsi sesuai dengan bentuk dasar dan imbuhannya.

No.ContohTrans­literasiTranskripsi
1.pfmelLn\padamêllanpadamêlan
2.cnD[kKcandhakkecandhake
3.s_klnNipun\sêngkalan­nipunsêngkalanipun

Untuk menghindari ambiguitas pelafalan kata yang mengikuti awalan dipun (tingkat tutur krama) dan den, transkripsinya dipisah dengan kata yang mengikutinya.[1]

No.ContohTrans­literasiTranskripsi
1.fipunCekel\dipuncêkêldipun cêkêl
2.fipunYe[kTosSidipunyêktossidipun yêktosi
3.fipunGlihdipungalihdipun galih
4.[fnHsTdènastadèn asta
5.[fnYkinidènyakinidèn yakini
6.[fnG|l=dèngulangdèn gulang

 


Standar transkripsi ini berbeda dari standar umum karena beberapa alasan termasuk pencarian kata. Secara umum, awalan dipun dan den tidak dipisah, misalnya: dipuncêkêl, dènasta. Dan untuk menghindari terjadinya ambiguitas pelafalan kata yang diawali dengan huruf y atau g transkripsinya ditambah dengan tanda hubung (-), misalnya: dèn-yakini, dipun-galih. (kembali)