Sastra Sriwedari

Judul
Sambungan
1. Pusaka Jawi, Java Instituut, 1926-05, #340. Kategori: Arsip dan Sejarah > Galeri.
2. Pusaka Jawi, Java Instituut, 1926-05, #340. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Pusaka Jawi.
» Sastra Sriwedari. Kategori: Bahasa dan Budaya > Pengetahuan Bahasa.
Citra
Terakhir diubah: 01-09-2022

Pencarian Teks

Lingkup pencarian: teks dan catatan-kakinya. Teks pencarian: 2-24 karakter. Filter pencarian: huruf besar/kecil, diakritik serta pungtuasi diabaikan; karakter [?] dapat digunakan sebagai pengganti zero atau satu huruf sembarang; simbol wildcard [*] dapat digunakan sebagai pengganti zero atau sejumlah karakter termasuk spasi; mengakomodasi variasi ejaan, antara lain [dj : j, tj : c, j : y, oe : u, d : dh, t : th].

  • Yasri menyajikan salinan lengkap (alih-aksara dan alih-bahasa) dari "Pedoman Penulisan Aksara Jawa" yang terbit di majalah Pusaka Jawi, Mei 1926.
  • Dikenal sebagai "Sastra Sriwedari", pedoman atau standardisasi ini disepakati jauh sebelum Indonesia merdeka; adalah capaian luar biasa karena mampu menyeragamkan banyak langgam penulisan aksara Jawa yang telah eksis sekian abad sebelumnya.
  • "Sastra Sriwedari" merupakan hasil keputusan Rapat Komisi Kesusasteraan 29 Oktober dan 31 Desember 1922.
  • Komisi dipimpin oleh seorang aktivis-nasionalis R. M. A. Wuryaningrat.

Aksara Jawa, penulisannya telah disepakati jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni sejak 1924; dengan catatan, sebagian kecil isu masih menjadi pertimbangan. Kesepakatan itu merupakan hasil kerja dari sebuah komisi bentukan suatu kongres yang digelar dua tahun sebelumnya, Oktober dan Desember 1922, di Sriwedari, Surakarta.[1]

Kongres 1922 dihadiri beberapa perserikatan. Ada perserikatan guru, seperti: Normaalschool dan Kweekschool, pejabat pemerintah, Balai Pustaka, serta perwakilan empat keraton Mataram (Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran, Pakualaman). Ada pula perserikatan bahasa Jawa, seperti: Nitisastra, Kridhabasa, Kridhasastra, Garapbon, Mardibasa, dan Paheman Radya Pustaka. Kesepakatan tentang wawaton (pedoman) bagi penulisan aksara Jawa inilah yang belakangan dikenal sebagai "Sastra Sriwedari".

Sastra Sriwedari adalah prakarsa sekaligus capaian yang luar biasa. Bayangkan, sejak dulu, yang namanya keseragaman dalam penulisan aksara Jawa, itu belum pernah ada. Apalagi, ketidakseragaman penulisan aksara Jawa di keempat keraton Mataram justru dianggap (baca: diagung-agungkan) sebagai ikon adiluhung serta unikum atau ciri khas masing-masing sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan. Sedemikian khasnya, unikum penulisan aksara Jawa itu sampai bisa menjadi pengidentifikasi tarikh dan/atau tempat asal naskah atau manuskrip anonim kuno. Pendek kata, standardisasi yang harus dipatuhi oleh para penulis Jawa memang belum ada hingga awal abad XX. Pada awal abad XX-lah kesadaran bersama penerapan standardisasi penulisan aksara Jawa tumbuh seiring dengan tumbuhnya gagasan memajukan bangsa dan nasionalisme rakyat Hindia-Belanda: sebuah peran krusial yang dimainkan oleh budaya.[2]

Komisi Kongres 1922 diketuai Wuryaningrat, seorang aktivis-nasionalis yang gigih putra (tertua dari istri pertama) Patih Sasradiningrat IV yang diambil menantu oleh Pakubuwana X. Komisi kongres dikenal pula sebagai "Komisi 10 Golongan" atau "Komisi Besar" (Komisi Agêng). Wuryaningrat adalah sosok penting dari awal-awal pergerakan nasionalisme Indonesia. Cucu Pakubuwana IX itu pernah menjabat sebagai Ketua Boedi Oetomo beberapa periode (1916-21, 1922-25 dan 1933-35) serta Ketua Partai Indonesia Raya setelah dijabat Dokter Soetomo (1935–38). Luar biasa aktifnya, bangsawan bergelar Raden Mas Arya yang pejabat tinggi Kasunanan berpangkat Bupati Nayaka itu pada saat kongres pun masih merangkap sebagai pimpinan dari sejumlah organisasi lainnya, seperti Radya Pustaka dan Narpa Wandawa.[3]

Pada era Wuryaningrat-lah kajian bahasa dan budaya Jawa berkembang pesat, terutama melalui organisasi atau institusi yang dipimpinnya itu. Satu capaian yang paling menonjol adalah Sastra Sriwedari. Pada pertemuan (vergadering) kongres Desember 1929, lebih dari 200 orang hadir berpartisipasi.[4] Pada Komisi Besar itu, anggota yang memiliki hak suara tidak sedikit yang kelak namanya kita kenal sebagai pakar-pakar penting dalam kajian bahasa dan budaya kontemporer di seluruh Jawa.[5]

Penyusunan Sastra Sriwedari berlangsung setahun lebih. Setelah vergadering Komisi Besar yang berlangsung pada 29 Oktober dan 31 Desember 1922, dibentuklah "Komisi Kecil" (Komisi Alit) - foto para anggotanya ditampilkan di bawah (Komisi 5 Golongan). Komisi Kecil ditugasi menyusun risalah atau notulensi, termasuk keputusan-keputusan yang telah diketokpalukan. Risalah itu lantas dibagikan ke perwakilan-perwakilan di Komisi Besar untuk dimintakan koreksi, tinjauan, dan/atau persetujuan atas kontennya. Pada April 1923, Komisi Kecil meluncurkan pedoman versi perdana. Setelah komentar dan masukan atas versi perdana diterima, diluncurkanlah versi kedua pada September 1923. Versi kedua terdiri dari 16 keputusan atau pasal yang mengetengahkan tata-cara penulisan aksara Jawa.

Sastra Sriwedari: Citra 1 dari 2
Para anggota "Komisi 5 Golongan" (Komisi Kecil) berfoto bersama. Tugas khusus yang diberikan oleh Komisi Besar kepada Komisi Kecil itu adalah menyusun pedoman penulisan aksara Jawa.[6]

Draf dari Komisi Kecil lalu mendapat tinjauan atau koreksi dari beberapa institusi. Departemen Pendidikan dan Balai Pustaka, misalnya, mengajukan tinjauannya pada sekitar lima bulan kemudian, yakni pada Maret 1924. Kasunanan dan Radya Pustaka pun menyusul tak lama kemudian. Pada masing-masing tinjauan masih tersua beberapa hal yang belum disetujui. Kendati demikian, setelah Maret 1924, dalam risalah tentang kegiatan-kegiatan Komisi itu tidak ada entri lanjutan. Bukti bahwa versi baru telah didistribusikan kembali pada saat itu pun belum ditemukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hasil selanjutnya, selain juga analisis terkait ajuan pendapat dari masing-masing institusi dan perkumpulan kala itu.

Juni 1925, seorang anggota Komisi Besar, Mas Sastrawirya (PGB), mengangkat isu mengenai pedoman penulisan aksara Jawa. Sastrawirya mengeluhkan belum kunjung diumumkannya kerja kolaboratif yang melibatkan pemerintah, keraton-keraton, dan sekian perkumpulan itu. "Biarpun toh masih seadanya, hasil kongres harus segera diumumkan karena itu akan menjadi sempurna dengan adanya perubahan," demikian tulis Sastrawirya di majalah Pusaka Jawi pada Juni 1925 dalam artikelnya, "Basa tuwin Kasusastran Jawi". Asalkan rajin saban tahun menggelar kongres bahasa dan sastra Jawa, Sastrawirya meyakini, lama-kelamaan hasilnya akan sempurna dan keputusan kongres pun pasti akan kian bagus.[7]

Setahun kemudian (Mei 1926), majalah yang sama, Pusaka Jawi, memublikasikan pedoman penulisan aksara Jawa, lengkap dengan 17 keputusan (pasal)-nya: Karampungan Pangrêmbagipun Wêwaton Panyêratipun Têmbung Jawi Mawi Sastra Jawi, miturut Putusan Parêpatan Kumisi Kasusastran Marêngi kaping 29 Oktobêr 1922 sarta 31 Dhesèmbêr 1922 (Hasil Keputusan Pembahasan Pedoman Penulisan Kata Jawa Menggunakan Aksara Jawa, menurut Keputusan Rapat Komisi Kesusasteraan pada 29 Oktober dan 31 Desember 1922).[8] Boleh jadi terpicu oleh artikel Sastrawirya, yang jelas, akhirnya pemerintah menerbitkan pedoman itu pada tahun yang sama.[9]

Yasri menyajikan salinan lengkap (alih-aksara dan alih-bahasa) dari edisi pedoman penulisan aksara Jawa yang terbit di Pusaka Jawi. Pertimbangan Yasri adalah, pada era masa kini, pedoman tersebut ternyata tak berkurang arti pentingnya, terutama sebagai sinambungan gerak dari budaya masa lalu yang mengilhami penyusunan awalnya. Meminjam harapan Mas Sastrawirya, semoga salinan berikut bisa menuai banyak respons berupa analisis dan kajian lebih lanjut. Tujuannya, agar kawruh tata-cara penulisan aksara Jawa mendapatkan tempat sepantasnya sebagai bagian dari warisan budaya Jawa, Indonesia, bahkan dunia.

Karampungan Pangrêmbagipun Wêwaton Panyêratipun Têmbung Jawi Mawi Sastra Jawi, miturut Putusan Parêpatan Kumisi Kasusastran marêngi kaping 29 Oktobêr 1922 sarta 31 Dhesèmbêr 1922.

Hasil Keputusan Pembahasan Pedoman Penulisan Kata Jawa Menggunakan Aksara Jawa, menurut Keputusan Rapat Komisi Kesusasteraan pada tanggal 29 Oktober 1922 dan 31 Desembêr 1922.

I. Têmbung Lingga

I. Kata Dasar

1. Têmbung lingga kasêrat botên ngrangkêp aksara. Kados ta: tun [tuna], wni [wani], sert\ [sêrat], Xz [lênga], bvu [banyu], fan [dahana]. Botên kasêrat: tunN [tunna], wnNi [wanni], se/rt\ [sêrrat], X=z [lêngnga], bnVu [bannyu], fhan [dahhana].
Wontên ingkang nyêbal: tnV [tannya].
Dene: rayu [rahayu]. Sanadyan sanès têmbung lingga ugi botên kasêrat: rhayu [rahhayu]. Awit saking têmbung lingga: ayu [hayu], angsal atêr-atêr: r [ra].[10]
1. Kata dasar ditulis tidak mengulang aksara. Misalnya: tun [tuna], wni [wani], sert\ [sêrat], Xz [lênga], bvu [banyu], fan [dahana]. Tidak ditulis: tunN [tunna], wnNi [wanni], se/rt\ [sêrrat], X=z [lêngnga], bnVu [bannyu], fhan [dahhana].
Ada juga yang menyimpang: tnV [tannya].
Adapun: rayu [rahayu]. Meskipun bukan kata dasar juga tidak ditulis: rhayu [rahhayu]. Karena berasal dari kata: ayu [hayu], mendapat awalan: r [ra].
2. Têmbung lingga nigang wanda ingkang purwanipun mênga nglêgêna. Sanadyan ungêlipun purwaning lingga wau mawi sandhangan pêpêt, inggih kasêrat nglêgêna. Kados ta: ngr [nagara], slk [salaka], wtr [watara], mnw [manawa], bdy [badhaya].
2. Kata dasar yang memiliki tiga suku kata berawal suku kata terbuka. Meskipun di awal kata dasar tersebut menggunakan sandangan pepet, tetap ditulis apa adanya. Misalnya: ngr [nagara], slk [salaka], wtr [watara], mnw [manawa], bdy [badhaya].
3. Têmbung lingga nigang wanda ingkang purwanipun sigêg ing aksara irung, kasêrat kados pakêcapanipun, kados ta:
Ha.cemPurit\ [cêmpurit], temBg [têmbaga], semBf [sêmbada], X=gn [lênggana], jemPn [jêmpana].
Na.lmPit [lampita], s=sr [sangsara].
3. Kata dasar yang memiliki tiga suku kata berawal suku kata tertutup berakhir aksara hidung, ditulis seperti pengucapannya. Misalnya:
Ha.cemPurit\ [cêmpurit], temBg [têmbaga], semBf [sêmbada], X=gn [lênggana], jemPn [jêmpana].
Na.lmPit [lampita], s=sr [sangsara].
4. Wanda ingkang dede wanda wêkasan botên sagêd ngangge pêpêt layar, manawi botên dipun kêrêt, inggih namung dipun layar, kados ta: f}kuku [drêkuku], g}ji [grêji], w/n [warna], w/t [warta]. Kajawi têmbung ngamănca ingkang badhe kacêthakakên, kados ta: &upe/!u/[jnF`l\ [gupêrnur jendral], [p]o[ssPe/bl\ [prosès pêrbal].
4. Suku kata yang bukan suku kata terakhir tidak bisa menggunakan pepet layar, apabila tidak diberi keret, hanya boleh diberi layar. Misalnya: f}kuku [drêkuku], g}ji [grêji], w/n [warna], w/t [warta]. Kecuali kata-kata asing yang akan ditonjolkan. Misalnya: &upe/!u/[jnF`l\ [gupêrnur jendral], [p]o[ssPe/bl\ [prosès pêrbal].
5. Manawi nunggil têmbung, pasangan: c [ca], j [ja], botên kenging wontên sangandhapipun sêsigêg: n [na], kêdah: v [nya], kados ta: wvCi [wanyci], jvJi [janyji].
5. Dalam satu kata, pasangan: c [ca], j [ja], tidak boleh ada di bawah aksara: n [na], harus berubah aksara: v [nya], misalnya: wvCi [wanyci], jvJi [janyji].
6. Têmbung: kLp [klapa], botên kasêrat klp [kalapa]. bÓ|f( [bludru], botên kasêrat bluf( [baludru]. Sasaminipun. Namung manawi wontên prêlunipun, sawêg kenging kasêrat: klp [kalapa], bluf( [baludru].[11]
6. Kata: kLp [klapa], tidak ditulis klp [kalapa]. bÓ|f( [bludru], tidak ditulis bluf( [baludru]. Dan sebagainya. Tetapi apabila diperlukan, baru boleh ditulis: klp [kalapa], bluf( [baludru].
7. [fov [donya], sarta: [sov [sonya], sami kasêrat ngangge taling tarung, botên ngangge suku.
7. [fov [donya], serta: [sov [sonya], ditulis menggunakan taling tarung [o], bukan menggunakan suku [u].
8. Têmbung ngamănca ingkang sampun kangge ing têmbung Jawi, panyêratipun miturut pakêcapanipun têmbung ngamănca wau, kados ta: bgsi [bagasi], saking BAGAGE.
8. Kata asing yang sudah digunakan dalam kata Jawa, penulisannya berdasarkan pengucapan kata asing tersebut, misalnya: bgsi [bagasi], dari BAGAGE.

II. Têmbung andhahan ingkang mawi atêr-atêr

II. Kata Jadian yang menggunakan awalan

1. Anuswara
Ha.Manawi purwaning lingga luluh, atêr-atêripun anuswara botên kasêrat ngangge: a [ha]. Kados ta: ztg\ [ngatag], nnT= [nantang], vmBe/ [nyambêr], m]nt [mranata]. Manawi wontên prêlunipun kenging kasêrat: aztg\ [angatag], annT= [anantang], avmBe/ [anyambêr], am]nt [amranata].
Na.Manawi purwaning lingga botên luluh, kados ta: anFf/ [andadar], avJketet\ [anjakêtêt], anDede/ [andhêdhêr], a=giqi= [anggithing], amB|w= [ambuwang], punika botên kenging kasêrat: ff/ [dadar], jketet\ [jakêtêt], dede/ [dhêdhêr], giqi= [githing], buw= [buwang].
1. Bunyi Sengau
Ha.Apabila di awal kata dasar luluh, awalan bunyi sengaunya tidak ditulis menggunakan: a [ha]. Misalnya: ztg\ [ngatag], nnT= [nantang], vmBe/ [nyambêr], m]nt [mranata]. Apabila diperlukan boleh ditulis: aztg\ [angatag], annT= [anantang], avmBe/ [anyambêr], am]nt [amranata].
Na.Apabila pada awal kata dasar tidak luluh, misalnya: anFf/ [andadar], avJketet\ [anjakêtêt], anDede/ [andhêdhêr], a=giqi= [anggithing], amB|w= [ambuwang], tidak boleh ditulis: ff/ [dadar], jketet\ [jakêtêt], dede/ [dhêdhêr], giqi= [githing], buw= [buwang].
2. Têmbung-têmbung tanduk ingkang purwaning lingganipun luluh kalihan atêr-atêripun anuswara, manawi angsal atêr-atêr: p [pa], purwaning tanduk botên karangkêp, kados ta: pnemBh [panêmbah], pvekel\ [panyêkêl], botên pnNemBh [pannêmbah], pnVekel\[ [pannyêkêl].
2. Kata-kata kerja aktif yang awal kata dasarnya luluh dengan awalan bunyi sengau, apabila mendapat awalan: p [pa], awalan kata kerja aktif tersebut tidak diulang, misalnya: pnemBh [panêmbah], pvekel\ [panyêkêl], bukan pnNemBh [pannêmbah], pnVekel\[ [pannyêkêl].
3. Bawa: k [ka].
Têmbung bawa: k [ka], ingkang atêr-atêripun botên luluh kalihan purwaning lingga, atêr-atêripun: k [ka], kêdah kapêpêt, kados ta: keffk\ [kêdadak].
3. Bawa: k [ka].
Kata bawa: k [ka], yang awalannya tidak luluh dengan awal kata dasar, awalan: k [ka], harus dipepet, misalnya: keffk\ [kêdadak].
4. Têmbung ingkang apurwa aksara: a [ha], manawi dipun atêr-atêri: pi [pi], p]i [pri], botên ewah, kados ta: pia=kuh [piangkuh], pia[won\ [piawon], pial [piala]. Ingkang nyêbal, purwanipun ewah dados: y [ya], kados ta: piygem\ [piyagêm], p]i[y=og [priyăngga].
4. Kata yang berawal aksara: a [ha], apabila diberi awalan: pi [pi], p]i [pri], tidak berubah, misalnya: pia=kuh [piangkuh], pia[won\ [piawon], pial [piala]. Yang menyimpang, awalnya berubah menjadi: y [ya], misalnya: piygem\ [piyagêm], p]i[y=og [priyăngga].

III. Têmbung andhahan ingkang ngangge sêsêlan

III. Kata Jadian setelah mendapat sisipan

1. Sêsêlan: r [ra], l [la].
Sêsêlan: r [ra], l [la]. Kasêrat miturut pangrimbagipun sêsêlan, kados ta: p}nÒ|l\ [prêntul], jLerit\ [jlêrit], gLex= [glêrêng], botên kasêrat: pxnÒ|l\ [parêntul], jXrit\ [jalêrit], gXx= [galêrêng]. Manawi wontên prêlunipun kenging kasêrat: pxnÒ|l\ [parêntul], jXrit\ [jalêrit], gXx= [galêrêng].
1. Sisipan: r [ra], l [la].
Sisipan: r [ra], l [la]. Ditulis sesuai kata bentukan setelah mendapat sisipan, misalnya: p}nÒ|l\ [prêntul], jLerit\ [jlêrit], gLex= [glêrêng], tidak ditulis: pxnÒ|l\ [parêntul], jXrit\ [jalêrit], gXx= [galêrêng]. Jika diperlukan boleh ditulis: pxnÒ|l\ [parêntul], jXrit\ [jalêrit], gXx= [galêrêng].
2. Sêsêlan: n [na], kados ta: pinyu=zn\ [pinayungan], punika kasêrat tanpa pasangan: n [na].
2. Sisipan: n [na], misalnya: pinyu=zn\ [pinayungan], ditulis tanpa menggunakan pasangan: n [na].

IV. Têmbung andhahan ingkang mawi panambang

IV. Kata Jadian setelah mendapat akhiran

1. Panambang ingkang apurwa aksara: a [ha], manawi tumrap ing wanda sigêg: a [ha] nipun malih dados aksara sêsigêg wau, kados ta: awnN [awanna], wt[kK [watakke], XXsSn\ [lêlêssan], n=gpPi [nanggappi], gegemMen\ [gêgêmmên], rabBn [rahabbana].
1. Akhiran yang berawal aksara: a [ha], apabila dilekatkan pada suku kata tertutup: a [ha] berubah menjadi aksara tertutup tersebut, seperti: awnN [awanna], wt[kK [watakke], XXsSn\ [lêlêssan], n=gpPi [nanggappi], gegemMen\ [gêgêmmên], rabBn [rahabbana].
2. Panambang: a [a].
Ha.Manawi wontên sawingkingipun wanda mênga nglêgêna, kasêrat têtêp: a [a], kados ta: bisa [bisaa].
Na.Ewah dados: y [ya], manawi sumambêt wanda mênga kanthi: wulu, utawi: taling, samantên punika manawi wanda wau sanès: y [ya], kados ta: wniy [waniya], [d[dy [dhedheya], nanging: p]iyyia [priyayia], kp]i[ya [kapriyea], botên kasêrat: p]iyyiy [priyayiya], kp]i[yy [kapriyeya].
Ca.Ewah dados: w [wa], manawi sumambêt ing wanda mênga kanthi: suku, utawi: taling tarung, samantên punika bilih wanda wau sanès: w [wa], kados ta: niruw [niruwa], [bo[dow [bodhowa], nanging: nwua [nawua], cu[woa [cuwoa], botên kasêrat: nwuw [nawuwa], cu[wow [cuwowa].
2. Akhiran: a [a].
Ha.Apabila terletak dibelakang suku kata terbuka, tetap ditulis: a [a], misalnya: bisa [bisaa].
Na.Berubah menjadi: y [ya], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka: wulu [u], atau: taling [i], sedangkan apabila suku kata tersebut bukan: y [ya], misalnya: wniy [waniya], [d[dy [dhedheya], tetapi: p]iyyia [priyayia], kp]i[ya [kapriyea], tidak ditulis: p]iyyiy [priyayiya], kp]i[yy [kapriyeya].
Ca.Berubah menjadi: w [wa], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka: suku [u], atau: taling tarung [o], sedangkan apabila bukan suku kata: w [wa], misalnya: niruw [niruwa], [bo[dow [bodhowa], tetapi: nwua [nawua], cu[woa [cuwoa], tidak ditulis: nwuw [nawuwa], cu[wow [cuwowa].
3. Panambang: [a [e], manawi sumambêt wanda mênga, ewah dados: [n [ne], dados tanpa pasangan: n [na], kados ta: jr [jara] - jr[n [jarane], botên jr[nN [jaranne].
alu [alu] - alu[n [alune], botên alu[nN [alunne].
3. Akhiran: [a [e], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, berubah menjadi: [n [ne], jadi tidak menggunakan pasangan: n [na], misalnya: jr [jara] - jr[n [jarane], bukan jr[nN [jaranne]. alu [alu] - alu[n [alune], bukan alu[nN [alunne].
4. Panambang: ai [i], manawi wontên sawingkingipun wanda mênga, kapitulungan panambang: an\ [an] rumiyin, kados ta: pd [padha] - mdnNi [madhani]. genTi [gênti] - a=ge[nTnNi [anggêntènni]. bau [bau] - amB[aonNi [ambaonni].
4. Akhiran: ai [i], apabila terletak di belakang suku kata terbuka, dengan pertolongan akhiran: an\ [an] terlebih dahulu, misalnya: pd [padha] - mdnNi [madhani]. genTi [gênti] - a=ge[nTnNi [anggêntènni]. bau [bau] - amB[aonNi [ambaonni].
5. Panambang: an\ [an].
Ha.Manawi tumrap ing wanda mênga, ingkang mawi sandhangan: wulu, utawi: taling, măngka botên luluh, purwaning panambang malih dados: y [ya], kados ta: ffi [dadi] - kffiyn\ [kadadiyan]. g[d [gadhe] - pg[dyn\ [pagadheyan]. Manawi tumrap ing wanda mênga, ingkang mawi sandhangan: suku, utawi: taling tarung, măngka botên luluh, purwaning panambang malih dados: w [wa], kados ta: lku [laku] - klkuwn\ [kalakuwan]. j[go [jago] - j[gown\ [jagowan]
Na.Wontên têmbung sawatawis ingkang wandanipun wêkasan kadunungan wignyan, nyêbal saking waton IV.1. kados ta: weruh [wêruh] - kruwn\ [karuwan]. klih [kalih] - kliyn\ [kaliyan]. plih [palih] - pliyn\ [paliyan] (sadhèrèk nunggil suson). Nanging: plihan\ [palihan] (krama), ngokonipun: p[ron\ [paron].
Ca.Têmbung-têmbung ing adêg-adêg: Na, nginggil punika, manawi angsal panambang: [a [e], wignyanipun tarkadhang wangsul, kados ta: kruwn\ [karuwan] - kruha[nN [karuhhane]. pliyn\ [paliyan] - pliha[nN [palihhane]
5. Akhiran: an\ [an].
Ha.Apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, yang menggunakan sandangan: wulu [i], atau: taling [e], tidak luluh, awal akhiran berubah menjadi: y [ya], misalnya: ffi [dadi] - kffiyn\ [kadadiyan]. g[d [gadhe] - pg[dyn\ [pagadheyan]. Apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, yang menggunakan sandangan: suku [u], atau: taling tarung [o], tidak luluh, awal akhiran berubah menjadi: w [wa], kados ta: lku [laku] - klkuwn\ [kalakuwan]. j[go [jago] - j[gown\ [jagowan]
Na.Ada beberapa kata yang pada akhir suku katanya diberi wignyan [h], menyimpang dari aturan IV. 1. misalnya: weruh [wêruh] - kruwn\ [karuwan]. klih [kalih] - kliyn\ [kaliyan]. plih [palih] - pliyn\ [paliyan] (saudara sepersusuan). Tetapi: plihan\ [palihan] (krama), sedangkan ngoko: p[ron\ [paron].
Ca.Kata-kata pada bagian: Na, di atas, apabila mendapatkan akhiran: [a [e], maka wignyan [h] kadang-kadang bisa muncul lagi, misalnya: kruwn\ [karuwan] - kruha[nN [karuhhane]. pliyn\ [paliyan] - pliha[nN [palihhane]
6. Panambang: aen\ [ên], manawi sumambêt ing wanda mênga, ewah dados: nen\ [nên], kados ta: auj [uja] - aujnen\ [ujanên]. pnu [panu] - pnunen\ [panunên].
6. Akhiran: aen\ [ên], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, berubah menjadi: nen\ [nên], misalnya: auj [uja] - aujnen\ [ujanên]. pnu [panu] - pnunen\ [panunên].
7. Panambang: an [ana]: manawi sumambêt ing wanda mênga, mawi kapitulungan panambang: an\ [an] rumiyin, kados ta: ab [aba] - zbnNn [ngabannana]. tli [tali] - t[lnNn [talènnana]. [p[p [pepe] - [p[pnNn [pèpènnana]. lku [laku] - l[konNn [lakonnana]. g[do [gadho] - g[donNn [gadhonnana].
7. Akhiran: an [ana]: apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, dengan pertolongan akhiran: an\ [an] terlebih dahulu, misalnya: ab [aba] - zbnNn [ngabannana]. tli [tali] - t[lnNn [talènnana]. [p[p [pepe] - [p[pnNn [pèpènnana]. lku [laku] - l[konNn [lakonnana]. g[do [gadho] - g[donNn [gadhonnana].
8. Panambang: a[k [ake].
Ha.Manawi sumambêt ing wanda mênga, wanda wau kasigêgakên: k [ka] rumiyin, panambangipun lastantun: a[k [ake], bilih wanda wau kadunungan: wulu, malih dados: taling, manawi kadunungan: suku, dados: taling tarung, kados ta: tp [tapa] - npkH[k [napakake]. lli [lali] - zL[lkH[k [nglalèkake]. ge[d [gêdhe] - a=ge[dkH[k [anggêdhèkake]. aju [aju] - z[jokH[k [ngajokake]. [bo[do [bodho] - a[mBo[dokH[k [ambodhokake].
Na.Têmbung ingkang wandanipun sigêg: n [na], manawi angsal panambang: a[k [ake], wontên ingkang sêsigêgipun: n [na], punika malih dados: k [ka], salajêngipun panambang: a[k [ake], ewah dados: k[k [kake], kados ta: pkn\ [pakan] - mkkK[k [makakkake]. [a[won\ [ewon] - k[a[wokK[k [kaewokkake].
8. Akhiran: a[k [ake].
Ha.Apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, suku kata tersebut ditutup dengan: k [ka] terlebih dahulu, sedangkan akhiran tetap: a[k [ake], apabila akhir suku kata tersebut: wulu [i], berubah menjadi: taling [e], apabila akhir suku kata: suku [u], berubah menjadi: taling tarung [o], misalnya: tp [tapa] - npkH[k [napakake]. lli [lali] - zL[lkH[k [nglalèkake]. ge[d [gêdhe] - a=ge[dkH[k [anggêdhèkake]. aju [aju] - z[jokH[k [ngajokake]. [bo[do [bodho] - a[mBo[dokH[k [ambodhokake].
Na.Kata yang bersuku kata akhir konsonan mati: n [na], apabila mendapat akhiran: a[k [ake], ada yang konsonan mati: n [na], berubah menjadi: k [ka], kemudian akhiran: a[k [ake], berubah menjadi: k[k [kake], misalnya: pkn\ [pakan] - mkkK[k [makakkake]. [a[won\ [ewon] - k[a[wokK[k [kaewokkake].
9. Panambang: n [na]. Manawi sumambêt ing wanda sigêg, botên ewah, kados ta: [go[lk\ [golèk] - [go[lkN [golèkna]. Manawi wontên parlunipun badhe ngulur, panambang: n [na], kenging kaulur aen [êna]. Kados ta: [go[lkHen [golèkêna].
9. Akhiran: n [na]. Apabila dilekatkan pada suku kata tertutup, tidak berubah, misalnya: [go[lk\ [golèk] - [go[lkN [golèkna]. Apabila tujuannya untuk dipanjangkan, akhiran: n [na], boleh dipanjangkan menjadi aen [êna]. Misalnya: [go[lkHen [golèkêna].
10. Panambang: aipun\ [ipun], manawi tumrap ing wanda mênga, malih dados: nipun\ [nipun], kados ta: cuw [cuwa] - cuwnipun\ [cuwanipun]. [roti [roti] - [rotinipun\ [rotinipun]. putu [putu] - putunipun\ [putunipun], botên kasêrat: cuwnNipun\ [cuwannipun], [ro[tnNipun\ [rotènnipun], pu[tonNipun\ [putonnipun].
10. Akhiran: aipun\ [ipun], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, berubah menjadi: nipun\ [nipun], misalnya: cuw [cuwa] - cuwnipun\ [cuwanipun]. [roti [roti] - [rotinipun\ [rotinipun]. putu [putu] - putunipun\ [putunipun], tidak ditulis: cuwnNipun\ [cuwannipun], [ro[tnNipun\ [rotènnipun], pu[tonNipun\ [putonnipun].
11. Têmbung wisesa na lingga, manawi angsal panambang: a [a], kasêrat manut pakêcapanipun, dados tanpa pasangan: n [na], kados ta: sbukKn\ [sabukkan] - sbukKn [sabukkana], botên kasêrat: sbukKnN [sabukkanna].
11. Kata yang berupa wisesa na lingga, apabila mendapat akhiran: a [a], ditulis sesuai pengucapannya, jadi tanpa menggunakan pasangan: n [na], misalnya: sbukKn\ [sabukkan] - sbukKn [sabukkana], tidak ditulis: sbukKnN [sabukkanna].

V. Dwipurwa

V. Dwipurwa (perulangan pada awal kata dasar)

Têmbung dwipurwa ngrangkêp sandhangan swara, kados ta: rigen\ [rigên] - ririgen\ [ririgên]. t(k [truka] - tut(k [tutruka]. [wk [weka] - [w[wk [weweka]. [bo[nDot\ [bondhot] - [bo[bo[nDot\ [bobondhot], nanging: [gonF [gănda] - g[gonF [gagănda], botên: [go[gonF [gogănda].
Kata dwipurwa yang berbentuk perulangan sandangan suara, misalnya: rigen\ [rigên] - ririgen\ [ririgên]. t(k [truka] - tut(k [tutruka]. [wk [weka] - [w[wk [weweka]. [bo[nDot\ [bondhot] - [bo[bo[nDot\ [bobondhot], tetapi: [gonF [gănda] - g[gonF [gagănda], bukan: [go[gonF [gogănda].

VI. Dwilingga

VI. Dwilingga (kata ulang dasar)

Têmbung ingkang purwanipun: a [a], sarta wandanipun wêkasan sigêg, manawi kadamêl dwilingga, purwanipun têmbung ingkang wingking botên ewah dados sêsigêg wau, kados ta: alun\ [alun] - alunHlun\ [alun-alun], botên alunNlun\ [alun-nalun]. al= [alang] - al=al= [alang-alang], botên al=zl= [alang-ngalang].
Kata yang berawalan: a [a], dan suku kata akhir berupa konsonan mati, jika dijadikan dwilingga (kata ulang), maka kata awal pada bagian belakang tidak berubah menjadi konsonan mati tersebut, misalnya: alun\ [alun] - alunHlun\ [alun-alun], bukan alunNlun\ [alun-nalun]. al= [alang] - al=al= [alang-alang], bukan al=zl= [alang-ngalang].

VII. Camboran

VII. Kata Majemuk

Runtutipun akalihan Bab VI (Dwilingga), têmbung camboran ingkang têmbungipun ing ngajêng wandanipun ing wingking sigêg, sarta têmbungipun ingkang wingking apurwa: a [a], purwa: a [a], wau botên ewah, kados ta: aufnHrum\ [udan arum], botên aufnNrum\ [udan narum]. spitH[bon\ [sapit abon], botên spitT[bon\ [sapit tabon].
Lanjutan dari Bab VI (Dwilingga), kata majemuk yang kata depannya bersuku kata akhir tertutup, serta kata di belakangnya berawal aksara: a [a], awal aksara: a [a], tidak berubah, misalnya: aufnHrum\ [udan arum], bukan aufnNrum\ [udan narum]. spitH[bon\ [sapit abon], bukan spitT[bon\ [sapit tabon].

VIII. Têmbung: ai= [ing]

VIII. Kata: ai= [ing]

Têmbung ingkang apurwa: a [a], r [ra], l [la], manawi dumunung wontên sawingkingipun: ai= [ing], botên ewah, kados ta: ai=als\ [ing alas], ai=xmB= [ing rêmbang], ai=lt/ [ing latar]. Wontên têmbung sawatawis ingkang nyêbal, kados ta: ai=zi[so/ [ing ngisor], ai=znDp\ [ing ngandhap], ai=zxp\ [ing ngarêp], ai=zj_ [ing ngajêng], ai=zt[sS [ing ngatase], ai=zaurip\ [ing ngaurip], ai=z]iku [ing ngriku].
Kata yang berawal aksara: a [a], r [ra], l [la], apabila terletak di belakang: ai= [ing], tidak berubah, misalnya: ai=als\ [ing alas], ai=xmB= [ing rêmbang], ai=lt/ [ing latar]. Ada beberapa kata yang menyimpang, misalnya: ai=zi[so/ [ing ngisor], ai=znDp\ [ing ngandhap], ai=zxp\ [ing ngarêp], ai=zj_ [ing ngajêng], ai=zt[sS [ing ngatase], ai=zaurip\ [ing ngaurip], ai=z]iku [ing ngriku].

IX. Gêmbung (pasangan: w [wa])

IX. Gembung (pasangan: w [wa])

Gêmbung botên kenging tumrap ing pasangan ingkang kasêrat wontên sangandhapipun sêsigêg, kados ta: ank\kW[lon\ [anak kwalon], botên kasêrat ankÑÈ[lon\ [anak kwalon], rimBg\fWipu/w [rimbag dwipurwa], botên kasêrat rimBg...pu/w[12] [rimbag dwipurwa].
Gembung tidak boleh dilekatkan pada pasangan yang letaknya ditulis di bawah aksara yang dipasangi, misalnya: ank\kW[lon\ [anak kwalon], tidak ditulis ankÑÈ[lon\ [anak kwalon], rimBg\fWipu/w [rimbag dwipurwa], tidak ditulis rimBg...pu/w[13] [rimbag dwipurwa].

X. Aksara Murda

X. Aksara Murda

1. Aksara murda namung kangge wontên ing tataprunggu, têgêsipun kangge pakurmatan, sêsêratan sanèsipun botên kenging ngangge aksara murda wau.
1. Aksara murda hanya digunakan untuk tataprunggu artinya hanya untuk penghormatan, sedangkan penulisan lainnya tidak boleh menggunakan aksara murda.
2. Botên ngwontênakên aksara murda:  [Rê] sarta  [I].[14]
2. Tidak ada aksara murda:  [Rê] sarta  [I].

XI. Aksara swara

XI. Aksara Suara

1.
Ha.Aksara swara: A [a], I [i], E [e], U [u], O [o], kangge nyêrati têmbung mănca, manawi sumêdya kacêthakakên.
Na.x [rê], kalihan X [lê], lastantun kangge ing sêsêratan.
1.
Ha.Aksara suara: A [a], I [i], E [e], U [u], O [o], untuk menulis kata asing, apabila ingin ditonjolkan.
Na.x [rê], serta X [lê], tetap digunakan untuk penulisan.
2. A [a], I [i], E [e], U [u], O [o]. Botên wênang dados pasangan, mila sêsigêg ing ngajêngipun kapangku, kados ta: wuln\Ap]il\ [wulan April]. X [lê]: manawi dados pasangan kawangsulakên ...Le [lê] kados ta: a[folLez [adol lênga], ae[folLen\ [êdollên]. x [rê], pasanganipun lastantun: > [rê].
2. A [a], I [i], E [e], U [u], O [o]. Tidak boleh menjadi pasangan maka harus dimatikan dengan tanda pangku, misalnya: wuln\Ap]il\ [wulan April]. X [lê]: apabila menjadi pasangan harus dikembalikan ...Le [lê] misalnya: a[folLez [adol lênga], ae[folLen\ [êdollên]. x [rê], pasangannya tetap: > [rê].

XII. Aksara rekan

XII. Aksara rekan

1. Aksara rekan kangge nyêrati têmbung mănca manawi parlu badhe kacêthakakên.
1. Aksara rekan untuk menulis kata asing apabila ada yang perlu ditonjolkan.
2. Aksara rekan ingkang sumambêt ing wanda sigêg, manawi pasanganipun aksara rekan wau botên kalêrês kasêrat wontên sawingkinging sêsigêg, aksaranipun sêsigêg kêdah kapangku, kados ta: muk\tìi/ [Muktsir], zbF|l\g+ni [Ngabdul Ghani].
2. Aksara rekan yang terletak setelah suku kata tertutup, apabila pasangan aksara rekan tersebut tidak terletak di belakang konsonan mati, aksara konsonan mati tersebut harus diberi tanda pangku, misalnya: muk\tìi/ [Muktsir], zbF|l\g+ni [Ngabdul Ghani].
3. Aksara rekan manawi angsal sandhangan: wulu, pêpêt, cêcak, utawi layar, cêcakipun tiga wontên ngajêng (kiwa) sandhangan, kados ta: fìikìi/ [dzikhir], p+/lu [farlu].
3. Aksara rekan apabila mendapat sandangan: wulu, pepet, cecak, atau layar, cecak tiga tersebut diletakkan di depan (kiri) sandangan, misalnya: fìikìi/ [dzikhir], p+/lu [farlu].

XIII. Ăngka Jawi

XIII. Angka Jawa

Ăngka Jawi amung kenging kangge urut-urutaning bab sarta kangge titimăngsa.
Angka Jawa hanya boleh digunakan untuk mengurutkan bab serta untuk penulisan waktu.

XIV. Ăngka Rum

XIV. Angka Romawi

Ăngka Rum kenging kaangge wontên ing sêratan sastra Jawi, inggih punika kangge urut-urutan ăngka taun sasaminipun. Dene aksara Latin kenging kasambut kangge urut-urutan.
Angka Romawi boleh digunakan pada penulisan aksara Jawa, yaitu untuk mengurutkan angka tahun dan sebagainya. Sedangkan aksara Latin bisa digunakan untuk nomor urut.

XV. Aksara Latin dalah angkanipun

XV. Aksara Latin serta angkanya

Aksara Latin dalah angkanipun manawi kasêrat amor kalihan aksara Jawi: kajèjèr, dados tumut kasêrat sangandhap garis.
Aksara Latin berserta angkanya apabila ditulis bersama dengan aksara Jawa: disejajarkan, jadi penulisannya ikut di bawah garis.

XVI. Aksara Arab dalah angkanipun

XVI. Aksara Arab serta angkanya

Aksara Arab dalah angkanipun, manawi kasêrat awor kalihan aksara Jawi, kajèjèr, dados tumut kasêrat sangandhap garis.
Aksara Arab serta angkanya, jika ditulis bersama dengan aksara Jawa, disejajarkan, jadi penulisannya ikut di bawah garis.

XVII. Ăngka 2

XVII. Angka 2

Ăngka 2 botên kenging kaangge nyêkak têmbung: skliyn\ [sakaliyan], utawi têmbung dwilingga, kados ta: pzbekTiskliyn\ [pangabêkti sakaliyan], botên kenging kasêrat: pzbekTi2yn\ [pangabêkti2yan], alunHlun\ [alun-alun] botên kenging kasêrat alun\2 [alun2].
Angka 2 tidak boleh digunakan untuk menyingkat kata: skliyn\ [sakaliyan], atau kata dwilingga (kata ulang), misalnya: pzbekTiskliyn\ [pangabêkti sakaliyan], tidak boleh ditulis: pzbekTi2yn\ [pangabêkti2yan], alunHlun\ [alun-alun] tidak boleh ditulis alun\2 [alun2].
Sastra Sriwedari: Citra 2.1 dari 2
Sastra Sriwedari: Citra 2.2 dari 2
Sastra Sriwedari: Citra 2.3 dari 2
Sastra Sriwedari: Citra 2.4 dari 2
Sastra Sriwedari: Citra 2.5 dari 2
Sastra Sriwedari: Citra 2.6 dari 2
Pusaka Jawi, Java Instituut, Mei 1926.

Sumber: Pusaka Jawi, Java Instituut, Mei 1926, hlm. 65-70.

 


Keterangan tentang kongres ini beserta keputusan-keputusannya mengenai penulisan aksara Jawa dapat ditemukan di Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi, Putra Nitipraja, 1923-4. MS. Sasana Pustaka 173 Ca. (kembali)
Mas Sastrawirya, salah satu perwakilan komisi kongres dari Persatuan Guru Bantu (PGB), menyatakan, prakarsa untuk menggelar kongres standardisasi penulisan aksara Jawa itu semula digagas oleh Mardibasa. Didirikan di Surakarta pada awal abad XX oleh sekelompok ilmuwan, perkumpulan itu bertujuan untuk memajukan kajian bahasa Jawa melalui analisis dari etimologinya. Lihat: 'Basa tuwin Kasusastran Jawi', Sastrawirya, terbit perdana dalam Pusaka Jawi, Java Instituut, Juni 1925, hlm. 134. Diterbitkan ulang dalam Sêrat Gancaran Warni-warni ing Jaman Punika, R. L. Mellema. J. B. Wolters, Betawi: 1933, hlm. 1-22. (kembali)
Setahun setelah Radya Pustaka direlokasi ke Sriwedari (1913), Wuryaningrat terpilih sebagai pangarsanya hingga 1927. Perkumpulan Narpa Wandawa didirikan pada 1914, tempat Wuryaningrat menjadi presidennya hingga 1927. Pada kurun-kurun itu juga, Wuryaningrat pun menjadi anggota Panitia Pengembangan Budaya Jawa (Comité voor Javaansche Cultuurontwikkeling, 1918). (kembali)
Jumlah kehadiran peserta di (vergadering) Desember 1922 di Sriwedari - termasuk 9 perwakilan dari komisi (semestinya 10 perwakilan, tetapi Normaalschool tidak ikut rapat ke-dua ini) dan 7 perwakilan dari perkumpulan - kurang-lebih 180 tamu. Lihat: Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi, op. cit., hlm. 119-20. (kembali)
Komisi yang dibentuk untuk pertemuan 29 Oktober dan 31 Desember 1922 itu mencakup 10 perwakilan (Komisi 10 Golongan). Anggota masing-masing adalah (1) Kasunanan: Radèn Ngabèi Nitipraja dan Mas Ngabèi Èsmutani; (2) Kasultanan: Radèn Tumênggung Jayadipura, Mas Wadana Dwijasewaya, dan Radèn Panèwu Jiwadipraja; (3) Mangkunagaran: Radèn Ngabèi Citrasêntana dan Mas Wăngsadiarja; (4) Pakualaman: Radèn Panji Jayèngpranata dan Radèn Mas Ngabèi Sasrasudarsa; (5) Paheman Radya Pustaka: Radèn Ngabèi Suradipura, Mas Ngabèi Prajapustaka, dan Mas Ngabèi Prawiratmaja; (6) Kweekschool: Mas Suwardi, pada pertemuan 31 Desember 1922, wakilnya diganti oleh Mas Jaya Sugito dan Radèn Brata Harjiya; (7) Normaalschool: Mas Ngabèi Arjasudira dan Radèn Ngabèi Brataharjita, pada pertemuan 31 Desember 1922 tidak ada wakil; (8) Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB): Mas Ngabèi Yasawidagda dan Mas Andaga Wedyakaryasa; (9) Persatuan Guru Bantu (PGB): Radèn Sutarman, Mas Sastrawirya, dan Mas Tăndhadisastra; (10) Balai Pustaka: tidak mengirim wakil di pertemuan 29 Oktober 1922, tapi menyampaikan masukan secara tertulis, adapun pada pertemuan 31 Desember 1922, Radèn Kamil hadir sebagai wakil. Lihat: Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi, op. cit., hlm. 25-26, 118-120). (kembali)
Sumber foto: Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi, op. cit., hlm. 1. (kembali)
"Pancènipun sawontên-wontênipun lajêng kêdah dipun limrahakên, dene sampurnanipun kalihan dipun ewahi. Anggêripun sabên taun dipun wontênakên konggrès bab basa tuwin kasusastran Jawi, dangu-dangu inggih badhe sampurna. Putusaning konggrès saya dangu masthi sangsaya sae." Lihat: Sêrat Gancaran Warni-warni ing Jaman Punika, op. cit., hlm. 3. Mas Sastrawirya adalah pakar kondang bahasa Jawa. Ia penerima hadiah pertama dalam sayembara tata-bahasa Jawa yang digelar Pusaka Jawi. (kembali)
'Karampungan Pangrêmbagipun Wêwaton Panyêratipun Têmbung Jawi Mawi Sastra Jawi, miturut Putusan Parêpatan Kumisi Kasusastran marêngi kaping 29 Oktobêr 1922 sarta 31 Dhesèmbêr 1922', Pusaka Jawi, Java Instituut, Mei 1926, hlm. 65-70. (kembali)
Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka, mitoeroet Poetoesan Parepatan Koemisi Kasoesastran ing Sriwedari (Soerakarta). Landsdrukkerij - Weltevreden: 1926. Lihat juga foto aslinya: Wawaton Panyêratipun Têmbung Jawi, Kumisi Kasusastran, 1926, #366. (kembali)
10 Bandingkan versi Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka, op. cit., hlm. 3: "Makatên ugi: ra/j [raharja], raj_ [rahajêng], lan sapanunggilanipun." (kembali)
11 Bandingkan versi Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka, op. cit., hlm. 4: "Namung manawi wontên prêlunipun, upami kadamêl njangkêpakên guru wicalaning sêkar, sawêg kenging kasêrat: ...". (kembali)
12 Font untuk aksara pasangan: dw tidak tersedia. (kembali)
13 Font untuk aksara pasangan: dw tidak tersedia. (kembali)
14 Di versi Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka, op. cit., hlm. 12, terdapat contoh tambahan nomor 3. (kembali)